Efrem Ery Gius
Efrem Ery Gius

TAHUN 2017, pada saat Robin Mete mengusul tesis bagaimana netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pilkada Sumba Timur, dosen pembimbingnya, Sutoro Eko, bilang judulnya nanti dulu! Judul tesis itu setelah Robin pulang dari penelitian, oleh dosen pembimbingnya diganti jadi mobilisasi ASN di Pilkada Sumba Timur.

Saya setuju, tidak hanya di Sumba Timur, di Malaka sekalipun, saat ini ASN belum bisa netral atau dinetralkan dalam proses Pilkada. Tugas mereka menjalankan fungsi publik, secara struktural selalu menghadapi kekuasaan, sehingga memungkinkan mereka tidak bisa netral, setidaknya karena nasib mereka sebagai ASN masuk dalam agenda kekuasaan.

Tulisan ini sebagai alternative mendudukan ASN dalam proses Pilkada, supaya tetap punya semangat kepublikan (the spirit of publicness), dan menjalankan tugas membantu bupati dalam urusan pemerintahan.

Dalil saya, dalam proses Pilkada atau dalam urusan pemerintahan saat ini, baik di Malaka maupun di tempat lain, ASN bukanlah pihak yang bebas kepentingan, seolah-olah nasib mereka tidak tergantung pada acara mereka berpolitik.

Oleh karena itu, seruan untuk misalnya netralisasi ASN dalam proses Pilkada selalu mengandung arti spesifik; jangan politisasi birokrasi.

  • Politisasi Birokrasi

Sejak reformasi 1998, setelah otonomi daerah, Sutoro Eko (2004:179) menjelaskan setidaknya ada dua hal yang menonjol dalam birokrasi selama ini; (1) birokratisasi politik, dan (2) polititisasi birokrasi.

Birokratisasi politik artinya menempatkan birokrasi sebagai “mesin politik” yang mendominasi pembuatan keputusan hingga kontrol politik birokrat pada misalnya kelompok kepentingan dan masyarakat luas.

Sementara, politisasi birokrasi artinya menciptakan birokrasi yang tanggap dan patuh pada kepentingan politik jangka pendek penguasa.

Di era reformasi, pemerintah sudah melakukan depolitisasi birokrasi, dengan kebijakan netralisasi birokrasi terhadap partai dan Pemilu, tetapi netralisasi ini masih dipahami dan dilaksanakan secara serampangan.

Akibat dari masih serampangan inilah, seruan terhadap misalnya jangan politisasi ASN di Malaka menggema ke telinga publik sejak Pilkada pertama tahun 2015, namun baru menjadi perhatian serius pada Pilkada tahun 2020 ini.

Kasus dugaan misalnya ASN Yohanes Bernando bersama kawan-kawannya tertangkap mendampingi Bupati Stefanus Bria Seran (SBS) pada fit and proper test di Partai Gerindra Senin (30/1/2020) lalu, dari penjelasan Sutoro Eko di atas, itu bukan merupakan watak birokratisasi politik. Kehadiran beberapa oknum ASN itu menjelaskan cara mereka mencuri perhatian supaya tetap dimasukan dalam agenda kekuasaan. Oleh karena itu, seruan terhadap jangan politisasi birokrasi harus masuk ke telinga Bupati SBS sebagai pusat kekuasaan di Malaka.

Dalam posisinya sebagai bupati, SBS di bawah kekuasaannya selalu punya anggota ASN, dan anggota ASN itu di bawahnya punya anggota ASN lagi hingga pada level pemerintahan membentuk struktur birokrasi.

Oleh karena itu, politisasi oknum-oknum itu oleh kekuasaan pada misalnya proses Pilkada rentan terjadi melalui pemanfaatan relasi antara bawahan-atasan yang senantiasa saling menguasai ini. Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sudah diatur secara mengikat dinas-dinas kabupaten punya tugas membantu bupati melaksanakan urusan pemerintahan, karena itu masing-masing pembantu dengan sendirinya tunduk dan patuh pada bupati.

Melalui relasi kuasa ini, lalu kasus dugaan pelanggaran netralisasi ASN dalam proses Pilkada Malaka di atas menunjukan nasib oknum-oknum ASN di bawah bupati berada pada posisi yang tidak netral, melainkan selalu rentan dipolitisasi untuk memuluskan kepentingan, dengan bupati sebagai pihak penentu dan pengendalinya.

Oleh karena itu, dengan posisi ASN yang rentan, tidak hanya di Malaka, kekuasaan selalu leluasa menjebak mereka pada buah simalaka; oknum-oknum ASN itu baru dimasukan dalam agenda kekuasaan kalau tunduk dan patuh pada bupati. Kalau tidak, nasib mereka akan terancam dengan misalnya dimutasi ke pelosok-pelosok atau yang paling ekstrim dipecat.

Melalui jebakan buah simalaka ini, potensi kekuasaan melakukan politisasi birokrasi untuk misalnya kepentingan jangka pendek dalam Pilkada, pada beberapa kasus, berjalan mulus. Aknum-oknum ASN yang bermental tipis dan hanya bermain aman, mungkin tidak hanya di Malaka, akan mengikuti kepentingan kemana bupatinya pergi karena tidak ingin misalnya terancam dimutasi ke pelosok-pelosok atau dipecat dari jabatan tadi.

Di Kabupaten Malaka, kasus pemecatan ini sudah pernah terjadi tahun 2016 setelah SBS memenangi Pilkada pertama pada 9 Desember tahun 2015. Alex Bria dipecat dari Kepala Dinas PKPO, Anton Asa dipecat dari Kepala Dinas Kesehatan, Eduardus Klau dipecat dari Kepala Dinas BPMPD (Kilastimor, 30/5/2016, diakses 25/8/2016).

  • Agenda Reformasi

Dengan posisi ASN yang rentan, hingga tidak menguntungakan mereka dalam proses politik misalnya dalam Pilkada atau politik pengetahuan, nasib publik jadi taruhan. Dalam politik pengetahuan, saya menyebut netralisasi ASN mengandung arti sebagai netralisasi “dari” dan netralisasi “untuk”, misalnya melalui penguatan kapasitan kelembagaan dan individu ASN.

Netralisasi “dari” bermakna jangan politisasi birokrasi, sementara netralisasi “untuk” bermakna mendorong ASN tetap mendedikasi diri terhadap kepentingan publik. Oleh karena itu, penguatan kapasitan menjadi kebutuhan dalam mereformasi siapapun oknum-oknum yang bermental tipis dan hanya bermain aman ini.

Melalui penguatan kapasitan, ASN tidak harus bermain aman pada misalnya takut tidak masuk dalam agenda kekuasaan jangka pendek, dan akan terus terjebak mengikuti kepentingan kemana bupatinya pergi.

Jalan netralisasi “untuk” harus ditempuh supaya dalam proses Pilkada mereka tetap mendedikasikan diri pada kepentingan publik, misalnya ikut memastikan bersih dan berkualitasnya proses Pilkada. Oleh karena itu, posisi ASN secara internal harus dijebak sebagai agen perubahan dan agen control di lingkaran pemerintahan, supaya men-supplay laporan terhadap segala bentuk kecurangan sekalipun itu dibuat oleh sesama anggota ASN maupun oleh pusat kekuasaan.

Kunci untuk keluar dari zona aman selain seratus persen dipegang oleh kelompok ASN di lingkaran pemerintahan, juga dipegang oleh bupati. Apakah dengan menundukan ASN, bupati bersedia membuka jalan reformasi pada berbagai urusan pemerintahan, atau dengan jebakan buah simalaka di atas justru mengunci mati kepentingan “politisasi birokrat” dalam proses Pilkada?

Pada level kebijakan, SBS menempuh jalan reformasi hanya mungkin dengan terlebih dulu menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran ini karena oknum-oknum inilah pihak yang mau direformasi. Oleh karena itu, bertahan pada kepentingan “politisasi birokrasi” sama artinya dengan abai terhadap agenda reformasi.

Sejak tahun 1998, seruan terhadap reformasi cukup populer menggunakan logika terbalik; cara terbaik untuk membantu bupati adalah dengan cara melayani publik, oleh karena itu birokrasi di lingkaran pemerintahan harus punya semangat kepublikan (the spirit of publicness).

Melalui logika terbalik ini, setidaknya oknum-oknum ASN di atas tidak bisa lagi tunduk dan patuh pada kepentingan jangka pendek bupati dalam proses Pilkada, melainkan tunduk pada kepentingan publik; karena publik selalu ingin proses Pilkada tahun 2020 ini terjadi secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luberjudi).

Sementara pada level hukum, Bawaslu Malaka sudah melakukan pemeriksaan bukti dan keterangan terhadap pihak terkait.

Piter Nahak Manek bertindak sebagai Ketua Bawaslu menjelaskan oknum-oknum ASN itu sudah diserahkan kepada Bawaslu RI untuk ditindaklanjuti ke Komisi ASN (Timorline.com, 15/2/2020).

Tindakan itu mereka ambil sebagai cara untuk mewujudkan proses Pilkada Malaka tahun 2020 ini bersih dan berkualitas. Sebagai lembaga publik, untuk penguatan kapasitas kelembagaan, mereka sudah bekerjasama dengan publik melalui penegakan kontrol publik, karena itu mau tidak mau agenda reformasi diperlakukan sebagai agenda publik, sehingga publik wajib melapor siapapun yang memahami dan melaksanakan netralisasi ini secara serampangan saja.

  • Penulis: Efrem Ery Gius, S.IP., M.I.P./Konsentrasi Pemerintahan Daerah dan Desa.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini