Hingga hari Rabu ini (12/2), belum ada tanda-tanda pemerintah akan mengadakan evaluasi terbuka terhadap program Bupati Stefanus Bria Seran (SBS) dalam periode tahun 2016-2020.
Sebagian masyarakat Malaka memang sudah lama mengharapkan ada evaluasi bersama untuk mendengar pengakuan terkait keberhasilan program dari pemerintah dalam satu periode ini.
Pemerintah seharusnya mengundang masyarakat untuk melakukan dengar pendapat ketimbang bertindak sendiri dengan legislatif.
Tanpa evaluasi bersama, masyarakat hanya bisa beropini sendiri dengan indikatornya sendiri, sehingga apapun kekurangannya sangat tergantung pada para pembuat indikatornya.
Karena itu, lewat tulisan ini saya mau beropini, spesifik terkait Revolusi Pertanian Malaka (RPM), yang menurut sebagian orang jadi program primadona SBS.
RPM ialah satu bentuk pertanian modern yang sejak tahun 2017 sudah menguras puluhan miliar dari APBD, namun jika tidak dilengkapi metodologi yang canggih akan terlihat cacat dengan sendirinya.
Sebagai bentuk pertanian modern, banyak yang menilai nasib program ini sangat tergantung pada kuatnya sinergi dari bidang agrotekno, agrobisnis, dan agrowisata.
Agrotekno bertujuan untuk meningkatkan daya produksi pertanian, agrobisnis untuk memasarkan hasil pertanian, sedangkan agrowisata merupakan pengembangan dari keduanya.
Sejak bergulir pada tahun 2017, RPM lewat logika one village-one commodity-nya itu, memungkinkan 127 desa di Malaka masing-masing minimal punya satu bibit komoditi unggulan.
Berikut beberapa kemungkinannya; (1) Para petani di desa dengan sendirinya punya satu bibit komoditi yang bisa saja berbeda dari masing-masing desa; (2) Sebaliknya, meski petani masing-masing desa punya satu bibit komoditi, tetapi bisa saja sama dengan desa-desa lain; (3) Hybrid, dari 127 desa itu beberapa desa punya bibit komoditi yang berbeda, tetapi bisa saja ada beberapa desa punya bibit yang sama.
Apa saja dan berapa jumlahnya, hanya dinas pertanian yang setiap tahun sibuk mendata petani itulah yang tahu.
Namun sebelum agrobisnis dan agrowisata, spesifik terkait peningkatan daya produksi SBS lewat dinas pertanian membuat program (1) balik tanah gratis menggunakan traktor untuk mengganti cara kerja tradisional petani.
Nasib program ini, dengan demikian sangat tergantung pada seberapa canggih pemetaan potensi wilayah masing-masing desa.
Ada beberapa petani yang saya kenal di foho; tanahnya ternyata tidak bisa dibalik karena traktornya tidak berani membalik batu karang di tanahnya, jadi tidak semua tanah milik petani akan dibalik. Karena itu, menurut saya program ini hanyalah bentuk dari kebijakan afirmatife action pemerintah bagi tanah-tanah rata yang relatif banyak di fehan.
Kalaulah mau konsisten, supaya berkelanjutan, pemerintah tidak cukup berhenti sebatas pada balik tanah gratis, tetapi lebih dari itu (2) harus memastikan semua petani bisa menanam dan memanen.
Tanpa menanam, program primadona ini akan berhenti hanya sebatas pada urusan balik tanah gratis. Jelasnya, petani tidak akan berani menanam tanpa kepastian (3) tanamannya mendapat supplay air dan pupuk yang cukup.
Namun sampai awal tahun 2020 ini saja, sebagian masyarakat sudah mulai galau karena tidak ada ketidakpastian untuk menanam/memanen akibat curah hujan di Malaka masih belum stabil.
Tanpa “supplay air yang cukup” dalam program inilah, sebagian anggota DPRD awal bulan lalu mendesak pemerintah supaya segera mengantisipasi, tetapi pemerintah biasa merespon dengan cara lama; ketimbang membuat program seperti embung di desa, lebih praktis memanfaatkan potensi air yang tersedia.
Jelaslah, tidak semua desa punya potensi tanah dan air yang cukup untuk menjalankan RPM, sehingga tidak semua desa juga akan berhasil menanam dan memanen.
Sudah lama memang, sejak dari tahun 2005, potensi air seperti Bendung Benenain di wilayah Desa Kakaniuk itu terus mengalirkan manfaat untuk pertanian di fehan, tetapi petani di Desa Kakaniuk sendiri sudah lama mengalami kesulitan air.
Disitu paradoknya; dengan sifat air mengalir dari foho ke fehan, masyarakat di foholah yang paling mungkin memastikan nasib air itu tetap mengalirkan manfaat, tetapi mengapa masyarakat foho kesulitan air?
Petani akan kesulitan air jika nasib air itu sendiri¬ tidak tergantung pada cara merawat dari semua pihak. Jelasnya, masyarakat di foholah yang paling mungkin untuk merawat, tetapi justru nasibnya relative belum banyak tersentuh program yang memang dari bentuk afirmatif action itu saja tidak akan menjangkau semua petani.
Sebagai contoh; komoditi unggulan seperti bawang merah lebih banyak dipanen di desa-desa yang notabene di fehan.
Jelasnya, untuk menjangkau semua petani, pemerintah lewat pemetaan potensi wilayah yang lebih canggih lagi, harus membuat program afirmatif action baru bagi semua petani di foho.
Lebih tepatnya, harus ada program asimetris untuk menutup kekurangan program primadona yang sangat memihak ini karena dari potensi wilayah di foho dan fehan juga asimetris. Melalui analisis yang canggih inilah, pemerintah seharusnya tidak lagi membuat satu program primadona lalu mengandaikan sendiri akan berhasil untuk semua wilayah.
Penulis: Efrem Ery Gius, S.IP., M.I.P/Konsentrasi Pemerintahan Daerah dan Desa