Lihat Foto Seorang pria mengenakan masker saat mengendarai sepeda motor di jalanan kota Wuhan, China, yang sepi akibat wabah virus corona yang mematikan, Minggu (26/1/2020).
Lihat Foto Seorang pria mengenakan masker saat mengendarai sepeda motor di jalanan kota Wuhan, China, yang sepi akibat wabah virus corona yang mematikan, Minggu (26/1/2020).

Pandemik Covid 19 membuat Pemerintah dan masyarakat kebingungan, dilema dan depresi tingkat tinggi. Pemerintah dilema dan kebingungan setelah membuat berbagai kebijakan, agar semua tempat lockdown atau tidak memperbolehkan masyarakat beraktivitas di luar rumah, namun ada banyak orang yang melanggar aturan tersebut.

Masyarakat terpaksa melanggar aturan dan kebijakan pemerintah, bukan karena ingin melawan dan tidak mengindahkan kebijakan itu, tetapi masyarakat dituntut untuk survive dalam aspek ekonomi sehari-hari.

Masyarakat harus bekerja untuk mendapatkan sepiring nasi dan tidak peduli dengan persebaran virus yang mematikan itu. Singkatnya masyarakat harus membuat semacam pilihan, dan kedua pilihan itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi kebaikan dan kesejahteraannya.

Bayangkan saja, ketika seseorang memilih untuk stay di rumah, dan sebagai konsekuensinya kebutuhan hidup sehari-hari tidak terpenuhi, anak, istri, orang tua dan keluarganya harus kelaparan, kehilangan pekerjaan dan terbelenggu dalam penderitaan atau bisa saja mati.

Kemudian sebagiannya lagi memutuskan untuk membangkang dan tetap beraktivitas di luar rumah. Resikonya adalah ada kemungkinan terjangkit virus Corona dan bisa saja menular kepada anggota keluarga yang lain. Benar-benar tragis dan sadis, hampir tidak ada celah untuk keluar dari lingkaran ketidakpastian itu.

Pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan masyarakat dan pemerintah (Negara dan Lokal) dengan situasi demikian? Ranah perjuangan (field of struggle) seperti apakah yang bisa diaplikasikan di tengah pandemik ini? Bagaimana dengan fungsi kepemilikan capital (modal) terhadap orang yang mempunyai modal lebih dan yang tidak banyak modal pasca covid 19? Lalu bagaimana dengan realitas habitus dari masing-masing posisi dalam masyarakat untuk survive terhadap pandemik sekaligus mempertahankan struktur-struktur yang ada di dalam kehidupannya?

  • Warisan Bourdieu

Ada tiga hal atau konsep penting dalam kerangka berpikirnya Bourdieu, yakni: Ranah Perjuangan (field of struggle), Modal (Capital) dan Habitus. (Bourdieu, 1986). Bourdieu menjelaskan tiga konsep ini dalam relasinya dengan pendidikan, di mana ia melihat pendidikan sebagai reproduksi kelas sosial. Namun tidak berarti pemikirannya bertumpu pada aspek pendidikan saja dan tidak bisa dihubungkan dengan aspek lain. Justru pemikirannya bisa menjadi tombak analisis untuk menyingkap berbagai persoalan dan fenomena tentang kehidupan masyarakat secara general.

Ranah perjuangan (field of struggle) dipahami sebagai suatu ruang kompetisi, ruang pertarungan, tempat atau konteks perjuangan, ada kekuatan, ada energi dan ada semangat dan ada modal (ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan budaya). (Hermansyah, 2015). Di sinilah ketiga aspek tersebut saling berhubungan (hubungan dialektika) untuk menjelaskan tentang posisi sosial dan struktur yang ada.

Misalkan: para perempuan melihat ruang publik sebagai ranah perjuangan untuk keluar dari ruang privat (dapur, sumur dan kasur). Ada perjuangan di situ, tetapi tidak cukup hanya dengan mengandalkan perjuangan kalau tanpa ada modal atau capital. Lantas, modal juga menjadi aspek penting dalam perjuagan itu, di mana modal tidak hanya dalam bentuk barang dan uang (ekonomi), melainkan modal dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti status sosial, kekuasaan, jaringan dan simbolik. Dengan kata lain modal itu terwujud dalam aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Selanjutnya ada “habitus” yang juga terhubung dengan modal untuk menggambarkan seperti apa ranah perjuangan itu terealisasi.

Boerdieu mengartikan habitus sebagai “akal sehat”, mental atau kognitif yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas (seperti kelompok usia, jenis kelamin atau kelas sosial. Dalam hal ini habitus merupakan fenomena kolektif yang memungkinkan orang memahami dunia sosial dan strukturnya beragam. Hal ini berarti bahwa habitus dibangun atas teori produksi pelaku sosial dan logika tindakannya dalam wujud sosialisasi untuk pengintegrasian habitus kelas tersebut. Proses sosialisasi ini menjadi penting karena proses ini memproduksi kelas dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan habitus. Pierre Bourdieu juga melihat habitus sebagai pengkondisian yang dihubungkan dengan keberadaan suatu kelas. Artinya ada sistem disposisi tahan waktu yang dapat diwariskan habitus (berapa lama kelas itu berada), ada struktur yang dibentuk di sana dan struktur itu berfungsi sebagai hasil dari suatu habitus (kelas itu terbentuk dan dikondisikan berdasarkan struktur-struktur yang ada, seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya). Sederhananya habitus dilihat sebagai struktur yang dinternalisasikan sehingga bisa menjadi kebiasaan yang terus menerus diwujudkan individu. (Damanik, 2019).

Lalu pertanyaan yang muncul adalah  apa yang dimaksud dengan hasil habitus? Hasil habitus itu dapat berbentuk dalam wujud hasil keterampilan dari suatu tindakan praktis (baik yang disadari ataupun tidak disadari), yang kemudian diterjemahkan sebagai kemampuan yang kelihatan secara alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.  Sederhananya seperti bakat atau potensi yang ada dalam diri subyek atau individu.

Misalkan: hal penguasaan bahasa, penulisan atau pikiran, yang terwujud dalam seniman, sastrawan, penulis, filsuf dengan menghasilkan karya-karyanya. Karya-karya tersebut lahir berkat kebebasan kreatif mereka, yang pada dasarnya mereka tidak menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam diri mereka sendiri. Singkatnya, habitus merupakan sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.

  • Masyarakat Indonesia Saat Menghadapi Covid 19: Ranah Perjuangan, Modal Dan Habitus

Tulisan ini bersifat analisis argumentatif, di mana data dan sumber-sumber informasinya dikaji melalui data-data sekunder yang tertera dalam buku, pdf, majalah online dan berita-berita urgen tentang kasus covid 19 di sekitar Inndonesia.

Pandemik ini dinyatakan sebagai musibah yang universal, dan tentu akan menjadi perhatian dunia, lebih spesifik lagi bangsa Indonesia. Hampir semua tempat baik di kota maupun di desa menerapkan sistem lockdown dan karantina terhadap masyarakat setempat.

Aktivitas kota tidak berjalan, lumpuh, atau nyaris mati dan desa-desa pun menjadi seperti perkampungan-perkampungan hantu yang hampir tidak terlihat keberadaan warganya.

Ada beberapa catatan penting yang di ulas oleh kompas.com tentang beberapa tempat yang menerapkan sistem lockdown, seperti Jawa Tengah (Tegal, Solo), DIY, Jawa Barat (Tasikmalaya) dan Papua. (Azanella, 2020).

Laporan yang sama juga terlihat dari media lain seperti cnnindonesia.com yang juga meliput tentang beberapa daerah-daerah yang melakukan lockdown (Bali, Maluku dan lainnya), sebagai upaya preventif mencegah persebaran virus Corona. (Lembaga CNN Indonesia, 2020). Sedikit berbeda dengan ulasan dari tirto.id tentang pemerintah Jawa Timur yang tidak menerapkan lockdown secara penuh atau bahkan tidak ada lockdown, dengan berbagai pertimbangan. (Tirto.id, 2020). Atau pemerintah Aceh Selatan yang hanya menutup tempat-tempat pariwisata tanpa membuat lockdown secara utuh, seperti daerah-daerah lain. (Muda, 2020).

Dampak dari pandemik cukup fatal, di mana banyak sekali masyarakat yang harus kehilangan pekerjaannya baik informal maupun formal serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tribun Yogya.com menceritakan tentang dampak bagi para pekerja dibidang pariwisata (Himpunan Pramuwisata Indonesia DIY). (Huda, 2020).

Tentu masih banyak juga masyarakat di tempat lain yang tidak diliput dalam berita, misalnya di NTT, Flores, yang juga mengalami masalah yang hampir sama. Di mana masyarakat ada yang Stay dalam rumah maupun ada orang yang meninggalkan rumah untuk bekerja tanpa peduli tentang persebaran virus yang ada.

Masyarakat dituntut untuk bekerja, karena bagi mereka virus atau penyakit sama-sama berbahaya jika mereka tidak memiliki kebutuhan hidup yang cukup. Sebuah kesalahan besar apabila pemerintah dan aparat keamanan Indonesia menerapkan sistem keamanan seperti di India (Kota Meerut), di mana masyarakat diberi hukuman jika tidak mengindahkan aturan lockdown dengan cara-cara halus sampai dengan cara kasar atau kekerasan. (Dzulfaroh, 2020). Sehingga hal-hal demikianlah perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut berdasarkan realitas yang ada.

Tiga hal penting dalam pemikiran Bourdieu (ranah perjuangan (field of struggle), Modal dan Habitus) direlasikan dengan konteks dan situasi covid 19 di Indonesia. Hubungan itu bisa dijelaskan dengan melihat berbagai potret kehidupan masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemik ini.

Pertama, ranah perjuangan (field of struggle) masyarakat dan pemerintah saat menghadapi badai covid 19. Ruang perjuangan ini dapat dilihat dengan dua bagian, yakni: Ranah perjuangan masyarakat yang stay at home atau menetap dalam rumah dan masyarakat yang leaving home atau meninggalkan rumah. Ranah perjuangan bagi masyarakat yang menetap dalam rumah adalah terhindar dan meminimalisasi terjangkitnya covid 19. Resikonya untuk masyarakat kelas menengah bawah, miskin dan subordinasi adalah aspek kebutuhan ekonomi sehari-hari macet, sebab sebagian besar masyarakat ini umumnya bekerja di luar rumah (keluar daerah; kota, desa, kampung atau keluar negeri). Hal yang sangat mungkin terjadi adalah angka penggangguran semakin meningkat, ketimpangan sosial, kriminalitas dan kejahatan bisa saja bertambah. Belum lagi stay at home tidak menjamin kalau virus itu bisa hilang atau tidak terjangkit, karena persebaran virus itu melalui udara dan virus bisa menyerang siapa saja dan di mana saja orang berada. Hal ini mengandaikan bahwa stay at home tidak menjamin masyarakat selamat dari pandemik ini, justru bisa memperburuk keadaan yang ada. Sedangkan untuk masyarakat yang leaving home, tentu ranah perjuangannya juga tidak mudah, di mana kemungkinan untuk terserang virus juga sangat besar. Belum lagi semua aktivitas di luar rumah juga tidak berjalan semestinya (pasar tutup, tidak ada transaksi, produksi dan distribusi lumpuh), solidaritas, interkasi dan sosialisasi konvensional hilang. Artinya, bagi masyarakat kecil dan termarginal transaksi online, aktivitas online dan interaksi online dengan media virtual tidak sebagai jawaban untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Kedua, Modal. Pada bagian ini saling berhubungan dengan bagian pertama tentang seberapa jauh ranah perjuangan masyarakat itu diaplikasikan? Eksistensi modal sebagai properti, asset, status atau privilege yang juga menjadi penentu dalam menghadapi pandemik ini. Ranah perjungan masyarakat atau kalangan yang bermodal tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang mempunyai modal pas-pasan atau bahkan ada orang yang tidak mempunyai modal. Keberadaan modal ini menjadi urgen, karena kebutuhan logistik, vitamin, obat-obatan, akses ke rumah sakit, masker membutuhkan modal dalam berbagai bentuk seperti: uang, emas, jaringan, relasi sosial. Bagi masyarakat kelas atas yang mempunyai modal (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan dan budaya) tentu perjuangannya tidak akan sama dengan masyarakat kelas menengah bawah dan masyarakat kelas bawah. Kaum pinggiran dan subordinasi ini harus berdarah-darah, penuh perjuangan, kerja keras dan bahkan kehilangan nyawa. Meskipun persebaran virus tidak mengenal kaum bermodal dan tidak bermodal, tetapi level perjuangan dan resiko lebih dominan menghantui dan berimbas pada masyarakat marginal. Orang-orang yang bermodal akan memutuskan untuk stay at home, social distancing, relasi virtual atau online sebagai upaya mencegah virus. Kemudahan lainnya adalah soal akses kesehatan, obat-obatan, logistik, walaupun tidak menjamin sepenuhnya bahwa mereka akan terhindar 100% dari virus. Namun, kondisi yang lebih buruk akan menimpa orang-orang yang tidak bermodal (kaum marginal, kelas bawah, menengah bawah) menjelang covid 19 ini. Di mana orang-orang ini tidak mempunyai banyak pilihan atau kesempatan, selain harus berpartisipasi bersama resiko-resiko yang ada. Perjuangan mereka harus lebih buas dan keras dalam melawan virus dan ketimpangan sosial yang ada. Tidak peduli harus keluar rumah, mencari berbagai peluang untuk bekerja, melanggar berbagai peraturan pemerintah, dipidana, dihukum dan bahkan kehilangan nyawa karena virus atau mati karena bertarung melawan kerasnya kehidupan sebagai upaya mereka untuk survive. “Sungguh miris dan tragis hidup ini”, sebuah formulasi kalimat yang mungkin tidak pantas dan terlarang diucapkan oleh orang-orang tidak bermodal, miskin, marginal dan terpinggirkan. Bagi kaum pinggiran, “mengeluh” bukan solusi yang tepat dalam ranah perjuangan, apalagi “bersembunyi dalam rumah”. Itu hanya menyebabkan luka dan penderitaan semakin bertambah lebar. Di lain sisi, mungkin ada sebagian orang pinggiran yang terpaksa terkurung dalam rumah sebagai upaya untuk tidak menyebarkan virus kepada orang lain. Resikonya adalah kelaparan, menderita dan bisa saja mati, karena ketidakmampuan mereka melawan sistem, aturan dan struktur hidup yang ada. Ini juga merupakan potret perjuangan yang sudah mereka lakukan walaupun terlihat seperti tidak ada perjuangan, tetapi sebenarnya ada perjuangan yang terselubung dalam makna perjuangan dan realitas perjuangan hidup itu sendiri.

Ketiga, Habitus atau suatu pengkondisian yang dihubungkan dengan keberadaan suatu kelas sosial. Sederhananya habitus diartikan sebagai struktur yang dinternalisasikan sehingga bisa menjadi kebiasaan yang terus menerus diwujudkan individu. Hal ini mengandaikan bahwa terbentuk hubungan dialektika antara ranah perjuangan, modal dan habitus itu sendiri dalam menyikapi fenomena covid 19. Ranah perjuangan masyarakat Indonesia tidak berhenti pada tataran modal semata, tetapi melihat lebih jauh tentang habitus dari keseluruhan hidup mereka. Hampir semua masyarakat Indonesia hidup sebagai masyarakat yang berada pada posisi kelas menengah dan kelas bawah. Artinya tidak banyak orang-orang Indonesia berada pada kelas atas. Kehidupan masyarakat juga sangat plural atau majemuk (budaya, agama, ekonomi, politik dan bahkan ideologi). Di lain sisi, masyarakat Indonesia rata-rata hidup dan bekerja dalam sektor pertanian, perkebunan, informal. Sisanya bekerja dan hidup dalam sektor formal, industri, pemerintahan atau birokrasi. Hal ini menggambarkan bahwa struktur yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat itu berbeda-beda dari masing-masing subyek. Tidak semua orang memiliki aspek rasional atau intelektualnya dan mental atau kognitifnya sama. Atau dengan kata lain, masing-masing orang mempunyai potensi atau skill yang biasa diproduksinya secara berbeda. Hasil dari habitus yang dikembangkan pun masing-masing orang juga berbeda. Hal tersebut tergantung pula pada modal dan perjuangan dari masing-masing individu. Habitus seorang pengusaha (korporasi), seorang birokrasi pemerintahan atau birokrasi sosial dan budaya tentu akan berbeda dengan masyarakat biasa dalam hal pemahaman dan penanganan terhadap covid 19. Masyarakat biasa yang setiap hari bekerja di alam bebas, ada yang berpendidikan secara formal, tidak berpendidikan secara formal atau  hidup berdasarkan pengelaman sehari-hari. Tentu dari segi intelektual dan kognitif akan sangat berbeda pula. Hal ini sama persis dengan dua individu, di mana yang satunya sering membaca buku ilmiah dibandingkan dengan yang hanya membaca majalah-majalah biasa. Hasil dari habitus yang ada pasti berbeda. Habitus diantara masyarakat biasapun pasti berbeda-beda soal pemahaman mereka tentang covid 19, maupun cara menangani covid 19. Kehadiran covid 19 menciptakan suatu habitus yang baru, di mana masyarakat di suruh untuk stay at home, social distancing, lockdown, karantina dan interaksi secara virtual.  Habitus-habitus tersebut  membuat banyak orang depresi dan hal-hal ini pertama kali terjadi dalam sejarah dunia. Hal inilah yang melahirkan interpretasi berbeda-beda tentang covid 19 dari masing-masing orang di Indonesia. Stay at home bertolak belakang dengan habitus para petani, nelayan, buruh pabrik, kuliner, pedagang kecil yang sering keluar rumah. Model tersebut tidak cocok dengan struktur internal dalam kehidupan mereka. Sebab bagi mereka itu hanya pekerjaan orang-orang gila yang punya modal, yang sangat tidak relevan dengan kehidupan mereka sebagai masyarakat kecil. Di sinilah yang akan menentukan ranah perjuangan antara orang-orang kelas atas dan kelas bawah. Orang-orang kelas bawah pasti melawan terhadap berbagai aturan tersebut atau membangkang, bukan tidak mengindahkan kebijakan yang ada tetapi habitus mereka mendorong untuk tidak bisa berlama-lama dalam rumah. Potensi dan skill yang mereka miliki adalah bertarung melawan virus di luar rumah (ranah perjuangan), sebab mereka menyadari mereka tidak bermodal dan hal inilah yang membedakan habitus mereka dengan orang-orang bermodal.

Fenomena lainnya adalah adapun sebagian kaum marginal tidak keluar rumah atau stay at home. Dengan alasan bahwa mereka tidak ingin menyebarluaskan virus yang ada kepada orang lain. Atau mungkin karena pemahaman mereka tentang covid 19 itu sedikit bertentangan dengan pemahaman mereka sendiri. Artinya orang-orang ini melawan habitus mereka sendiri untuk tetap bertahan di dalam rumah dan menanggung berbagai penderitaan. Fenomena ini kelihatan sangat naif dan tidak masuk akal, akan tetapi itu bisa di kategorikan sebagai salah satu perjuangan mereka menghadapi covid 19. Orang-orang ini berani melawan habitus yang sudah lama terstruktur di dalam diri mereka dan hal tersebut bukan hal yang mudah, apalagi menyangkut kehidupan.

  • Penulis: Petrus Selestinus Mite, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini