
sergap.id, KISAH – Hery dan Sinta sudah menikah 20 tahun lamanya. Tepat di hari ulang tahun pernikahan mereka, Sinta bertanya kepada Hery, “Pa…tidak ada waktu kah kau untuk makan malam bersama seorang wanita?”
Hery yang tidak memiliki saudara dan anak wanita itu pun kebingungan dan balik bertanya, “Maksudmu?”.
Sinta lantas menjelaskan, “Besok, ajaklah ibu jalan-jalan, lalu ajak ibu makan di warung lesehan langganan kita itu. Sudah 20 tahun kita menikah, tapi kau belum pernah sekalipun makan malam bersama ibu. Teleponlah beliau, ajaklah dia. Beliau pasti amat mendambakan kebersamaan denganmu.”
Segeralah Hery menelepon ibunya. Dalam perbincangan itu, ia menyampaikan maksudnya.
Sang ibu yang sudah lama menjanda itu langsung sumringah mendengar ajakan Hery. Meskipun, ada rasa tak percaya atas ajakan mengagetkan dari anak semata wayangnya itu.
Hari yang direncanakan pun tiba. Hery menuju rumah ibunya. Sesampainya disana, sosok penyabar yang sudah lama mendambakan kebersamaan bersama anaknya itu sedang menunggu, tepat di depan pintu rumahnya.
Dipacu rasa rindu, si ibu langsung menyambut, menghampiri dan bergegas masuk ke dalam mobil Hery.
Dalam perjalanan, mereka ngobrol santai soal rumah makan dan menu terbaik. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat makan langganan Hery dan Sinta.
Saat menunggu pesanan datang, ibu Hery bercerita soal nostaligia di kala Hery masih kecil. Hery mendengar dengan saksama dan sesekali tersenyum bahagia.
Disaat yang sama, diam-diam Hery memperhatikan pakaian ibunya. Dalam hati dia berkata, “Wah baju ibu sudah agak sempit nih”.
Rupanya, baju itu adalah pakaian terakhir yang dibelikan oleh almarhum ayahnya tiga bulan sebelum meninggal karena kecelakaan di jalan raya. “Waduh…. Koq saya lupa sih beli baju baru buat ibu?,” kata Hery dalam hati.
Tak lama kemudian, datanglah pelayan pembawa menu pesanan. Namun karena saking bahagia lantaran diajak anaknya makan malam, selera makan sang ibu tiba-tiba sirna seketika. Ia sama sekali tak berminat mencicipi, apalagi melahapnya. Ia hanya memandangi Hery dengan penuh cinta kasih dan rindu yang kian bertambah.
Hery mencoba memaksa agar ibunya makan, tapi ibunya tetap menolak dan berkata, “Nak… ibu sudah kenyang dan bahagia bisa duduk bersama kamu. Makanlah nak, ibu hanya ingin bertemu dan melihat kamu bahagia”. Lalu Hery menjawab, “Okelah bu, saya makan dulu ya bu…”.
Sambil melahap, Hery berkata, ”Bu…, ini yang pertama sejak 20 tahun yang lalu. Maafkan saya ya bu. Esok kita akan makan malam lagi (yang kedua)”.
Mendengar kalimat itu, mata sang ibu berbinar bahagia. Ia semakin bahagia ketika dalam perjalan pulang, Hery berjanji akan membelikannya baju baru.
Usai mengantar ibunya, Hery pun kembali ke rumah dan tidur bersama Sinta, istrinya.
Keesokan harinya, sehabis mandi dan berdandan, si ibu menunggu panggilan telepon. Namun di belahan lain Hery terlihat sangat sibuk dengan dunia pekerjaannya. Ia benar-benar lupa dengan janji kepada ibunya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tahun berganti, Hery tak pernah lagi menelepon ibunya.
Lantaran usia yang makin menua, sang ibu pun sakit. Makin hari, makin parah sakitnya. Alasan sibuk membuat Hery tak pernah membesuk ibunya. Hingga akhirnya, wanita berhati lembut itu dipanggil Sang Khalik.
Proses pemakaman berlangsung lancar. Ada haru nan pilu yang menelisik ke dalam hati Hery. Perasaan bersalah selalu datang belakangan. Andai perasaan itu bisa datang lebih dulu, mungkin saja ia akan bisa menebus dosanya.
Setelah pulang dari pemakaman, ponselnya bergetar. Tertera dalam layar, pemanggil adalah ruma makan tempat ia dan ibunya makan malam setahun lebih yang lalu.
“Halo, Pak Hery,” ucap suara dari seberang. Hery menjawab, “Iya, halo, ini dengan siapa?”. Dari seberang membalas lagi, “Maaf, Pak. Dalam catatan kasir kami, bapak telah memesan tempat makan malam untuk dua orang. Tagihannya suda dibayar oleh Ibu anda.”
Perasaan haru biru melanda benak Hery. Tanpa menunggu lama, ia langsung menuju rumah makan tersebut. Sampai di sana, sang kasir menyerahkan sebuah pesan tertulis tangan dari ibunya, “Nak, ibu mengerti. Malam ini adalah makan malam terakhir kita. Meski kau sampaikan akan ada yang kedua, saya tidak terlalu yakin. Maka, makanlah bersama istrimu. Saya sudah membayarnya untumu dengan uang Ibu.”
“Ibu…., Ibu…., Ibu….,” Hery menangis dalam hati. Wajahnya pucat merindukan sosok ibu. Ia baru sadar bahwa sosok ibu harus didahulukan dari sosok bapak. Sosok ibu adalah mutiara kebaikan yang tak tergantikan. Selalu ada mutiara yang bisa digali darinya.

Catatan
Pasti ada hikmah dari wanita yang mungkin saja, sudah kita sia-siakan sejak lama. “Ampuni dosa kami, dosa bapak dan ibu kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami di masa belia”.
Ada banyak catatan yang mesti diperhatikan oleh seorang anak selepas menikah. Baik ia sebagai anak perempuan maupun laki-laki.
Khusus bagi laki-laki, ada penekanan dalam hal ini. Sebab, hingga kapan pun, surga bagi seorang anak letaknya ada pada kaki ibu.
Selain itu, selepas menikah, bakti seorang anak sama sekali tak otomatis terputus dengan alasan telah memiliki keluarga sendiri. Penting kiranya bagi kedua pasangan dan keluarga terdekat untuk saling mengingatkan.
Jangan sampai kisah ini terjadi di diri dan ibu kita. Sebuah kisah haru nan memilukan ini, patut dijadikan cermin bagi kehidupan kita, sebagai anak maupun orangtua. (Monde Ariezta)