Kons Nahak
Kons Nahak

Baru-baru ini dalam rilisnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memperkirakan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) tahun 2020 akan diikuti oleh sedikitnya 230 petahana (Incumbent). Salah satu daerah yang masuk dalam daftar tersebut adalah Kabupaten Belu.

Sebagaimana yang kita tahu, momentum Pilkada tahun ini berlangsung di tengah wabah covid-19 dan upaya masif penanganannya. Sejumlah besar anggaran pemerintah baik di pusat maupun daerah dipangkas dan dialokasikan untuk menghadapi badai besar pandemik mematikan ini.

Oleh karena momentum Pilkada berlangsung di tengah kondisi darurat pandemik global Korona maka menjadi menarik untuk disimak manuver Bupati Petahana Belu dalam konteks politik elektoral. Dasar pertanyaan gugatan kita adalah apakah ada upaya politisasi bantuan covid-19 oleh Petahana untuk kepentingan politik elektoralnya?

Pertanyaan semacam ini sah-sah saja untuk dilontarkan karena dalam skala politik lokal karena akhir-akhir ini Bupati Belu begitu gencar melakukan kunjungan ke desa-desa untuk membagi Bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat terdampak covid-19 yg bertepatan dengan momentum Pilkada tahun ini. Sebagai rakyat kita berharap semoga niat ini tulus adanya, mengingat kunjungan yang gencar ke desa-desa tampaknya makin sering dilakukan di akhir masa jabatan. Jika kunjungan sejenis ini getol dilakukan selama menjabat kita tentu tidak perlu “diganggu” oleh litani pertanyaan-pertanyaan serupa: bersihkah sang Petahana dari niat politis elektoral di balik kunjungan-kunjungannya yang gencar belakangan ini?, Apakah semua ini demi masyarakat ataukah sebetulnya hanya soal momentum belaka? Hanya Tuhan yang tahu.

Mengajukan pertanyaan kritis semacam ini dalam ruang publik menjadi sangat krusial mengingat Petahana memiliki segenap sumber daya kekuasaan maupun sumber daya politik yang dapat dikerahkan untuk mengamankan ambisi politik di periode terakhirnya. Sementara masyarakat yang “disandra” oleh covid-19 seoah kehilangan sikap kritis karena semua orang sedang berada dalam kondisi yang amat rentan.

Analisis ekonomi global menunjukkan kerapuhan ekonomi yang bakal mengancam masyarakat negara-negara berkembang. Pemerintah yang datang dengan berbagai bantuan mudah dilihat sebagai sinterklas di tengah krisis. Ada begitu banyak intervensi Pemerintah melalui pendekatan bantuan, baik Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Sosial (Bansos), maupun Bantuan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).

Di dalam politik momentum sangat penting. Pilkada dan covid-19 seolah bertemu pada satu titik di mana kekuasaan dan opsi keberpihakan pada rakyat mesti diuji. Bagi yang berpolitik secara opurtunistik dengan wawasan Machiavilian covid-19 jelas-jelas merupakan “berkah politis” yang tak terduga. Virus korona – seperti pepatah – adalah kesempatan dalam kesempitan untuk merebut “korona” kekuasaan.

Hemat saya, Pilkada di tengah pandemi ini adalah “berkah politis” bagi sang Petahana karena berbagai bentuk bantuan ini berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan sosialisasi, kampanye dan pencitraan. Bahkan tim relawan covid-19 yang dibiayai oleh keuangan daerah bisa saja dikendalikan dan diarahkan untuk kepentingan politik sesat lima tahunan ini. Saya tidak menuding bahwa Bupati sedang melakukan hal itu, namun sebagai rakyat kita berhak curiga pada kekuasaan. Rakyat perlu menyalakan alarm untuk mengamati secara cerdas permainan politik kekuasaan di sekitar pertarungan semacam ini.

Politisasi bantuan penanganan covid-19 bagi masyarakat terdampak, menurut hemat saya menunjukkan rendahnya etika politk penguasa yang anti humanisme. Arif Susanto, Analis politik Exposit Strategic menilai politisasi Bansos bagi masyarakat terdampak covid-19 adalah cermin kepala daerah yang berkualitas rendah. Politisasi berbagai bentuk Bansos juga jelas tidak etis sekaligus menunjukkan rendahnya kepekaan sebagai kepala daerah.

Mengapa politisasi Bansos tidak etis? Hal itu karena Bansos itu bukanlah bukti kemurahan hati personal seorang kepala daerah, melainkan hak kalangan rentan yang membutuhkan jaminan perlindungan Negara. Praktik semacam itu juga tidak sensitif secara politik karena dengan politisasi semacam ini seakan kepala daerah sedang menari di atas penderitaan rakyatnya sendiri.

Terkait politisasi Bansos, Direktur Eksekutif untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, mengemukakan beberapa alasan mengapa Bansos rawan diselewengkan baik untuk kepentingan politik maupun tujuan pelanggaran lainnya. Pertama, mentalitas dan perilaku kepala daerah yang menyimpang, koruptif dan tidak berintegritas. Faktor ini menjadi penyumbang terbesar penyalahgunaan dana Bansos. Kedua, tipologi penggunaan dana Bansos yang lebih mudah dan fleksibel. Ketiga, tidak berfungsinya institusi pengawasan sehingga membuka lebar pintu penyimpangan. Keempat, karena para Kepala Daerah tidak berprestasi sehingga merasa takut untuk tidak terpilih kembali dalam pilkada mendatang.

Saya khawatir, jangan-jangan apa yang dikatakan Titi Anggraini ada benarnya. Kepala daerah yang getol melakukan politisasi Bansos sebetulnya adalah mereka tidak percaya diri mengandalkan kinerja yang sudah dilakukan selama masa lima tahun kepemimpinannya. Oleh karena itu, mereka berusaha mempercantik diri dengan cara instan dan menggunanakan sumber daya Negara untuk memuluskan jalan untuk melanggengkan kekuasan.

Segala bentuk politisasi dan dinamika politik telah mengajarkan masyarakat banyak hal. Kita yakin masyarakat telah cerdas. Stop politisasi. Masyarakat punya jalan pilihannya sendiri. *) Penulis: Kons Nahak, alumni GMNI. Warga Belu, tinggal di kampung.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini