sergap.id, OESELI – Di sisi lain di Pantai Oeseli, Kabupaten Rote Ndao, ada laguna cantik bernama Nirwana. Keberadaannya belum banyak diketahui oleh wisatawan lokal.
Setiap kali berwisata, sempatkan waktu untuk berinteraksi dengan warga lokal. Karena siapa tahu, dari percakapan itu Anda bisa mendapatkan informasi destinasi wisata baru yang belum diketahui sebelumnya.
Ketika berkunjung ke Pulau Rote, detikTravel dibisiki oleh seorang petani rumput laut mengenai rahasia tersembunyi dibalik Pantai Oeseli. Sebuah pantai berpasir putih di ujung selatan Indonesia yang dikelilingi banyak bebatuan karang cadas.
Perjalanan ke Pantai Oeseli dimulai dari Bandara DC Saudale yang terletak di ibukota Kabupaten Rote Ndao yaitu Ba’a. Selanjutnya menumpang mobil ke Pantai Oeseli yang berjarak hampir 2 jam.
Pemandangan dalam perjalanan ini berubah silih berganti. Mulai dari lembah berbatu, sawah nan hijau hingga pohon lontar menjulang tinggi. Sekawanan sapi, kambing, babi dan anjing kerap melintasi jalan sehingga menyebabkan mobil rem mendadak. Namun inilah ciri khas unik yang disuguhkan Pulau Rote kepada kami.
Pantai Oeseli ini berada tepat di ujung Pulau Rote sehingga menjadikannya sedikit tersembunyi. Air laut yang amat jernih cenderung tenang dan tak memiliki banyak gelombang.
Pantas saja, begitu tiba di sana kami disambut puluhan bintang laut yang sedang berjemur di pinggir pantai. Di sekitar pantai juga terdapat pohon kerdil dengan penampakan seperti tanaman bonsai raksasa.
Saat tengah menikmati semilir angin di Oeseli, kami bertemu Patriks, petani rumput laut yang baru saja menyandarkan sampannya. Di tengah perbincangan, Patriks menunjuk ke arah bukit karang tepat di seberang Pantai Oeseli.
Menurutnya di sana ada sebuah laguna bernama Nirwana dengan pemandangan asri dan indah. Keberadaan Nirwana memang pertama diketahui oleh petani rumput laut. Wisatawan yang pernah menyeberang pun hanyalah segelintir turis asing.
Insting kami terpacu untuk menjadi turis lokal pertama yang menjejakkan kaki di Nirwana. Setelah berkompromi, jadilah kami menyewa dua sampan milik Patriks dan kawannya.
Kami dikenakan tarif Rp 100 ribu untuk masing-masing sampan dengan kapasitas 4 orang. Selama lima menit menyebrang, kami harus menjaga keseimbangan tubuh agar sampan tidak terbalik.
Selanjutnya kami masih harus mendaki bukit yang dipenuhi ilalang dan pepohonan rindang. Medannya cukup ekstrim karena yang dilewati adalah bukit berkarang.
Karena tidak hati-hati, salah satu rombongan pun cedera karena kakinya terantuk karang. Namun jalan berbatu itu pun terbayar setibanya kami di Nirwana.
Perpaduan warna hijau, biru dan tosca pada permukaan hingga ke dasar laguna begitu memikat mata. Air laut jernih yang terperangkap ini sanggup merefleksikan dengan jelas pepohonan hijau dan awan putih di sekelilingnya.
Sayangnya kami datang saat pasang. Padahal menurut Patriks, jika sedang surut, pasir putih akan muncul dan mengelilingi Laguna Nirwana. Saat itu kami baru bisa turun dan berenang bersama ikan.
Alhasil kami pun hanya bisa duduk di atas bukit sambil menangkap keindahan Nirwana memalui ponsel. Meski sedikit kecewa, kami bahagia karena telah menjadi wisatawan lokal pertama yang menjejakkan kaki di Nirwana. (rdy/dtk)