Fridus Baurae

sergap.id, OPINI – Beberapa bulan belakangan, Kabupaten Malaka dilanda polemik berkepanjangan perihal tambak garam. Persoalan ini menjadi tema diskursus yang sangat serius di media sosial, meski dianggap biasa oleh pemimpin Malaka.

Fokus dialektika adalah investor dan pemerintah daerah. Alkisah, masyarakat hukum adat Wewiku, menolak proyek ladang garam. Mengapa? Karena menyangkut lingkungan hidup, transparansi data dan inkonsistensi investor (PT. Inti Daya Kencana) maupun pemerintah setempat. Ini alasan yang sangat esensial.

Pertama, terkait pembabatan hutan gewang dan bakau yang selama ini mencegah terjadinya abrasi tanah.

Kedua, tidak adanya biaya ganti rugi atas pembebasan lahan masyarakat setempat.

Ketiga, PT. Inti Daya Kencana belum mengantongi dokumen ijin usaha seperti Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Ijin lingkungan.

Keempat, tidak atau belum ada Peraturan Daerah (PERDA) mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SDA) maupun kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga (Investor).

Kelima, baik Investor maupun pemerintah sangat tidak terbuka terkait data-data (arsip) yang diminta oleh masyarakat.

Keenam, perusahaan telah lancang menerobos masuk lokasi hutan adat mangrove hingga ke bibir pantai, tanpa ada kesepakatan bersama.

Ketujuh, masyarakat kesal dengan pemerintah yang pasif terhadap aduan lisan maupun tertulis mereka.

Point-point di atas menjadi dasar utama bagi tokoh-tokoh adat setempat menolak tegas keberadaan tambak garam di Malaka, serentak mengafirmasi kekesalan mereka terhadap Pemda Malaka yang kelihatan menyembunyikan sesuatu di balik proyek itu.

Mirip sebuah drama kebohongan berjemaah? Si A dan B bersatu padu mengeksploitasi C,D dan E. Saya berharap, semoga A dan B sedang “berbohong yang jujur” menyembunyikan sesuatu demi kebaikan bersama. Atau mungkin demi menghindari kekacauan psikologi massa.

Pastinya, industri garam itu illegal, tanpa kepastian hukum. Melanggar peraturan perlindungan hutan (mangrove) sesuai Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir serta Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  • Kebohongan Berkuasa

Bohong itu palsu. Sejenis penipuan, menyatakan yang tidak benar hanya demi menjaga rahasia dan reputasi individu atau sekelompok orang. Mengelabui orang dengan “menyatakan hal yang benar” sudah jamak  di masyarakat.

Itu sebabnya muncul istilah baru, paltering  (mempermainkan kebenaran). Kebohongan jenis ini akrap beredar di kalangan pejabat politik. Sehingga batasan antara jujurnya masyarakat dan bohongnya pejabat, sangat kentara bagai langit dan bumi. Pejabat berbohong karena kepentingan (merebut uang). Jujurnya masyarakat untuk bertahan hidup semata.

Sekali waktu masyarakat bertanya, apakah PT. Inti Daya Kencana sudah melengkapi dokumen usahanya? Jawaban pemerintah: “mereka membereskannya.” Barangkali ini jawaban yang jujur?

Sabar dulu. Pemerintah belum tuntas menjawab. Ada ambivalensi. Bisa saja dokumen PT. Inti Daya Kencana belum beres. Berujung kolaborasi apik, Pemerintah dan PT. Inti Daya Kencana memainkan narasi tunggal dengan kebenaran setengah-setengah, mengelabui masyarakat yang malang. Hampir pasti, AMDAL dan ijin usaha, kini belum rampung.

Ada potensi kebohongan di sana. Penguasa suka bermain sulap dicelah kepentingan kelompok. Dan kebohongan dianggap biasa. Bahkan bohong itu jembatan emas menuju istana kepentingan.

Konsekuensinya, sulit untuk mengenali lagi kebohongan yang hakiki. Padahal bohong lebih menguras mental daripada mengatakan yang sebenaranya. Curangnya, penguasa cenderung mengelak pertanyaan ketika terjepit. Fatal jika harus jujur. Maka, jawaban setengah bahkan diam sama sekali adalah senjatanya. Adalah peluang untuk lari dari tuntutan pertanyaan masyarakat. Bisa juga jawab meyakinkan yang ujungnya terbukti, tipu muslihat.

Mempermainkan kebenaran adalah taktik mujarab penguasa. Diyakini itu lebih etis daripada terang-terangan berbohong atau terang-terang mengaku salah. Walau begitu, individu atau masyarakat yang dipermainkan tidak bisa membedakan antara sedang dibohongi atau sedang dipermainkan.

Permainan kebohongan para elite, walaupun rapih tetap saja menoreh luka pada hati masyarakat. Itu pasti. Akibatnya, kepercayaan terhadap penguasa (elite) turun drastis. Keyakinan pada institusi, runtuh total.

Masyarakat menjadi sinis menanggapi setiap motivasi penguasa. Rasa sakit, benci dan dendam itu bisa menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meledak, menghancurkan penguasa lalim. Bukan tidak mungkin.

Sedikit banyak orang mulai ekstrim melihat panggung politik hanya sebagai dunia dusta yang terimajinasi dan direka oleh pemangku kepentingan. Sadar, bahwa peradaban politik tidak hanya dibangun oleh kebenaran, apalagi sekedar fakta, tetapi juga oleh banyaknya bohong yang sebagian besar berkembang menjadi kebenaran tersendiri.

Sekali lagi, kasus tambak garam tercokol banyak kebohongan elite. Liat saja dalam prosesnya sudah tidak ada sikap transparan dan komunikasi yang baik antara pihak swasta dan pemerintah terhadap masyarakat pemilik lahan.

Apalagi belakangan keduanya (pemerintah dan swasta) sudah tidak konsisten dengan konsensus bersama. Benar, masyarakat curiga. Dan aksi menolak adalah sebuah kemestian. Lagi, dalam surat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Malaka kepada Direktur PT. Inti Daya Kencana (29/1/2019), berisi permintaan kelengkapan dokumen dengan batasan waktu penyerahan 15 Februari 2019, melahirkan satu kebohongan lagi.

Mengapa terjadi pembiaran perusahaan itu beroperasi di saat segala dokumen belum diserahkan pada batasan waktu yang ditentukan? Jangan sampai penguasa terbiasa mengelola kekuasaan dengan kebohongan, (De leugens regeert).

Pemerintah Malaka, terkesan cenderung mengedepankan kebenaran material sebuah imperasi modern; apa yang dikerjakan harus berdasarkan “ukuran” mereka. Masalah yang kemudian timbul bukan pada sodoran ukuran itu, tetapi pada proses sebelum kerja dan dampak buruk sesudahnya.

Tambak garam Malaka, kini seperti proyek yang reduksionistik. Mengeksploitasi sumber daya alam hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Lebih familiar dengan artifisialisasi dan manipulasi kaum kapitalis.

Sistem itu menimbulkan gesekan panas antara ‘kebenaran tidak lengkap’ PT. Inti Daya Kencana dengan tuntutan regulasi dan kehendak masyarakat adat Wewiku. Di titik ini, juga terjadi pertemuan dengan ‘kebenaran tidak lengkapnya’ pemerintah Malaka.

Keduanya, kemudian menjadi ‘dusta’ bagi para pemilik lahan. Masyarakat menyodorkan beberapa fakta kebohongan PT. Inti Daya Kencana, dielak pemerintah dengan ‘kebenaran lain’ setengah-setengah.

Bohong tetaplah bohong. Dusta yang sadis membunuh dengan tekun. Serapih apapun ia dibungkus, tetap kebenaran akan menyingkap aibnya. Kendati secara profetis-etis, perlu juga berbohong pada tingkat dan kasus tertentu.

Namun secara rasional, tidak ada tempat bagi dusta karena fakta dan data adalah landasan utama. Sementara, modernisme, pragmatisme dan materialisme menempel ketat sebagai dasar kelakuan. Kearifan tradisi lokal dan kehendak masyarakat umum pun menjadi pertimbangan tersendiri. Ini yang membuat posisi pemerintah Malaka menjadi dilematis. Antara salah dan benar, etis dan rasional menjadi pergulatan batin mereka.

  • Garam dan Kebenaran

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang (Mat. 5:13-16). Dalam tradisi masyarakat Timur, garam digunakan sebagai lambang perjanjian yang mengikat dan kekal. Sehingga garam menjadi lambang kesetiaan dan kelanggengan.

Dalam kurban sajian imamat (Imamat 2:13), garam adalah bahan pengawet untuk menandai ciri langgeng dari ‘perjanjian garam’ antara Allah dan Israel. Ini berarti, sebuah relasi yang menetap antara Allah dan manusia. Makan garam bersama orang lain artinya memasuki ikatan setia satu sama lain.

Hutan mangrove, salah satu penjamin keberlangsungan hidup manusia. Penting untuk menjaga kelestariannya, apalagi dekat pemukiman warga. Menjaga kelestarian mangrove, sama dengan menjaga ekosistem alam. Menjaga ekosistem alam sama artinya menjaga kelestarian hidup manusia.

Hadirnya industri garam demi menyediakan lapangan kerja bagi pekerja lokal, menopang ekonomi masyarakat setempat, menghargai konsensus bersama pemilik lahan dan memperhatikan lingkungan alam sekitar.

Tuntutan-tuntutan ini tidak dipenuhi, maka hanya pihak tertentu yang diuntungkan. Demikian PT. Inti Daya Kencana justru menabur kepedihan kepada masyarakat pemilik lahan. Sementara menjadi garam, sebagaimana fungsi menjadi murid Kristus, memberikan kenikmatan bagi dunia berupa damai, kasih dan sukacita kepada orang-orang sekitar.

Kita mengapresiasi Bupati Stef Bria Seran (SBS) dengan segala program kerja yang sebagian sudah berjalan baik. Pada proyek tambak garam yang katanya memanfaatkan lahan tidur ini, apakah kelak mensejahterakan masyarakatnya? Atau untuk menebalkan kantong sendiri?

Pertanyaan di atas mesti jujur dijawab Pemkab Malaka dan PT. Inti Daya Kencana. Dari sekian banyak aksi masyarakat menolak tambak garam itu, saya pribadi sangsi dengan kejujuran Pemda dan pihak perusahaan. Hal itu wajar diragukan karena beberapa keanehan yang sudah saya sebutkan di atas.

Nampak, pemerintah kokoh mempertahankan fakta (konsep lapangan), sedang masyarakat getol memperjuangkan kebenaran (hukum adat dan konsensus bersama). Ini bedanya. Frank Lloyd Wright, arsitek terbesar abad ke-20 mengatakan, “kebenaran lebih penting dari fakta”. Kebenaran menukik lebih dalam karena menyimpan idealisme yang tak terjangkau. Sementara fakta adalah kenyataan yang temporer, bersifat fakultatif, indrawi dan sementara.

Keinginan masyarakat adalah kebenaran mutlak bukan sekedar fakta dengan sekian ironinya. Kebenaran itu berdiam di alam raya. Semesta tuntas merawatnya. Rasionalitasnya kekal, tak terbantah. Kebenaran juga berdiam dalam tubuh dan jiwa masyarakat yang sekali waktu menuntut dan dituntut oleh budaya dan konstitusi. Yang di indra penguasa, sifatnya sementara. Tidak ada sesuatu pun yang abadi di dunia indrawi, selain segala yang lahiriah, patuh pada kebenaran alam semesta. Manusia butuh keadilan. Malaka menghendaki pemimpin yang melek kebenaran.

Perlawanan masyarakat tidak harus keliru diinterpretasi pemerintah sebagai satu bentuk pembangkangan. Lalu mulai menyusun serangan balik. Memanfaatkan kekuasaan menindas rakyat. Persoalan tambak garam kemudian dibalas dengan pengecekkan pajak tanah ulayat dan tambak ikan masyarakat, itu konyol.

Karena ada diferensi substansi. Lalu perlukah menciptakan wacana baru yang terkesan arogan dan tendensius? Alangkah arif jika pemerintah dan pihak perusahaan mengambil inisiatif membuka ruang diskusi formal di satu ruang dan satu waktu. Hadirkan semua tokoh adat, tokoh agama, masyarakat ilmiah, akademisi, aktivis, ahli lingkungan hidup untuk menemukan titik penyelesaian masalah tambak garam pasca pembabatan hutan mangrove.

Bupati tidak hanya membuka kerang otaknya, tapi juga pintu hatinya biar lebih berkontemplasi dalam memahami litany kebenaran (data dan fakta lapangan) masyarakat Wewiku. Biar bisa memberi keputusan tegas untuk menutup total operasi perusahaan di lokasi tambak karena belum ada ijin yang ditandatangani serta setumpuk alasan logis lainnya.

Dan, semoga masyarakat Malaka tidak lebih takut pada manusia ketimbang Tuhan. Tidak ikut ‘lenyap’ bersama mangrove yang telah ludes dibantai. Kata-kata pemimpin mestinya menyejukkan hati, jangan hambar,sehingga tahu bagaimana harus memberi jawab dan bertindak pada setiap orang. Siapa menanam kejujuran, ia menuai kepercayaan.

Penulis: Fridus Baurae, penikmat sastra, tinggal di Betun, Malaka.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini