
sergap.id, PAUDO – Polisi telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus penyerangan Rumah Dinas (Rudis) Kapolres Nagekeo, AKBP. Agustinus Hendrik Fai, SH.M.Hum yang terjadi pada tanggal 25 Desember 2020.
Selain itu polisi juga telah memeriksa salah satu Anggota DPRD Kabupaten Nagekeo asal Partai Demokrat, Lasarus Lasa. Namun sejauh ini Lasa masih berstatus sebagai saksi.
Kasus ini pun mendapat perhatian dari Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia ( TPDI), Petrus Selestinus, SH.
Dia mendukung penuh proses hukum terhadap para pelaku sebagai bentuk penyadaran hukum dan efek jera.
“Harus diusut tuntas,” ujar Pengacara asal Kabupaten Sikka itu kepada SERGAP via WhatsApp, Minggu (3/1/21) malam.
Menurut dia, tindakan tegas yang dilakukan Polres Nagekeo terhadap 13 tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHO jo. pasal 406 KUHP jo. pasal 55 KUHP, harus dipandang sebagai sebuah proses penyadaran hukum, tidak saja terhadap 13 tersangka, tetapi juga kepada seluruh masyarakat Nagekeo.
Dari aspek pedidikan juga penting. Artinya orang tua dan masyarakat harus melihat proses pidana yang sedang berlangsung sebagai bagian dari tugas Polri dalam menegakan hukum dan ketertiban.
Meskipun pasal sangkaannya adalah tindak pidana melakukan kekerasan secara terbuka atau terang-terangan terhadap orang dan barang, apalagi korbannya adalah Rudis Kapolres Nagekeo, maka penyidik harus menggali sedalam mungkin apa motif pelaku sehingga berani sekali melakukan pengrusakan secara bersama-sama.
“Jika hanya karena minuman keras (miras), rasa-rasanya tidak mungkin,” kata Petrus.
“Bayangkan…, seandainya penyerangan itu terjadi di rumah warga biasa, apa jadinya? Maka kemungkinan terjadi perang antar kelompok atau saling menyerang tidak berkesudahan. Karena itu tindakan penahanan dan proses hukum terhadap para tersangka harus tuntas sampai di Pengadilan,” tegas Petrus.
Kata Petrus, jika orang tua pelaku (tersangka) melakukan pendekatan agar terjadi perdamaian, maka itu merupakan bagian dari penghormatan terhadap budaya, bukan bermaksud menutup perkara pidananya. Agar di kemudian hari tidak ada saling dendam.
“Proses hukum dan perdamaian secara adat sebaiknya dilakukan, agar kasus ini tidak jadi preseden atau ditiru kelompok anak muda lainnya. Ini bahaya sekali bagi kelangsungan generasi muda. Mau jadi apa jika tidak ada hujan angin, tiba-tiba rumah Kapolres dilempar,” ujarnya.
Menurut Petrus, perlunya hukum adat Nagekeo diangkat dan dijadikan sarana dalam penyelesaian kasus 13 tersangka.
“Agar hukum adat Nagekeo juga bisa berkembang dan menjadi sarana di dalam penyelesaian masalah hukum yang terjadi di tengah masyarakat. Penyelesaian secara adat dan budaya lokal, bukan untuk menghilangkan kasus pidana yang saat ini sedang diproses. Namun agar kedepannya bisa saling bersinergi dan menjadi pembelajaran untuk kita semua,” tutupnya. (sg/ sg)