sosok Kyai Sadrach dikenal oleh pengikutnya sebagai 'Rasoel Ing Tanah Jawi' karena mengembangkan ajaran 'Kerasulan' yakni suatu Gerakan Reformis Gereja dalam sekte ajaran Protestan.
Sosok Kyai Sadrach dikenal oleh pengikutnya sebagai 'Rasoel Ing Tanah Jawi' karena mengembangkan ajaran 'Kerasulan' yakni suatu Gerakan Reformis Gereja dalam sekte ajaran Protestan.

sergap.id, KISAH – Pria yang satu ini kenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki ribuan pengikut di tanah Jawa. Awalnya dia muslim, namun kemudian menjadi tokoh Kristen yang paling ditakuti.

Selain pandai berdebat di muka umum, lelaki bernama Kyai Sadrach ini memiliki keris mahasakti. Sekali diacungkan, puluhan atau ratusan orang dengan gangguan jiwa langsung sembuh. Termasuk para pasien yang kena santet. Pasti langsung sembuh total. Tidak ada kata tidak sembuh. Ini yang membuat para dukun jahat di jaman itu langsung lari sembunyi ke tengah hutan ketika mendengar Kyai Sadrach akan berkunjung ke rumah mereka.

  • Profil Kyai Sadrach

Kyai Sadrach lahir pada tahun 1835. Saat lahir ia diberi nama Radin. Ia terlahir dari keluarga petani miskin di sebuah desa di dekat Jepara. Ia kemudian sekolah di sebuah pesantren untuk mendalami pengetahuan tentang Alquran. Namun kesehariannya harus berkelana dan mengemis. Sebab saat itu masih ada tradisi yang mengharuskan murid-murid  sekolah Alquran  atau Pesantren mengemis dan itu menjadi bagian  dari kurikulum sekolah.

Dalam perjalanan masa kecilnya, ia diadopsi oleh sebuah keluarga Muslim kaya raya. Radin kemudian disekolahkan dan biaya sekolah ditanggung oleh orang tua angkatnya.

Selain pelajaran agama, di sekolah itu Radin diperkenalkan  dengan  pelajaran kewajiban hidup orang Jawa.

Setelah lulus, Radin dikirim belajar pada guru Ngelmu Jawa yang bernama Pak Kurmen di Semarang.

Setelah berusia 17 tahun, Radin pindah ke Jombang untuk belajar di pondok pesantren. Disini nama Radin ditambah nama belakang menjadi Radin Abas. Di pondok ini Radin diajarkan pula bagaimana membangun kehidupan yang baik dan benar di tengah masyarakat.

Karya besar yang ditinggalkan Kyai Sadrach adalah sebuah gereja beserta kompleksnya, yang sekarang dihuni oleh keturunannya.
Karya besar yang ditinggalkan Kyai Sadrach adalah sebuah gereja beserta kompleksnya, yang sekarang dihuni oleh keturunannya.
  • Bagaimana Radin Abas masuk Kristen?

Suatu waktu saat liburan, Radin Abas pergi ke Mojowarno, sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur saat ini. Setelah tiba disana, beberapa hari kemudian dia melihat ada perkumpulan orang di sebuah rumah yang dekat dengan rumah pamannya. Karena penasaran, ia mendekatkan diri dan berbaur dengan warga setempat. Ternyata disitu ada acara bimbingan rohani yang dipimpin oleh seorang misionaris Belanda bernama Jellesma. Disinilah untuk pertama kalinya Radin mendengar ajaran Kristen yang diyakini pula sebagai titik awal ia memilih pindah agama atau murtad. Meski demikian, saat itu Radin tidak langsung menganut agama Kristen.

Radin kemudian balik ke Jombang untuk menyelesaikan pendidikannya. Setamatnya dari Jombang, ia melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren di Ponorogo. Di pesantren ini, Radin belajar  membaca  dan  menulis  aksara  Arab, menulis pegon atau bahasa  Jawa  yang  ditulis dengan aksara  Arab, serta belajar membaca dan menulis aksara Jawa.

Setelah lulus, Radin memutuskan pergi ke Semarang. Disana ia belajar dan berguru kepada Hoezoo, seorang pengabar Injil yang terkenal saat itu. Radin kemudian diterima sebagai murid katekisasi dan setiap hari Minggu mengikuti kebaktian. Ia lalu dikenalkan dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, seorang pengabar Injil Jawa dari Jepara.

Setelah bertemu Kiai Tunggul  Wulung, Radin semakin mencintai agama Kristen. Radin pun kemudian menyatakan kesediaannya untuk menjadi orang Kristen. Setelah itu, ia bersama Kyai Tunggul Wulung pergi ke Batavia atau Jakarta saat ini, untuk menjadi murid Anthing dan ikut pendidikan Kristen yang dirikan oleh Anthing.

Setahun  setelah  lulus  dari pendidikan Anthing, Radin yang saat itu sudah berumur 35 tahun memutuskan untuk dibaptis menjadi orang Kristen dan berganti nama menjadi Sadrach. Pembaptisan dilakukan pada tanggal 14 April 1867 dan ia resmi menjadi anggota Gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd.

Ilmu yang dimiliki Sadrach dalam ajaran Jawa dan Kristen membuatnya menjadi pengabar Injil yang berbeda dari pengabar Injil lainnya. Sadrach menjadikan budaya Jawa sebagai identitas dalam penyebaran agama Kristen. Ia pun mulai melakukan pengabaran Injil di wilayah Jawa Tengah dan daerah sebelah barat Yogyakarta dengan gaya pendidikan pesantren seperti yang ia alami semasa sekolah di pesantren dulu. Belakangan dia dijuluki dan dikenal sebagai Kyainya Kristen Jawa.

Mengutip dari jurnal Membangun Komunitas Kristen Kang Mardika: Kyai Sadrach dalam Sejarah Kekristenan di Jawa antara tahun 1869 sampai 1923 oleh Samudra Eka Cipta, sosok Kyai Sadrach dikenal  oleh pengikutnya sebagai ‘Rasoel  Ing  Tanah  Jawi’ karena mengembangkan  ajaran  ‘Kerasulan’ yakni suatu Gerakan Reformis Gereja dalam sekte ajaran Protestan.

Gereja ini secara administratif terletak di Dusun Karangjasa, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purwrejo.
Gereja ini terletak di Dusun Karangjasa, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purwrejo.
  • Tugas Awal Kyai Sadrach

Awal mula setelah dibaptis menjadi Kristen, Sadrach ditugaskan untuk menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen, dari rumah ke rumah di Batavia. Setelah itu dia dikirim ke Jawa tengah dan kembali bertemu dengan Kyai Tunggul  Wulung yang saat itu telah mendirikan beberapa desa Kristen, diantaranya Banyutowo, Tegalombo, dan yang paling terkenal adalah Desa Bondo di Utara Jepara.

Kyai Sadrach pun sempat menjadi pemimpin jemaah di Bondo. Karena saat itu Kyai Tunggul Wulung sedang sibuk berkeliling mengajak orang-orang di sekitar Bondo untuk tinggal di Bondo.

Setelah Kyai Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Kyai Sadrach keluar dari Bondo dan pergi menuju Kediri dan Purworejo.

Di Purworejo, Kyai Sadrach diangkat sebagai anak angkat oleh Pendeta Stevens Philips. Selama setahun di tahun 1969, Sadrach tinggal di Purworejo. Setelah itu ia pindah ke Karangjoso sekitar 25 kilometer sebelah Selatan Purworejo.

Keputusan Sadrach pindah ke Karangjoso merupakan keputusannya sendiri yang ingin hidup mandiri dan merdeka menyebarkan agama Kristen.

Di Karangjoso, Kyai Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, desa tetangga, adalah orang pertama yang dikristenkan oleh Kyai Sadrach dengan metode debat umum. Orang kedua yang dikristenkan adalah Kyai Kasanmetaram yang terkenal pada zaman itu. Dari situ pengikutnya terus bertambah dari hari ke hari hingga menjadi ribuan orang.

Kyai Sadrach pun menjelma menjadi guru yang sangat berpengaruh. Karena kemampuannya tidak hanya soal berdebat, tetapi juga bisa mengusir roh-roh jahat, diantaranya bisa menyembuhkan orang dengan gangguan jiwa, serta orang-orang yang terkena santet. Alasan ini pula yang membuat jumlah pengikutnya berkembang pesat. Namun saat bersamaan Belanda melihat popularitas Kyai Sadrach sebagai ancaman politik yang bisa membahayakan kekuasaan Belanda di Jawa. Kyai Sadrach kemudian ditangkap dan dipenjarakan selama tiga bulan.

Setelah keluar penjara, ia kembali bekerja menyebarkan agama Kristen. Kali ini Kyai Sadrach menggunakan simbol Jawa yang merupakan aspek paling penting dalam kebudayaan Jawa. Simbol itu adalah sapu yang dibagikannya kepada 80 kelompok jemaat. Ia memberikan sapu dengan pesan bahwa jemaat harus bersatu dan kuat, terikat satu sama lain, bagaikan sapu yang diibaratkan sebagai Yesus Kristus. Penyebaran ajaran Kristen menggunakan Simbol ini ternyata ampuh mengkristenkan ribuan orang Jawa ditandai dengan munculnya gereja-gereja kecil di pedalaman Jawa.

Karya besar yang ditinggalkan Kyai Sadrach adalah sebuah gereja beserta kompleksnya, yang sekarang dihuni oleh keturunannya. Meski fungsinya sudah menjadi gereja, tapi bangunan ini lebih menyerupai masjid, dan terkenal dengan nama Gereja Kyai Sadrach.

Uniknya, ciri kekristenan sama sekali tidak tampak pada bangunan ini. Di bagian atas atap terpasang lambang senjata cakra, bukan salib. Arsitektur asli gereja ini masih dipertahankan sebagaimana layaknya masjid. Di bagian dalam, ruang kecil menjorok yang biasa digunakan imam berdiri dijadikan mimbar untuk kotbah para pendeta. Sedangkan di bagian kiri dan kanan merupakan tempat duduk para majelis.

Selain menjadi tempat wisata umat kristiani, kompleks ini juga saat ini sering didatangi oleh para peneliti dalam rangka menyusun disertasi.

  • Kyai Sadrach, Gereja, dan Belanda

Para pengabar injil tempo dulu, terutama di daerah Jawa, sagat kesulitan mencari cara bagaimana mengajak orang Jawa menjadi Kristen. Sebab saat itu masyarakat Jawa masih sangat kukuh dengan akar budayanya yang telah dianut jauh sebelum Kristen datang.

Untuk mendapat 100 jemaat saja, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Padahal dalam pengabarannya sudah sangat memperhatikan budaya lokal. Inilah yang dialami para pengabar injil Indo-Eropa. Tapi kesulitan ini akhirnya teratasi setelah datangnya Kyai Sadrach. Ia menjadi penginjil Jawa kharismatik dan berhasil menjala ribuan umat muslim menjadi kristen.

Di akhir masanya, Kyai Sadrach tinggal di Karangjoso atau Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Karena itu, sejak pertengahan kedua abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda atau ZGKN, dan orang-orang Kristen Jawa.

Metode Kyai Sadrach dalam mengabarkan Injil, tulis Jan S Aritonang dalam buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, sama dengan yang digunakan Kyai Tunggul Wulung, yakni berdiskusi dan berdebat, seringkali berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum, dan Sadrach selalu menang dan sukses mengkristenkan sejumlah Kyai.

Saat berdebat atau memimpin kebaktian, Kyai Sadrach selalu menggunakan bahasa Jawa sehingga mudah dimengerti oleh warga lokal. Sejalan itu, jumlah jemaatnya pun terus bertambah.

Saat itu, Kyai Sadrach juga dikenal sebagai tokoh kharismatik. Ia memiliki sebuah Keris mahasakti, yakni Keris yang sakti mengatasi berbagai malapetaka dan mampu mengusir roh setan, yang kemudian Keris ini menjadi simbol jemaat Kyai Sadrach dalam menyebarkan ajaran Kristen di Jawa. Itu karena Keris ini bisa meneteskan darah seperti darah Yesus yang menetes dari kayu salib.

Cara duduk ketika beribadah di Gereja Kyai Sadrach saat itu adalah duduk bersila dan para jemaat harus menyentuh dan mencium kaki Kyai Sadrach, seperti ketertundukan para murid Yesus kepada Yesus Krsistus. Dalam kapasitas ini, Kyai Sadrach dianggap debagai rasul Yesus dari Jawa.

Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang, mengatakan, Kyai Sadrach membangun agama Kristen Jawa tetap dekat sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman rumah Pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan selalu diadakan slametan.

Karena itulah Karangjasa atau Karangjoso segera menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat mencapai hampir 2.500 orang hanya dalam waktu tiga tahun antara tahun 1870 sampai tahun 1873. Selama masa itu, lima gereja didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.

Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah Belanda. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W Ligtvoet, residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Kyai Sadrach. Pengurus NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta Kyai Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal, Ligtvoet turun tangan dengan menahan Kyai Sadrach selama tiga minggu lalu menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanannya adalah Kyai Sadrach menolak vaksinasi cacar dengan alasan Agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan, Kyai Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 1 Juli 1882.

Sesungguhnya, keputusan bebas yang dikeluarkan oleh Belanda itu karena Belanda takut jemaat Sadrach ngamuk. Dan, setelah bebas, Kyai Sadrach kembali ke Karangjasa. Ia kemudian pergi ke Purwareja meminta Wilhelm, pekabar Injil yang bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta jemaatnya. Pada bulan April 1883, Kyai Sadrach dan para sesepuh setempat serta Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang Mardika atau kelompok orang Kristen yang merdeka.

Namun perkembangan jemaah Kyai Sadrach hanya mampu bertahan hingga tahun 1939. Itu karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala Kyai Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen Jawa.

Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan Kyai Sadrach yang masih bertahan hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengan sampai tahun 1985, yang pendiri dan majelisnya merupakan keturunan langsung Kyai Sadrach dan murid Kyai Sadrach. Sementara pengikut Kyai Sadrach di wilayah Muntilan dan Kulon Progo berkembang pesat selama kurun waktu tahun 1869 sampai tahun 1870. Usaha yang dilakukan oleh Kyai Sadrach berhasil diterima oleh masyarakat setempat. Jemaatnya tersebar di seluruh  karesidenan  Jawa Tengah dan sebagian Yogyakarta mencapai 7.000 orang pada tahun 1890 dan 20.000 orang saat Kyai Sadrach meninggal pada tanggal 14 November 1924 di usianya yang ke 89 tahun.

Sejumlah pejabat daerah, seperti Bupati Kutoarjo dan Kulon Progo hadir saat pemakaman Kyai Sadrach. Disini tampak jelas bahwa Kyai Sadrach saat itu dikenal luas dan memiliki pengaruh kuat. Jasad Sang Penggembala Agama Kristen ini dimakamkan di Karangjoso, sekitar 2 km dari rumahnya. Di atas makamnya dibangun sebuah cungkup dengan atap bertingkat tiga, khas Jawa.

  • Keunikan Gereja Kyai Sadrach

Gereja ini secara administratif terletak di Dusun Karangjasa, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purwrejo. Gereja Kyai Sadrach menempati tanah seluas 1 hektar. Lingkungan yang mengelilingi kompleks gereja adalah pemukian penduduk dan sawah.

Gereja Kyai Sadrach mulai dibangun pada tahun 1870 oleh Kyai Sadrach sendiri. Awalnya penduduk di sekililing gereja adalah Muslim. Ia kemudian mengunjungi penduduk secara bergantian dari rumah ke rumah dan mengajak mereka masuk Kristen. Hasilnya sebagian besar warga desa itu masuk Kristen dan kebaktian bersama mulai dilakukan pada tahun 1871 di gereja ini.

Bangunan gereja ini memiliki jendela bagian atas berupa krepyak dan bagian bawah panil dengan bentuk daun jendela kupu-kupu. Motif hias yang terdapat pada gereja tersebut adalah motif geometris, langit-langit ruangan aslinya terbuat dari bambu tetapi sekarang sudah diganti menggunakan tripleks. Atapnya berbentuk tajug tingkat tiga dan limasan serta kampong.

Terdapat juga rumah induk dan pendopo peninggalan Kyai Sadrach. Bangunan rumah berarsitektur rumah limasan dan memiliki pendopo di bagian depannya. Pada bagian dalamnya masih terdapat benda-benda peninggalan Kyai Sadrach berupa tempat tidur, lemari, meja, benda pusaka, buku dan naskah kuno, serta benda-benda kuno lainnya. Bentuk Gereja ini juga terlihat seperti bangunan Jawa, tidak seperti gereja-gereja pada umumnya. Dan, gereja ini tidak memakai salib seperti Gereja Kristen kebanyakan. Di atapnya hanya terpasang dua senjata pusaka kembar, yakni pasopati dan cakra milik Arjuna dan Krisna.

Akhir abad ke 19, catatan M.T. Arifin dalam buku Muhammadiyah Potret yang Berubah terbitan tahun 1990, mengatakan, karya dan pengabdian Kyai Sadrach telah menjadikan Purworejo sebagai pusat Kelompok Sadrach menyebarkan ajaran Kristen ke berbagai daerah di pedalaman di Jawa Tengah untuk melanjutkan misi Sang Kyai. (cipar/cipar)