Fr. Vian Nana, SDV.

sergap.id, OPINI – Manusia secara in se mengandung unsur kebaikan dan kejahatan. Thomas Hobbes seorang filsuf  berkebangsaan Inggris membenarkan bahwa, manusia adalah Allah bagi manusia, dan manusia adalah serigala bagi manusia (homo homini lupus).

Ungkapan ini menjelaskan dua hal, yaitu pertama, orang berusaha untuk menyerupai Allah dalam hal keadilan, cinta kasih, kebajikan dan perdamaian.

Kedua, manusia bisa menciptakan kejahatan untuk melindungi dirinya. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pribadi menjadi tolak ukur seseorang melakukan kejahatan.

Dalam situasi ini, manusia menghadapi resiko kehilangan unsur kebaikan dalam dirinya. Dengan demikian yang tertinggal dalam dirinya hanyalah unsur kejahatan.

Thomas Hidya Tjaya, seorang imam Jesuit memaparkan argumen-argumen bahwa “setiap orang mempunyai sisi imoral. Sisi itulah yang merupakan ruang-ruang kosong tempat kejahatan bermukim”.

Kejahatan itu bisa terjadi dalam berbagai ragam, mulai dari kejahatan level atas hingga kejahatan pada tataran rendah. Setiap orang, siapan pun dia jika dihadapkan pada kekayaan dan kekuasaan seolah-olah dibungkam.

Hal inilah yang disebut dengan  godaan  (temptation).  Godaan  ini  merupakan  gerbang  untuk  memasuki  sebuah kejahatan. Godaan ini selalu berhubungan dengan para elit politik.

Menyoali  unsur  kejahatan  dalam  diri  manusia  selalu  berawal  dari  konsep  tentang pluralitas  tindakannya  yang  tidak  berpihak  pada  moral  publik.

Kejahatan  manusia  itu terpotret dalam realitas akhir-akhir ini.  Berbagai wacana, baik itu berita elektronik maupun surat kabar tidak pernah berhenti menyuarakan tindakan manusia yang imoral.

Setiap hari memori kita selalu dipenuhi dengan berita tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Salah satu berita tentang korupsi sebagaimana diungkapkan oleh media online sergap.id pada Senin 13 Mei 2019, terkait S. M. Asa dan bendaharan desa Numponi difonis sebagai tersangka penyelewengan anggaran desa berdasarkan hasil audit inspektorat Kabupatena Malaka yang menunjukakan total kerugian sebesar Rp. 286 juta yang merupakan dana tahun 2016.

Sejenak menyimak kejanggalan ini terlintas dalam benak sebuah pertanyaan serentak solusi bagaimana menemukan seorang pemimpin yang efektif?

Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang peka terhadap situasi hidup masyarakat.

Pemimpin harus merasakan apa yang dialami oleh masyarakatnya. Keterlibatan seorang pemimpin dengan masyarakat secara tidak langsung mereka telah berjuang membebaskan masyarakat dari berbagai situasi hidup yang membelenggu. Masyarakat pada tataran negara berkembang khusunya Indonesia masih dijajah oleh kemiskinan.

Kemiskinan bisa saja tercipta dari diri sendiri, tetapi juga disebabkan oleh mereka ynag menamakan diri sebagai pemimpin. Tindakan pemimpin yang korup merupakan musuh terbesar dan terkuat bagi masyarakat.

Berhadapan dengan pemimpin yang korup, masyarakat kerap mengangkat tangan sembari mengungkapkan ketidakberdayaan mereka di hadapan penguasa tunggal, yaitu koruptor.

Mereka adalah para pembunuh tak berdarah. Cara pembunuhan mereka terkesan misteri, namun sebenarnya menyingkapkan manusia yang hidup seolah-olah tanpa nyawa.

Tindakan korupsi adalah musuh terbesar masyarakat yang terungkap dalam kacamata dunia akhir-akhir ini.

Tindakan korupsi yang paling ekstrim adalah “korupsi di aparat yudisial dan di kelas politik.

Maraknya Money polotics merusak kepercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil mereka dan lama-kelamaan akan menggerogoti komitmen demokratis.

Apabila kepemimpinan masih mengabdikan diri pada prinsip politik uang berarti mereka masih terus memperjuangkan candu masyarakat. Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup, menulis sebuah karya dalam harian “Suara Pembaharuan” (26 Agustus 2003) berjudul “uang sebagai candu masyarakat”.

Pasalnya, uang yang mula-mula berfungsi sebagai valuasi milik pribadi, kemudian menjadi alat tukar perantara dangang dan bersamaan dengan itu mendorong ketamakan, kerakusan dan kecenderungan egoistis manusia. Pada dasarnya fungsi uang berperan sebagai nilai tukar, namun oleh ketamakan seorang pemimpin, uang dialih fungsikan untuk menjawabi kebutuhan pribadi atau kelompok secara tidak adil.

Menanggapi hal ini perlu ada prinsip keterlibatan secara transparan tanpa kepalsuan. Prinsip ini mengajarkan bahwa perlu ada keterlibatan aktif dari seorang pemimpin dalam membangun masyarakat yang sejahtera.

Membangun masyarakat yang sejahtera harus dimulai dari pihat yang paling lemah dan tidak berdaya. Mereka yang miskin, lemah dan tidak berdaya harus diutamakan (preferential option for the poor). Keberpihakan dengan kaum lemah dan yang miskin menuntut adanya prinsip kebaikan hati.

Pemimpin harus menaggapi situasi hidup masyarakat dengan cara memasang pendengaran yang tajam, mendengar suara mereka seraya mewujudkannya sebagai bukti keterlibatan seorang pemimpin yang nyata.

Seorang pemimpin perlu mendengarkan suara masyarakat, sebab suara mereka adalah suara Tuhan. Sepadan dengan hal ini, muncul sebuah moto yang sangat terkenal dari William Malmesbury pada abad ke-12 (The voice of the people is the voice of God) “suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei)”.

Diktatum ini menekankan peran rakyat (populus) dalam menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan memiliki peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Walaupun secara langsung rakyat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tetapi satu harapan bahwa keputusan yang ditegakkan oleh para wakil rakyat (legislatif) perlu memihak rakyat.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan utusan suara Tuhan yang diwakilinya. Rakyat tidak dimegerti secara filosofis yang bersifat abstrak-universal, tetapi dimengerti secara politis yang bersifat konkret-partikular.

Artinya masyarakat hidup dalam suatu lembaga pemerintahan yang memiliki hukum dengan segala hak-hak yang melekat padanya.

St. Agustinus mengatakan bahwa, “dalam memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan bersama perlu dilandasi oleh hukum dan keadilan”.

Hukum merupakan jaminan terhadap keadilan masyarakat. Apabila hukum tidak ditegakkan, maka disana juga tidak ada keadilan.

Hukum dan keadilan ditegakkan sebagai jawaban atas suara rakyat. Suara mereka harus mendapat perhatian dan jawaban secara pasti dari para pemimpin.

Harapan lebih lanjut muncul dari sebuah lagu, karya Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat”. Lagu ini berisi harapan rakyat untuk para wakil rakyat.

Satu harapan yang tidak akan pernah mati bahkan tidak akan pernah berlalu “para pemimpin dan wakil bekerjalah demi kepentingan umum masyarakat (principles et senators agite pro republica populorum)”.

Inilah suara dari kaum miskin, lemah dan tidak berdaya. Suara masyarakat miskin, lemah dan tidak merupakan perwujudan suara Allah. Oleh karena itu suara mereka perlu didengar, sebab suara mereka adalah sakral.

  • Penulis: Fr. Vian Nana, SDV, Sedang study teologi di universitas San Luigi, Napoli-Italia.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini