STOP HUMAN TRAFFICKING

SEJARAH Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus Tahun 1945, tentunya tidak terlepas  dari perjuangan-perjuangan yang telah ditorehkan oleh seluruh masyarakat yang rela menyerahkan jiwa dan raga untuk berkibarnya Bendera Merah Putih di pertiwi ini.

Peristiwa-peristiwa ini terbalut heroik oleh semangat perjuangan pendahulu baik tokoh agama, masyarakat sipil, kaum pelajar, petani, buruh dan masih banyak golongan  lainnya yang telah bersusah payah menjauhkan dan mengakhiri bangsa dari segala bentuk penjajahan seperti  Kerja paksa atau kerja rodi yang tidak lain adalah bentuk perdagangan manusia.

Masyarakat dipaksa bekerja secara tidak manusiawi, mereka disuruh bekerja di lahan milik mereka sendiri yang sudah dirampas dan juga bekerja tanpa upah yang sesuai dengan keringat serta jam  bekerja yang telah melebihi batas normal kesanggupan tubuh manusia, mungkin bisa kita mengingat istilah  Romusha.

Hal ini merupakan Perdagangan orang dari skenario kaum kapitalis untuk merusak mental dan cara berpikir serta ekonomi masyarakat, sehingga masyarkat mengalami Rekayasa Ketergantungan dimana kaum kapitalis tersebut memonopoli keadaan dimasyarakat akibatnya masyarakat yang lemah dan memiliki hutang serta dengan keterbatasan SDM dan keterampilan kerja harus memilih jalur merantau atau sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) serta dengan mudah dimanfaatkan pihak – pihak tertentu untuk melakukan TPPO Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah kejahatan yang sangat serius terhadap kemanusiaan dan dikategorikan sebagai tran national organized crime atau sebuah kejahatan serius yang terorganisir yang bertujuan untuk memperoleh, baik langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau lainnya.

Menanggapi serius dari kejahatan ini, yang dapat berdampak dan mempengaruhi seluruh negara, lewat Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) menyusun sebuah instrumen kunci guna mencegah dan memberantas TPPO. Pada 15 November 2000 di Palermo dalam sidang umum PBB dan disebut “Protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum Perdagangan orang “ atau lebih dikenal dengan “ Protokoler Palermo ”.

Kejahatan TPPO juga banyak terjadi di Indonesia, data yang dihimpun oleh IOM (International Organization Migration) Korban TPPO, semenjak maret 2005 hingga Desember 2015 tercatat kasus TPPO berjumlah 6,748. Data untuk berjenis kelamin Perempuan untuk  Anak-Anak berjumlah 953, Dewasa sebanyak 4976. Data berjenis kelamin laki-laki untuk Anak -Anak berjumlah 166 dan Dewasa berjumlah 653.

Angka ini tentunya butuh perhatian khusus oleh Pemerintah Indonesia, sekalipun menurut negara, Tenaga Kerja Indonesia turut menyumbangkan Devisa Negara tapi di sisi kemanusiaan 6.748 korban ini harus dievaluasi oleh negara. Masalah yang memicu orang senang merantau ialah minimnya lapangan kerja di daerah, apalagi di didaerah-daerah atau provinsi tertentu di Indonesia masih memiliki Index Pembangunan Manusia yang masih lemah dengan dlihat dari aspek Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan serta faktor seperti keadaan alam yang sulit bercocok tanam, sedangkan aspek yang menyebabkan  perdagangan ialah :  sistem birokrasi dan juga aspek Hukum dan Penegak Hukumnya yang terkesan tumpul keatas.

Dasar Hukum TPPO termuat dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang secara implemantsi di lapangan masih banyak kelemahan dan lewat DPR RI telah menyepakati aturan baru yaitu : UU No. 18 Tahun 2017 dimana aturan telah terbit pada November 2017  bulan lalu dan sekaligus merubah mindset pengertian dari TKI menjadi PMI ( Pekerja Migran Indonsia). Undang – undang baru tentunya terlihat sebagai solusi namun juga bisa seperti istilah Pisau bermata dua, disatu sisi dapat menghukum Pihak yang melakukan TPPO tapi bisa saja merugikan pihak korban, sehingga pengawasan dilapangan oleh segenap stakeholder baik Pemerintah, POLRI /Penegak Hukum, LSM Kemanusiaan, Ormas, Komnas HAM dan Anak serta lembaga Keagamaan harus terlibat dalam penuntasan perdagangan orang.

Yoan Benediktus Wujo Niron, S.KM, Volunteer di Jaringan – Relawan Untuk Kemanusiaan Kupang (J-RUK) dan Ormas Keagamaan Pemuda Katholik KomCab Kota Kupang.

Tidak boleh ada lagi sekat pertentangan dan rekayasa lain, yang ada hanyalah kembali pada jiwa Nasionalisme Indonesia yang terpatri sejak kemerdekaan dikumandangkan. Semangat persatuan dan kesatuan semenjak dahulu  harus terus diwariskan agar setiap kehidupan bernegara kita sama -sama bersatu untuk melakukan hal yang baik dan menuntaskan hal-hal yang tidak baik.

Persatuan bangsa yang semakin apatis serta terkotak-kotak akan memperparah perjuangan untuk menuntaskan masalah perdagangan manusia dan Nasionalisme ialah  salah satu kunci untuk keluar dari masalah ketidakadilan seperti TPPO.

Sebab, Nasionalisime merupakan karya bersama tanpa memandang suku, ras, agama dan  golongan untuk sama – sama berjuang demi satu  Bangsa yaitu Bangsa Indonesia. Jiwa Nasionalisme Pemerintah harus mau bekerjasama bersama seluruh Instansi /Lembaga terkait dan pemerhati kemanusiaan untuk mencanangkan progam yang membangun masyarakat di sektor pendidikan salah satu contohnya : merubah mindset masyarakat untuk merantau semakin sedikit dengan memperbanyak Lembaga Balai Latihan Kerja di semua Kabupaten dan memperbanyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), karena bagi anak bangsa yang tidak mampu bersekolah lanjut  di Perguruan Tinggi dapat tampil di dunia kerja.

Lintas sektor juga harus bekerja sama  seperti sektor pertanian, perternakan dan ekonomi kerakyatan yang tentunya ini butuh sinergi Nasionalisme dalam benak/jiwa setiap birokrat dan sistem birokrasinya. Kepala-Kepala Daerah/ Lembaga Legislatif/ Lembaga Yudikatif serta Lembaga Kepolisian harus memiliki sikap nasionalisme untuk mengabdi pada masyarakat dan tidak boleh terbalut kepentingan golongan dan politik. Lembaga -lembaga LSM dan Akademisi (Perguruan Tinggi) juga harus mampu menjadi pengawas  untuk pemerintah dan tidak bersifat profit (Mencari Keuntungan) agar mampu memberikan penelitian dalam  sumbangsih pembuatan kebijakan  seperti : Peraturan Desa, Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, Peraturan Gubernur, Peraturan Kementrian, Peraturan Presiden dan Undang Undang.

Semangat Nasionalisme juga harus di miliki oleh Pelajar / Mahasiswa sebagai penerus bangsa suatu kelak dan juga Masyarakat pada umumnya agar bersama mengawal sampai mencegah terjadinya Perdagangan Orang di Indonesia, karena “Nasionalisme terhadap Negara Kesatuan  Republik Indonesia adalah Harga Mati“ dalam penuntasan perdagangan orang di Indonesia.

Penulis: Yoan Benediktus Wujo Niron, S.KM, Volunteer di Jaringan – Relawan Untuk Kemanusiaan Kupang (J-RUK) dan Ormas Keagamaan Pemuda Katholik KomCab Kota Kupang.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini