V. Nahak, warga NTT, tinggal di Spanyol.
V. Nahak, warga NTT, tinggal di Spanyol.

HITUNG hitung cepat dari laman resmi KPU menunjukkan bahwa Pikada di beberapa daerah di NTT dimenangkan dengan selisih tipis oleh para pendatang baru. Contoh paling menonjol adalah Belu dan Malaka.

Walau dua petahana berhasil ditumbangkan, posisi “fifty fifty” dalam jumlah perolehan suara mengisyaratkan perlunya refleksi yang jujur soal legitimasi kekuasaan.

Keterbelahan preferensi pilihan masyarakat mengatakan bahwa pada satu sisi ada kerinduan untuk reformasi, namun pada sisi lain ada apresiasi terhadap kinerja petahana.

Pilkada ibarat sepak bola. Kekalahan tipis klub kesayangan di putaran final terasa amat menyakitkan. Apalagi kalau gol kemenangan tercipta di injury time lantaran keteledoran pemain sendiri.

Kekalahan macam ini sering meninggalkan “luka”, namun sering kali kita dihibur oleh kebesaran hati para pelatih yang jujur mengakui keunggulan lawan.

Risiko Romantisasi

Saya pesismis proses penyembuhan “luka” akan secepat menghalau gigitan semut kalau apa yang disebut “politik pengakuan” ini absen dalam dinamika politik pasca-pilkada.

Di akar rumput masyarakat terkotak-kotak antara pro Petahana dan pro Bupati terpilih. Lihat saja data perolahan suara di Belu dan Malaka. Perbedaan perolehan suara relatif kecil di 12 kecamatan masing-masing kabupaten. Di Belu paket Sehati menang di 7 Kecamatan dengan selisih suara rata-rata relatif tipis. Demikianpun halnya di Malaka. Paket pendatang baru menang tipis di 8 Kecamatan (Bdk. Hasil hitung cepat pada laman resmi KPU).

Kekuasaan yang diperoleh dengan legitimasi seperi ini, menurut hemat saya, menuntut sikap ksatria dari kedua belah pihak. Dalam jangka pendek kedua paket yang bertarung mesti segera bersuara.

Dalam jangka menengah Bupati terpilih dituntut untuk membuktikan kepada publik bahwa visi-misinya dalam kampanye realistis dalam eksekusi di lapangan.

Publik biasanya menyimpan ekspektasi yang tinggi. Realisasi janji-janji kampanye berbanding lurus dengan pengakuan publik. Artinya, semakinya cepat janji-janji kampanye ditunaikan semakin mantap pula pengakuan publik akan legitimasi kekuasaan pemimpin terpilih.

Namun kita tahu bahwa realitas politik sering tidak semudah yang diimpikan dalam kampanye. Keterbatasan sumber daya dan keuangan daerah bisa menjadi salah satu faktor kunci yang mencegah melajunya realisasi berbagai proyek pembangunan yang sudah dirancang. Ditambah lagi godaan korupsi di segala lini yang membudaya dalam tata kelola birokrasi kita.

Kalau hal-hal ini tidak dibenahi secara sistematis maka seruan revolusi yang digaungkan dalam kampanye bakal tinggal isapan jempol semata.

Akibatnya sudah bisa ditebak. Sebagian besar masyarakat akan kembali merindukan kesuksesan petahana di masa lalu. Dalam politik kita di tanah air nostalgia hadirnya kekuasaan masa lalu menjadi isu yang menarik dalam pilkada 2019. Kemunculan Partai Berkarya yang diketuai Tommy Soeharto boleh dibaca sebagai kulminasi dari kerinduan sekelompok masyarakat untuk kembali kepada kejayaan masa lalu rezim Soeharto. Walaupun “kejayaan” tersebut bersifat ilusif yang turut dikapitalisasi media terbukti bahwa masyarakat menyimpan kerinduan akan sosok kharismatik yang menjamin kemakmuran di masa lalu.

Romantisasi pada masa lalu bisa muncul karena realitas masa kini terasa lebih memilukan. Lihat saja panorama tersebut dalam politik nasional. Orang-orang yang menguasai pemerintahan adalah wajah-wajah lama yang beberapa dekade lalu berada di sekeliling Soeharto juga.

Terobosan-terobosan SBS dalam bidang pertanian lewat gerakan RPM dan pelayanan kesehatan gratis yang selama ini berjalan, terlepas dari berbagai kekurangannya, adalah langkah penting yang tentu membekas dalam ingatan publik.

Apakah kekalahan dalam Pilkada berarti pula penghapusan semua jejak petahana? Saya kira tidak. Menurut hemat saya, kita tidak boleh menghadapi pembangunan dengan kacamata kuda.

Pengakuan

Hasil Pilkada menuntut agar kedua kubu yang bertarung sedapatnya mengembangkan semacam politik pengakuan satu terhadap yang lain. Saya mengajukan dua poin sebagai hal yang perlu dipertimbangkan pasca-pilkada ini sebelum hari pelantikan.

Pertama, terpilihnya SNKT perlu diakui sebagai salah satu langkah penting dalam demokrasi di Kabupaten Malaka. Petahan yang diusung oleh mayoritas partai politik di parlamen ditaklukkan oleh pilihan rakyat. Hal ini antara lain bisa dibaca sebagai akibat dari kejenuhan publik terhadap gurita kekuasaan yang berpusat dalam dinasti BS di Malaka.

Kemenangan ini memberi harapan pada publik akan sebuah pemerintahan yang lebih transparan dan tanggung gugat. Check and balances di parlamen yang disinyalir mandeg selama lima tahun lalu diharapkan bakal mempunyai catatan yang lebih baik separuh dekade ke depan. Hal ini baru bisa dikemukakan sebagai harapan sebab praktik politiknya bisa mengingkari apa yang dicita-citakan publik. Semuanya semata-mata tergantung pada komitmen dan integritas para pemegang kekuasaan.

Kedua, perlu ada apresiasi terhadap pencapaian Bupati petahana. Tidak bisa disangkal bahwa ada program-program petahana yang visioner dan menyentuh kebutuhan riil akar rumput dalam jangka panjang.

Program Revolusi Pertanian Malaka (RPM) dan terobosan dan pelayanan kesehatan yang sudah dirintis oleh SBS semasa kepemimpinananya perlu diapresiasi dan dijadikan sebagai batu loncatan dalam rencana pembangunan ke depan. Tentu hal itu mesti diikuti dengan evaluasi yang serius dan jujur. Perlu diakui bahwa SBS telah meletakkan standar yang tinggi dalam pembangunan di Malaka setidaknya dalam dua bidang tersebut.

Dengan mengakui kontribusi petahana dalam pembangunan di Malaka kita membebaskan diri dari dikotomi politik dan serangan membabi buta satu terhadap yang lain yang perlu diakui menjadi ciri dominan dalam kampanye-kampanye selama pilkada.

Dalam hubungan dengan itu perlu ditegaskan bahwa kasus korupsi yang membayang-bayangi pelaksanaan program tertentu tidak sendirinya membatalkan mutu dan urgensi dari program tersebut. Perlunya evaluasi iya dan wajib hukumnya, namun membatalkan sama sekali program tersebut semata-mata sebagai cara menghapuskan jejak dari lawan dalam pilkada bisa menjadi sinyal dari ketidakdewasaan berpolitik.

Pada akhirnya kekuasaan itu tetap ada di tangan rakyat. Tugas warga negara pasca-pilkada adalah mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan, termasuk memastikan bahwa janji-janji manis benar-benar akan ditepati. Kita beruntung karena semua janji manis itu terekam dalam jejak digital.

Energi yang mendorong partisipasi publik selama masa kampanye di kemudian hari mesti bisa dikonversi menjadi gerakan kritis sehingga publik tidak menyusut menjadi kerumunan yang lugu, mudah ditipu dan diperalat kekuasaan. Kini berdiri di antara massa rakyat seorang mantan bupati yang tentu bisa menyumbangkan pikiran kritis bagi pembangunan dan mengokohkan dinamika demokrasi di Malaka ke depan.

Kemenangan Paket SNKT hari ini barulah titik start dari sebuh maraton yang akan kembali dievaluasi oleh rakyat lima tahun yang akan datang.

*) Penulis: V. Nahak, warga diaspora Malaka

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini