Misa Perdana Imam Baru Rp. John muga O,Carm di Kampung Watumanu Sarasedu, Kamis 10 November 2022
Misa Perdana Imam Baru Rp. John muga O,Carm di Kampung Watumanu Sarasedu, Kamis 10 November 2022

Saya mendapat undangan misa perdana dari imam baru RP. WILIBALDUS RADE O, CARM. Imam baru mengirim langsung undangan ke WhatsApp saya. Saya terharu, bangga, sukacita dan bahagia. RP. Wilibaldus sudah menerima urapan imamat awal Nopember lalu di Maulo’o, Sikka-Flores. Saking bahagianya, saya langsung telepon video dengan Baldus. Baldus baru bangun tidur. Kami dua ngobrol sambil tertawa. Saya bahagia karena di tahun ke 25 imamat saya, lahir generasi baru dari keluarga yang saya kenal dan kampung yang selalu saya kunjungi: BOAFEO.

Baldus akan merayakan misa perdananya di kampung Boafeo. Boafeo terletak di dataran tinggi antara pegunungan Wawonato dan Wolomari. Secara administratif pemerintahan, sejak 2002 Boafeo masuk wilayah kecamatan Maukaro. Kiblatnya ke utara. Secara parokial sejak beberapa tahun lalu, Boafeo bergabung dengan kuasi paroki Pemo. Kiblatnya ke selatan.

Kampung Boafeo pada masa lalu memiliki peran strategis. Boafeo merupakan pusat kekatolikan yang ditandai dengan kehadiran sebuah kapela tua. Kapela Boafeo usianya lebih tua dari gereja paroki Ratesuba. Boafeo juga menjadi pusat Hamente,  yaitu struktur pemerintahan kolonial setingkat kecamatan. Wilayahnya meliputi Boafeo hingga Ratesuba, Nabe, Mukusaki hingga Waka. Ungkapan terkenal kesatuan wilayah hamente itu adalah “Uzhu Wolomari Eko Waka atau kepalanya di Wolomari/Boafeo dan ekornya Waka”. Waka adalah sebuah kampung kecil yang letaknya tak jauh dari muara sungai Loworea.

Saya mendengar banyak ceritera tentang Hamente Boafeo dari bapak Thomas Mboro Dhae sendiri. Bapak Thomas Mboro Dhae ayah dari Marsianus Dhae atau Opa dari RP. WILIBALDUS RADE O, CARM. Beliau adalah kepala Hamente terakhir Boafeo. Setelah selesai masa tugas sebagai kepala Hamente Boafeo, bapak Thomas Mboro bersama sejumlah tokoh mendiami dan mulai menata, mengawal Maukaro menjadi sebuah pemukiman baru dan strategis di pantura Ende.

Boafeo juga menjadi pusat pendidikan yang ditandai dengan kehadiran sebuah sekolah. Menurut catatan sejarah, SDK Boafeo didirikan tahun 1922. Tahun 2022 ini SDK Boafeo berusia satu abad. SDK Boafeo telah menghasilkan alumni-alumni hebat. Saya mengenal sejumlah figur pembawa cahaya pendidikan dari Boafeo dan sekitarnya seperti bapak Modes Sato, Pit Petu Sara, Philipus Ngasu, Bernadus Tibo, Sabast Sule dan Martinus Nduru. Mereka inilah yang turut membidani kelahiran tokoh-tokoh penting seperti Ir. Marsel Petu(Mantan Bupati Ende), Dr. Agustinus Gaja Ngasu(Sekda Ende saat ini), Ir. Yosef Nduru, Siprianus Key, Agustinus Naga SH, Gildus M. Sato, Emanuel J. Petu dll. Dan saat berusia satu abad, SDK BOAFEO melahirkan seorang imam. Sebuah jawaban atas penantian yang panjang.

Saya bertemu dan mengenal imam baru pertama kali Desember 1999 di Woimite, kecamatan Wewaria. Saat itu Baldus(sapaan masa kecil) masih kelas dua sekolah dasar. Baldus sekolah di Woimite mengikuti ayahnya Marsianus Dhae yang saat itu kepala SDK Woimite. Saya mengenal Baldus sebagai anak kecil yang lincah, penuh semangat, suka siul dan nyanyi-nyanyi kecil. Rupanya Baldus merawat dan mengembangkan talenta musik dan nyanyinya. Saat ini Baldus merupakan salah seorang imam penyanyi dari Ordo Karmel. Saya mengikuti perkembangannya melalui postingan-postingan di media sosial.

Awal tahun 2000 an pak Marsianus Dhae kembali ke kampung halamannya Boafeo dan menjadi kepala sekolah di sana. Sebagai kepala sekolah dan guru katolik, pak Marsianus aktif dalam karya pastoral gereja. Beliau pendidik yang santun, ramah dan bersahaja. Tampilannya biasa dan ugahari, jauh dari sikap feodal, meski berasal dari kalangan darah biru, lelaki sulung dari seorang kepala Hamente. Hubungan kami semakin dekat ketika beliau menjadi koordinasi kegiatan pastoral “wilayah Tana Tage atau dataran tinggi Paroki Ratesuba” yang meliputi Boafeo, Wologai, Mbani dan Woimite. Kehadirannya selalu menyejukan. Karena nya saya tidak canggung menyapanya sebagai “Kae Guru Anus”.

Kami mengatur perayaan natal, paskah dan Pentakosta bergilir dengan sejumlah agenda yang menarik. Misalkan saja: kerja bakti, olah raga, kehadiran empat dirigen dan empat kelompok koor dalam satu perayaan ekaristi, umat membawa sendiri kollekte seperti saat menerima komunio, setelah ekaristi ada  acara “sambung rasa ala Harmoko jaman ORBA” dan makan minum bersama. Hasil kollekte dan persembahan hari raya kami gunakan untuk membeli kebutuhan lingkungan penyelenggara seperti perlengkapan misa, Sound System sederhana dan generator listrik.

Boafeo memiliki kapela dan pastoran yang bagus. Saya biasanya nginap di pastoran. Sedangkan urusan kampung tengah biasanya di rumah-rumah umat, pengurus KUB, lingkungan dan ketua stasi. Setiap kali mengunjungi Boafeo, rumah ketua lingkungan saat itu Petrus Roso dan ketua stasi kae guru Anus sering menjadi tempat kami berkumpul untuk makan, minum dan duduk santai.

Saya ingat ada dua anak kecil yang selalu  menjadi “pengintai setia” kedatangan saya di bawah ujung kampung Boafeo. Keduanya juga sering menjadi pelayan setia saat makan minum di rumah kae Roso dan kae guru Anus. Mereka itu adalah  WILIBALDUS RADE(Rm. Baldus) dan FABIANUS KARO(Saat ini frater SDB).

Sebagai pengintai mereka dua berdiri di depan gereja Boafeo. Bila saya muncul, mereka cepat-cepat menyampaikan pada kae guru Anus dan kae Roso: “Baba-baba tua se’a ka. Tuka mbare peka. Kai mbana loyo mozho nu. Bapa-bapa, pastor sudah datang, sudah lapar dan berjalan lesu”. Saat hendak makan bersama di rumah kae Roso,  Baldus dan Albin sering ditugaskan mengambil moke arak di kamar. Kae Roso biasanya menyimpan moke di botol berwarna putih dan kuning. Botol putih kadar alkoholnya rendah dan kurang enak. Botol kuning kadarnya tinggi tapi enak. “Baldu ne’e Abin, miu wiki moke boti kune ta soo rakhi pati kami. Baldus dan Abin, kamu ambil moke di botol kuning yang kotor untuk kami”, kata kae Roso.

Pengintai dan pelayan setia itu sudah menjadi imam Tuhan. Motto imamatnya menarik: “Apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia”. Motto yang selalu dikumandangkan pada hari pernikahan para mempelai. Motto ini mengingatkan sifat kekal perkawinan katolik dan komitmen yang kuat agar suami istri setia sampai mati.

Baldus memilih kata-kata ini sebagai motto hidup imamatnya. Dia sudah berjuang dan mencapai kedewasaan rohani. Sebagai imam, dia adalah mempelai Kristus. Sebagai mempelai  Baldus ingin mengasihi Yesus lebih dari segalanya. Hanya pribadi yang mengasihi, yang bisa menjadi mempelai Yesus.

Baldus adalah imam pertama dari Boafeo. Imamat yang Baldus terima dan perayaan misa perdana di Boafeo hendaknya menjadi momentum bagi keluarga, orang Boafeo dan sekitarnya untuk bersatu dan setia menjadi mempelai Kristus. Tuhan sudah menyatukan kamu semua lewat kehadiran imam baru RP. WILIBALDUS RADE O, CARM. Moment ini hendaknya menjadi kesempatan reuni orang-orang Boafeo. Ini gerakan roh untuk “nuka nua hangatkan kezhi keta dan bhaze nua membawa secercah cahaya di kezhi mizha”. Jagalah persatuan itu.

Ketika berada di Boafeo, saya merasa sedang berada di kawasan pegunungan Hermon, perbatasan Suriah dan Libanon. Air mengalir dari bukit-bukit kapur Hermon, membentuk sungai Yordan dan melewati tanah Kanaan. Semoga perayaan syukuran hari ini mengalirkan rahmat panggilan baru dari rahim Boafeo. SELAMAT BERBAHAGIA SANG MEMPELAI: RP. WILIBALDUS RADE O, CARM

Salam dari negeri Alpen Swiss.

Stefanus Wolo Itu

Pernah Menjadi Bagian Dari Kehidupan Orang-Orang Boafeo, Oktober 1999-Pebruari 2006.

RD. Stef Wolo Itu, Pr tugas di Eiken is a municipality in the district of Laufenburg in the canton of Aargau in Switzerland.