Leonar Do Da’Vinci
Leonar Do Da’Vinci

Anak adalah harapan dari suatu bangsa, anak adalah tunas muda yang kelak akan menopang berdirinya suatu bangsa, dan anak adalah tonggak penerus keberlangsungan suatu bangsa. Kata-kata ini sering diperdengarkan di berbagai kesempatan dan telah didengar oleh banyak orang untuk memperjelas pentingnya perananan anak bagi suatu bangsa, termasuk pada perhelatan hari anak nasional yang baru saja berlalu.

Anak sendiri didefinisikan sebagai penduduk yang berusia 0 sampai 18 tahun berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 dan United Nations Children’s Fund (UNICEF).

Meskipun masih muda, anak-anak memegang peranan penting terhadap perkembangan dan kemajuan suatu daerah. Perencanaan yang tepat dan akurat akan menghasilkan generasi yang unggul ke depannya. Terutama di masa-masa bonus demografi, dimana anak-anak pada saat ini menjadi bibit yang harus selalu diperhatikan perkembangannya.

Indonesia sendiri diramalkan akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030-2040. Bonus demografi ini tidak serta merta dikarenakan lonjakan usia produktif dibanding usia non-produktif. Peningkatan produktivitas juga harus dilakukan secara beriringan, baik dengan penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan skill, hingga kecakapan sumber daya manusia, sehingga bonus demografi dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Agar mampu bersaing pada masa-masa tersebut, maka sumber daya manusia harus dipupuk sejak dini, yaitu anak-anak sang generasi penerus bangsa.

Anak-anak di Nusa Tenggara Timur

Anak-anak di Nusa Tenggara Timur selalu diidentikkan dengan kondisi stunting, busung lapar, gizi buruk, kesulitan air, dan lain-lain. Bahkan anak-anak NTT mulai terkenal luas ketika ada iklan dengan kata-kata khas “sumber air su dekat”.

Dari situ tergambar kondisi NTT yang gersang dengan air yang langka. Hal tersebut tidaklah mutlak sepenuhnya.

Ada beberapa daerah di NTT yang juga sangat subur dengan curah hujan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah lain Indonesia. Begitu pula dengan putra-putri NTT yang memperkenalkan NTT jauh lebih luas, baik melalui karya-karyanya maupun prestasinya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Timur, proyeksi jumlah penduduk yang berusia 0-19 tahun pada tahun 2019 adalah 2.410.237 jiwa atau sekitar 44,17 persen dari total penduduk di Nusa Tenggara Timur. Artinya, hampir setengah populasi penduduk di NTT merupakan anak-anak. Hal ini juga terlihat dari piramida penduduk NTT yang melebar pada rentang usia muda yang akan menjadi modal bagi pembangunan NTT ke depannya.

  • Permasalahan dan Polemik Anak-anak di Nusa Tenggara Timur

Permasalahan terkait anak juga turut diperhatikan oleh dunia internasional. Hal ini bisa dilihat dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang mencakup berbagai tujuan yang disepakati dan harus dicapai oleh pemerintahan di berbagai belahan dunia atas berbagai permasalahan kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Sebagai acuan dapat digunakan Laporan Baseline SDG tentang Anak-anak di Indonesia dari BAPPENAS dan UNICEF mengenai permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak di Nusa Tenggara Timur berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan 1: Tanpa Kemiskinan, sekitar 1.146.320 jiwa penduduk miskin terdapat di NTT, dengan kata lain 1 dari 5 penduduk di NTT merupakan penduduk miskin. Sementara proporsi anak-anak terhadap keseluruhan penduduk NTT mencapai lebih dari 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak di NTT masih berada dalam lingkaran kemiskinan.  Tujuan 2: Tanpa Kelaparan, dalam hal ini, NTT tergolong sebagai provinsi berkinerja terbaik dalam penerapan ASI eksklusif yang mencapai 75,05 persen pada tahun 2019. Ironisnya, malnutrisi pada anak masih cukup besar jumlahnya. Pada tahun 2018, prevalensi balita usia 0-59 bulan yang mengalami gizi buruk mencapai 7,3 persen, gizi kurang 22,2 persen, dan kekurangan gizi mencapai 29,5 persen,  dan lebih dari 40 persen anak di bawah 5 tahun mengalami stunting yaitu kondisi dimana tinggi badan tergolong rendah jika dibandingkan dengan usia normal.

Tujuan 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, meskipun angka kelahiran anak cukup tinggi, angka kematian anak masih menjadi polemik di Nusa Tenggara Timur. BAPPENAS dan UNICEF mencatat bahwa, dari setiap 1.000 kelahiran hidup, 26 bayi yang baru lahir meninggal pada bulan pertama kehidupan dan 58 meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun. Sementara itu, kesehatan seksual perempuan harus selalu diperhatikan. Hal ini bisa diwujudkan melalui penggunaan alat kontrasepsi. Namun pada tahun 2019, menurut data yang dihimpun BPS NTT, sekitar 42,68 persen wanita pernah kawin usia 15-49 tahun tidak menggunakan alat atau cara KB. Ada berbagai alasan terkait hal tersebut, mulai dari akses layanan yang sulit diterima hingga ketidaktahuan masyarakat mengenai pentingnya kesehatan seksual. Selain itu, dalam dua tahun terakhir di tahun 2019, sekitar 16,81 persen penolong kelahiran perempuan usia 15-49 tahun adalah dukun beranak/paraji/lainnya. Dengan kata lain, 2 dari 10 perempuan yang melahirkan di NTT dibantu oleh orang yang tidak terlatih. Akses dan pelayanan kesehatan ibu dan anak paling sulit dirasakan oleh masyarakat perdesaan.

Tujuan 4: Pendidikan Berkualitas, pendidikan menjadi modal yang amat sangat penting pada saat ini. Melalui pendidikan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang di masyarakat. Bahkan dalam jangka panjang, pendidikan diharapkan dapat menolong seseorang untuk keluar lingkaran kemiskinan. Kualitas dan akses terhadap pendidikan sudah barang tentu menjadi tolok ukur pertama bagi seorang anak, sehingga dapat dijamin bahwa pendidikan merata bagi semua anak. Pendidikan itu penting bahkan dimulai sejak dini, namun pendidikan pra sekolah masih belum dianggap krusial bagi tumbuh kembang anak. Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS2019, sekitar 8 dari 10 anak usia 0-6 tahun tidak pernah mengikuti pendidikan pra sekolah. Sementara itu, partisipasi anak terhadap pendidikan sekolah cukup baik meskipun tingkatan pendidikan yang diterima masih sebagian besar adalah sekolah dasar (SD).

Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS2019, persentase penduduk berumur 7-24 tahun yang masih bersekolah SD sekitar 40,2 persen, kemudian SLTP sekitar 16,48 persen, dan SLTA 12,94 persen. Penduduk yang belum mengenyam pendidikan sama sekali sekitar 1,12 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak di NTT cenderung tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkatan yang lebih tinggi, khususnya anak-anak di perdesaan yang memang kesulitan memperoleh akses yang baik terhadap pendidikan, baik karena fasilitas yang terbatas hingga karena terkungkung kemiskinan. Pada akhirnya, ancaman yang dihadapi anak-anak di NTT adalah ketidakmampuan untuk menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkatan yang lebih tinggi.

Tujuan 5: Kesetaraan Gender, indikator ini juga mengukur keberhasilan pemerintah menekan perkawinan usia anak. Ironisnya, perkawinan anak masih sering terjadi di NTT. Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS2019, sekitar 5 dari 10 penduduk yang berusia 10 tahun ke atas yang pernah kawin di NTT berada pada usia 10 sampai 18 tahun. Mirisnya, pengaruh kemiskinan adalah pemicu terjadinya perkawinan anak ini. Dengan menikah maka anak diharapkan mandiri dan mampu mencari penghasilan sendiri sehingga terlepas dari beban orangtua. Kondisi perkawinan yang terlalu muda ini juga akhirnya menyokong angka tingginya angka kematian anak lahir. Namun kembali lagi, anak-anak tersebut tidak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan lingkungan sekitarnya.

Tujuan 6: Air Bersih dan Sanitasi, wilayah geografis NTT yang merupakan wilayah kepulauan dan topografi yang terdiri atas pegunungan dan lembah mengakibatkan sulitnya akses terhadap air bersih di wilayah ini. Berdasarkan data yang dihimpun BPS, pada tahun 2019 persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum layak sekitar 82,55 persen. Hanya sekitar 15,2 persen saja rumah tangga yang menggunakan leding sebagai sumber air minumnya, kemudian 9,18 persen menggunakan air isi ulang, dan 0,7 persen menggunakan air kemasan bermerk. Sisanya masyarakat masih harus melakukan pengolahan lanjutan untuk memperoleh air minum yang layak dari sumber-sumber air lainnya. Pengolahan yang dilakukan juga belum tentu sesuai standar, karena sebagian besar masih dilakukan secara tradisional. Hal ini akan berpengaruh pada kesehatan anak-anak NTT yang tentunya masih rentan dengan penyakit.

Terkait Sanitasi, berdasarkan data yang dihimpun BPS, NTT menempati urutan ke-3 dengan akses sanitasi paling buruk di Indonesia. Sekitar 64,55 persen saja proporsi populasi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi layak di NTT. Kondisi ini akan semakin parah jika setiap rumah tangga justru kesulitan terhadap akses air bersih. Higienitas menjadi sering diabaikan, ujung-ujungnya kesehatan penduduk terutama anak-anak sangat terancam dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Tujuan 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat, indikator yang dapat dilihat dari tujuan tersebut, salah satunya adalah kepemilikan akta lahir. Anak merupakan warisan yang amat sangat penting bagi keberlangsungan suatu daerah, oleh karena itu, keberadaannya harus dianggap dan diperhitungkan sebagai penduduk negara Indonesia. Ironisnya kenyataan tidak berlaku demikian, berdasarkan data yang dihimpun BPS, persentase penduduk berusia 0-17 tahun yang memiliki akta lahir di NTT pada tahun 2019 hanya sekitar 51,26 persen saja. Artinya 5 dari 10 anak di NTT tidak memiliki akta lahir. Hal ini akan menghambat anak-anak NTT untuk masuk ke dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah, termasuk berbagai target yang telah dipersiapkan pemerintah bagi anak-anak di NTT.

  • Jalan Keluar

Permasalahan yang dihadapi anak-anak Nusa Tenggara Timur bukanlah tidak mungkin untuk dipecahkan. Penulis sendiri menyoroti keterbatasan akses yang dimiliki oleh setiap anak di NTT. Keterbatasan itu dipaksa oleh sebuah kondisi yang disebut kemiskinan. Namun semangat yang patut ditiru dari anak-anak adalah semangatnya yang tidak pantang menyerah. Bahkan sungai yang deras tetap diseberangi demi mengenyam pendidikan yang layak. Bukan berarti hal-hal tersebut dibiarkan, peran pengambil kebijakan harus nyata dalam hal tersebut. Hal-hal seperti pembangunan fasilitas pendukung seperti jembatan, jalan, pembangunan sekolah atau lembaga pendidikan lain yang mempemudah anak untuk mengakses pendidikan. Begitu pun dengan fasilitas kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat agar masyarakat tidak terbeban untuk memperoleh hajat sehatnya.

Selain itu, pola pikir masyarakat juga harus diperbarui sedikit demi sedikit. Memang pemenuhan kebutuhan hidup adalah hal yang penting, namun untuk jangka panjang, anak memerlukan modal yang beragam. Tidak sedikit orangtua yang menutup kesempatan anak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, tetapi diarahkan untuk segera bekerja. Tidak hanya pendidikan, persoalan kesehatan juga patut diperhatikan. Masyarakat diharapkan proaktif dalam merawat anak-anaknya, dan memastikan pemenuhan kebutuhannya. Tentu saja solusinya tidak mudah, ibarat menenun kain, agar menghasilkan kain yang menarik dan bagus, maka setiap prosesnya harus diperhatikan, teliti dan tekun dalam menenun. Demikian pula tunas muda Nusa Tenggara Timur ini agar menghasilkan buah yang ranum dan manis. Sekian dan terimakasih.

Penulis: Leonar Do Da’Vinci T., SST. / ASN Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini