Hanya di Ngada, Ta’i Babi Bisa Ditukar Dengan Beras
Hanya di Ngada, Ta’i Babi Bisa Ditukar Dengan Beras.

sergap.id, BAJAWA – Mengubah sudut pandang memang tak mudah, namun bukan tidak mungkin! Itu bisa dimulai dari hal sederhana, dari urusan kecil, bahkan kerap dianggap sepele. Misal yang dilakukan oleh Wilfridus Muga alias Fridus, pria berpenampilan sederhana yang kini jadi buah bibir para petani di Kabupaten Ngada. Apa pasal?

Fridus mampu mengubah kotoran babi atau ta’i babi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kiatnya, ta’i babi diproses menjadi pupuk cair dan pupuk padat berkualitas tinggi lalu dijual kepada para petani dengan harga murah.

Ia juga kerap menukar ta’i babi dengan beras atau membeli ta’i babi basah untuk diproduksi menjadi pupuk dan bio gas. 10 kilo gram ta’i babi basah dihargai dengan 1 kilo gram beras.

Kini karyanya telah banyak dicontohi para petani lantaran mampu memenuhi kebutuhan pupuk dan kebutuhan dapur.

Caranya, 4 sampai 5 ekor babi dipelihara, lalu kotoran babi dialirkan dari kandang babi ke septic tank. Disini pupuk cair dan pupuk padat diproduksi secara alami, dan di sini pula biogas diproduksi dan dialirkan lewat pipa plastik menuju kompor gas di dapur rumah tangga masing-masing.

Pupuk yang dihasilan pun digunakan di lahan sendiri yang pada akhirnya hasil produksi petani meningkat tajam.

Kata Fridus, tujuan konsep ini adalah lahirnya para petani yang mandiri.

“Ada beberapa hal yang perlu dilihat. Pertama, adanya nilai edukasi. Disana ada banyak hal yang kita temukan. Hasil kajian kami dan penelusuran kami di masyarakat dan lingkungan sekitar, masih banyak masyarakat yang membiarkan kotoran ternak, khususnya kotoran babi, di buang di sembarang tempat dan tidak dimanfaatkan. Kami (kemudian) mulai menukarkan kotoran babi dengan beras. Disitu kemudian ada hal yang berubah, dimana kemudian masyarakat mulai sadar, oh ternyata kotoran babi ini penting. Dan, produksi pupuk yang dilakukan adalah dalam rangka kemandirian pupuk. Petani-petani kita, kandang ternak kita, menjadi pupuk, baik untuk petani itu sendiri, maupun untuk masyarakat umum lainnya,” ujar Fridus kepada SERGAP di Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada, Selasa (4/8/20) pagi.

Yang kedua, lanjut Fridus, adanya nilai dan konsep ekologis.

“Kalau kita bicara tentang ekologis, dimana orang bilang Kabupaten Ngada, khususnya Kota Bajawa itu kota yang kotor, kotor disini bukan berarti hanya sampah yang dibuang di sembarang tempat, tetapi juga dari keadaan lingkungan, bau yang menyengat akibat kotoran ternak yang dibuang di sembarang tempat, yang menimbulkan bau. Bau ini juga yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Sehingga proses yang kami lakukan kemarin, yakni menukar kotoran babi dengan beras, itu merupakan satu konsep bahwa lingkungan kita harus bersih. Bersih dalam arti kotoran ternak tidak boleh di buang di sembarang tempat, agar lingkungan kita tetap bersih dan tidak ada unsur bau yang terjadi,” tegasnya.

“Ketiga adalah nilai Ekonomis. Kalau kotoran ternak itu di olah dengan baik, bisa memiliki dampak ekonomis. Kami menukarkan kotoran ternak dengan beras, kemudian kotoran ternak tersebut kami olah menjadi pupuk cair, dari pupuk cair ini kita beri lagi kepada masyarakat. Pupuk ini memiliki nilai tukar yang tinggi, 1 liter bisa dijual dengan harga Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Disini kami memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar kotoran ternak jangan dibuang di sembarang tempat. Karena kotoran itu memiliki nilai ekonomis,” ucapnya.

Wilfridus Muga
Wilfridus Muga

Fridus meyakini, perlahan-lahan masyarakat atau petani akan sadar dan mampu memproduksi pupuk menuju kemandirian pupuk.

“Kita akan terus mendorong masyarakat, agar kotoran-kotoran ternak itu dikumpulkan, kemudian di olah menjadi pupuk dan dimanfaatkan pada lahan pertanian sendiri. Kehadiran pupuk organik ini akan melahirkan dunia pertanian yang ramah lingkungan. Ini yang kita butuhkan, agar kemandirian pupuk juga, akan membawa kita menuju kepada pertanian organik,” katanya.

Fridus mengaku, yang dibutuhkan petani di Ngada saat ini bukan alsintan atau alat mesin pertanian, melainkan inovasi.

“Kita perlu  melakukan inovasi secara menyeluruh, apakah masyarakat kita atau pemerintah kita sudah melakukan? Yang kami lakukan, dari hasil kebun kami, dengan lahan yang kecil, kita coba, dengan ketersediaan pupuk organik yang cukup, dan dengan sarana yang kami miliki, ternyata produktivitas pertanian cukup tinggi. Ini yang kami coba di kebun kami sendiri. Kebun ini kemudian kami jadikan contoh untuk masyarakat, dengan inovasi yang kami lakukan ternyata membuahkan hasil yang bagus. Itu yang kami lakukan selama ini,” paparnya.

“Kemarin kami coba olah lahan tandus, tanah kita balik dengan eksavator, ditambah pupuk kandang yang maksimal, menghasilkan produksi yang bagus. Kami sudah lakukan ini,” tutupnya.

Selain petani, sejumlah PNS dan Pastor di Ngada juga telah memanfaatkan kotoran babi untuk kepentingan dapur dan pupuk. Seperti yang dilakukan oleh Pastor Paroki Santo Longginus, Wolowio, Bajawa, Ngada, RD. Kletus Djo, Pr.

“Saya sudah manfaatkan kotoran babi sejak tahun 2018 lalu. Pupuk yang dihasilan saya pakai untuk tanaman di lahan kebun paroki. Pupuk juga saya bagi gratis kepada umat. Ini untuk memotivasi umat agar bisa ikut memanfaatkan kotoran hewan yang ada di sekitar,” ucapnya, singkat.

Kebun Sayur di Paroki St. Longginus, Wolowio, Bajawa, Ngada, yang memanfaakan pupuk organik dari ta'i babi.
Kebun Sayur di Paroki St. Longginus, Wolowio, Bajawa, Ngada, yang memanfaakan pupuk organik dari ta’i babi.

Sementara Sius, warga Malanuza, Kecamatan Golewa, yang juga telah memanfaatkan kotoran babi sejak setahun terakhir, mengatakan, puas dengan karyanya, yang ia contohi dari tetangganya yang juga belajar dari Fridus.

“Puas pasti. Mudah-mudahan bisa dicontohi oleh petani lain. Sebab sejauh ini, yang saya tahu, hanya di Ngada yang kita bisa tukar ta’i babi dengan beras,” imbuhnya. (sherif goa)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini