sergap.id, JAKARTA – Komunitas pers menilai sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR mengancam kebebasan pers.

Salah satu pasal tersebut memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi terhadap wartawan.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito, menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang.

“Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” kata Sasmito seperti dilansir BBC Indonedia pada Selasa (3/9/19).

RKUHP dijadwalkan untuk disahkan pada akhir September. Anggota Komisi Hukum DPR, Taufiqulhadi memastikan RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna meskipun diwarnai protes.

“Kalau memang ada pasal-pasal yang kita anggap belum sempurna, maka itu ada kesempatan diperbaiki, apakah kita lakukan judicial review. Setelah disahkan, selalu ada kita untuk memperbaikinya,” katanya.

Sasmito dari AJI Indonesia, mengklaim, sejak 2016 organisasinya telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR.

“Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” katanya.

Dalam lima tahun terakhir, menurut catatan AJI Indonesia, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis.

Umumnya para jurnalis itu dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat.

“Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito.

Anggota Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tidak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan.

Dewan Pers tetap akan mengacu pada Undang Undang Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.

“Karena Dewan Pers itu dasar semua tindakannya itu Undang Undang Pers. Tidak mungkin pada Undang Undang lain,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (3/9/19).

Dewan Pers juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers.

“DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry sambil menambahkan dalam waktu dekat Dewan Pers akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ke DPR.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan ‘tindak pidana pers’. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana.

“Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal… Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09).

Fickar mengusulkan kepada DPR agar setiap pasal RKUHP yang berkaitan dengan pers, tak langsung diarahkan ke ranah pidana.

Kata dia, perlu ada pasal yang menjembatani, sebagai jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan pers, berekspresi dan menyampaikan pendapat.

“Pasal yang menghubungkan bahwa, ketika itu (pidana) dilakukan oleh pers, maka dia harus wajib diselesaikan dulu dengan UU Pers,” katanya.

Selama ini, menurut Fickar, aturan dalam UU Pers digunakan untuk menyelesaikan sengketa produk jurnalistik berdasarkan kebijakan dari kepolisian.

“Kalau penyidik atau Kapolrinya bilang itu masuk Dewan Pers dulu, jalan. Kalau nggak ya nggak jalan, karena itu nggak ada ketentuannya,” tambah Fickar.

Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR kemungkinan hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim.

Anggota Komisi Hukum DPR, Taufiqulhadi pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan.

“Jadi nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut,” katanya.

Taufiq menambahkan, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim.

Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers.

“Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal,” kata Taufiq.

Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara.

“Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik,” tambah Taufiq.

Namun menurut Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, menurutnya, sulit bagi pers untuk dilarang meliput.

“Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya.

Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241.

Fickar mengatakan presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar dan pendapat.

“Karena jabatan itu memang untuk dikritisi. Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi,” tambahnya.

Namun anggota Komisi Hukum DPR, Taufikqulhadi memastikan RKUHP yang juga menuai kritik dari sisi kekerasan terhadap perempuan, hukuman mati, hukum korupsi, dan hukum adat tetap akan disahkan akhir bulan ini.

“Kami berharap dengan KUHP yang akan kita sahkan nanti, akan membuat demokrasi menjadi normal,” katanya. (bbc/ade)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini