Lokataru, Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia mendesak Institusi Kepolisian menghentikan penggunaan instrumen kekerasan yang berlebihan dalam proses penegakkan hukum dan mengedepankan langkah – langkah pemenuhan terhadap hak asasi manusia
Lokataru, Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia mendesak Institusi Kepolisian menghentikan penggunaan instrumen kekerasan yang berlebihan dalam proses penegakkan hukum dan mengedepankan langkah – langkah pemenuhan terhadap hak asasi manusia.

sergap.id, KUPANG – Negara melalui lembaga – lembaganya wajib segera melakukan investigasi dan serangkaian penegakkan hukum terhadap penyiksaan yang dilakukan oleh 6 oknum anggota Polres Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU) terhadap seorang anak berinisial EF, 17 Tahun.

EF disiksa pada hari Minggu 26 April 2020 lalu lantaran dituduh terlibat dalam kasus perkelahian antara sekelompok orang dengan aparat Polsek Biboki Anleu, TTU, pada tanggal 22 April 2020.

Polisi menduga EF terlibat dalam perkelahian yang berawal ketika sekelompok orang tidak terima dibubarkan demi mencegah penyebaran Covid-19.

Peristiwa penyiksaan terjadi di sebuah pondok yang berlokasi Desa Birunatun, Kecamatan Biboki Feotleu, TTU.

EF disiksa saat ia sedang beristirahat sehabis merontok padi. Akibatnya ia mengalami luka di wajah dan memar di sekujur tubuh.

Polisi berdalih mencari informasi, namun memaksa EF agar mengaku turut serta dalam peristiwa yang sama sekali tidak ia lakukan.

EF juga digunakan Polisi untuk “memancing” orang – orang yang sebenarnya terlibat.

Pelanggaran tidak berhenti sampai di situ, ketika korban dan keluarga ingin melaporkan peristiwa penyiksaan tersebut, pihak Polres TTU justru mengancam EF bahwa akan memproses peristiwa yang belum terbukti dilakukan oleh EF.

Hak terhindar dari penyiksaan merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apapun serta diatur dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Status korban sebagai anak juga merupakan bentuk ketidakpahaman dan pelanggaran yang dilakukan oleh oknum pelaku, mengingat proses penanganan dan penegakkan hukum terhadap anak wajib terbebas dari segala bentuk penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Anak.

Tindakan Penyiksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum kepolisian ini membuktikan masih maraknya praktik penyangkalan dan ketidakmampuan anggota kepolisian dalam memeriksa dan mengungkap suatu peristiwa dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana.

Dari peristiwa penyiksaan dan Intimidasi yang dialami EF, Lokataru, Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia mendesak Institusi Kepolisian menghentikan penggunaan instrumen kekerasan yang berlebihan dalam proses penegakkan hukum dan mengedepankan langkah – langkah pemenuhan terhadap hak asasi manusia;

Melakukan pemeriksaan internal, penegakkan disiplin hingga penegakkan hukum terhadap anggota Kepolisian yang terlibat dalam peristiwa penyiksaan dan intimasi terhadap EF oleh institusi Kepolisian;

Mendesak institusi negara seperti Komisi Kepolisian Nasional Komisi Nasional Perlindungan Anak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap peristiwa penyiksaan yang dilakukan dan memastikan adanya proses pertanggungjawaban terhadap tindakan oknum Kepolisian tersebut;

Meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar melindungi dan menyediakan rasa aman bagi EF sebagai korban dalam melaporkan dan mengungkap peristiwa penyiksaan yang dialaminya. (Siaran Pers Lokataru, Jakarta, 9 Mei 2020)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini