Sebagai rakyat kita tidak tega membiarkan pers dipakai sebagai intrumen politik oleh pihak tertentu untuk menancapkan cakar-cakar kekuasaannya.
Sebagai rakyat kita tidak tega membiarkan pers dipakai sebagai intrumen politik oleh pihak tertentu untuk menancapkan cakar-cakar kekuasaannya.

Kamis (14/5/20) empat orang wartawan di Malaka melayangkan sebuah somasi (suluhdesa.com) menuntut Rm. Edmundus Sako menarik pernyataannya yang dimuat di portal berita obor-nusantara.com edisi 12/5/20.

Keempat juru tulis menuntut tokoh agama itu untuk menarik kembali pernyataannya yang disinyalir menyudutkan insan pers. “…jangan sampai kamu juga sudah dibeli oleh Pemda seperti wartawan di Malaka,” demikian Deken Edmundus menurut berita obor-nusantara.com.

Hal serupa bukan kasus pertama di Malaka. Bupati Stef Bria Seran pernah mengeluarkan pernyataan senada. Pada 24/9/2019 lalu viral sebuah video yang berisi rekaman Bupati yang mencap para wartawan “sakit jiwa”.

Kedua tipe komentar di atas lahir dari rasa kecewa terhadap kinerja para wartawan. Bagi kubu pertama, ada media yang selalu memihak pemerintah. Bandingkan saja dengan situasi di masa Orde Baru; peran pers direduksi sebagai humas pemerintah semata. Sebaliknya bagi kubu kedua, ada media yang rajin menyerang pemerintah tanpa jeda. Pemerintah seolah dilihat dengan kacamata kuda: hitam melulu.

  • Kejar tayang

Perkembangan internet yang mendorong tumbuhnya media-media virtual ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, media online dapat membongkar elitisme dan dominasi koran-koran cetak, namun di sisi lain ia bisa terjerumus dalam praktik pers instan yang mengabaikan kaidah jurnalisme yang ketat.

Salah satu filosofi media online yang paling menonjol adalah soal kecepatan berita. Dalam sejarah pers virtual di Indonesia, nama “detik.com” bisa mewakili ide berita cepat saji tersebut. Seolah-olah kita mesti selalu aktual detik demi detik. Alhasil, setiap media bersaing untuk menjadi yang tercepat.

Lantaran dikejar oleh deadline yang sempit para jurnalis terdesak untuk segera mempublikasikan berita tanpa terlebih dahulu melewati proses editorial yang ketat, hal mana sangat diperhatikan dalam tradisi pengelolaan media cetak. Penulis sendiri mengalami itu pada tahun 2006 ketika sebagai mahasiswa menjalani magang di Kantor Redaksi HU Pos Kupang.

Saya tidak mengatakan bahwa semua media online takluk pada filosofi “kejar tayang” sebab toh kita masih bisa membaca portal berita online yang dikerjakan dengan tekun, penuh dedikasi dan idealisme; tirto.id, indoprogress.com, remotivi.or.id, untuk menyebut beberapa contoh. Ketiga portal tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa mereka menerapkan kriteria yang ketat dalam menyeleksi tulisan-tulisan dari wartawan dan dari koresponden yang mengirimkan artikel.

Harian Kompas edisi 14/5/2020 lalu memuat sebuah klarifikasi dari seorang pembaca yang mengoreksi artikel opini yang diloloskan oleh Redaktur Opini Kompas padahal si penulis salah menulis filsuf yang menjadi referensi artikel opininya. Sebuah koran cetak dengan reputasi sekelas Kompas bisa teledor dalam hal seleksi naskah. Bayangkan bagaimana nasib sebuah media online kalau dikerjakan terburu-buru dan asal jadi?

  • Pilar demokrasi

Kekecewaan Romo Deken dan Bupati merupakan sinyalemen melemahnya profesionalisme kerja wartawan di Malaka yang berakibat pada melembek dan goyahnya peran media sebagai pilar yang menyokong tegaknya demokrasi lokal.

Mengembalikan pers sebagai pilar keempat demokrasi tentu bukan usaha menegakkan benang basah. Upaya ini, hemat saya, krusial karena situasi politik di Kabupaten bungsu ini ditandai oleh melemahnya kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan.

Pers adalah satu-satunya andalan tempat warga menaruh harapan. Untuk merenggut kembali peran sentral pers tersebut saya menajukan dua poin berikut untuk dipertimbangkan.

Pertama, pers yang mengusung kualitas pemberitaan. Di tengah membanjirnya informasi dan mentalitas “kejar tayang” sebuah media online dituntut untuk berani menjaga idealisme dengan mengelola media seturut kaidah-kaidah jurnalisme yang ketat dan disiplin. Yang terpenting bukan mengumpulkan banyak like, followers dan subscriber namun kualitas sebuah berita.

Dalam pengamatan saya, sudah relatif banyak media-media online di NTT dan Malaka khususnya yang menggarap berita-berita harian dengan mengandalkan Straight News. Seperti kuliner yang bergizi, publik jelas membutuhkan pula informasi yang berkualitas. Gaya laporan Mingguan seperti yang dirintis Majalah Tempo bisa menjadi rujukan yang baik. Perlu dikembangkan pers investigatif dalam mengelola media-media online. Dalam model pers seperti ini diandaikan adanya kerja tim dan penelusuran yang lebih teliti. Dengan begitu, sebuah berita tidak dikerjakan asal jadi.

Kedua, pers yang sanggup menjaga idealisme. Media cetak biasanya tampil dengan editorial tertentu. Di Harian Kompas misalnya kita mengenal “Tajuk Rencana” yang merupakan ulasan yang mewakili opini media tersebut. Di Pos Kupang diberi nama “Salam”, biasanya diletakkan di halaman 4 bersamaan dengan artikel opini, di Flores Pos disebut “Bentara”.

Amat jarang ada media online yang juga menampilkan catatan redaksi sebagai sikap dasar media tersebut terhadap sebuah isu sosial. Alhasil, sebagai pembaca kita sulit menebak ke arah mana sebuah media berpihak. Dengan tidak (rutin) menulis editorialnya, pembaca kehilangan barometer untuk mengukur keberpihakan sebuah media. Kita hanya bisa menebak kiblat media tersebut berdasarkan komitmen para wartawannya. Media online akhirnya kehilangan kekuatan sebagai sebuah institusi dan tergantung pada integritas para wartawannya. Padahal, sebuah media sebagai sebuah institusi justru punya andil besar dalam membentuk karakter para wartawannya.

Dengan komitmen untuk bekerja profesional dan membangun media yang berani melawan arus “kejar tanyang” yang sedang mengepung kita, sebuah media online bisa menegaskan dirinya kembali sebagai pilar demokrasi yang memberi harapan bagi rakyat – terutama rakyat Malaka di hari-hari ini – ketika dibikin bingung oleh kisruh berita seputar somasi oleh empat wartawan.

Sebagai rakyat kita tidak tega membiarkan pers dipakai sebagai intrumen politik oleh pihak tertentu untuk menancapkan cakar-cakar kekuasaannya. *) Penulis, V. Nahak, Warga NTT

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini