sergap.id, BELU – Hingga kini jalan Sabuk Merah di wilayah berbatasan RI-RDTL, tepatnya di Kabupaten Belu, belum juga di hotmix. Padahal proyek senilai Rp 134 miliar itu sudah dikerjakan sejak Februari 2017.
Akibatnya masyarakat sangat kesulitan melewati ruas jalan sepanjang 176,19 kilo meter dan 27 buah jembatan ini, apalagi di musim hujan seperti sekarang.
Selain di Belu, jalan Sabuk Merah juga terdapat di bagian Barat Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sepanjang 130,88 km, termasuk 12 buah jembatan.
Sabuk Merah di Belu sejauh ini sudah diperlebar. Tapi entah kenapa hingga kini belum juga di hotmix. Misal yang terdapat di Kecamatan Weluli menuju Nualain, Kecamatan Lamaknen Selatan. Kondisi jalannya sangat memprihatinkan; berlumpur, digenangi air dan rawan longsor.
Gul Bere, tokoh pemuda Lahurus, Belu, mempertanyakan penyelesaian proyek tersebut. “Apakah ruas jalan ini hanya pelebaran”, tanya Bere kepada SERGAP, Sabtu (3/3/18).
Wakil Bupati Belu, JT Ose Luan, mengatakan, secara keseluruhan proyek Sabuk Merah sudah rampung 85 persen. Namun di ruas ini banyak terjadi longsoran, seperti yang terdapat di Dusun Asulait, Desa Sarabau dan Desa Nualain sepanjang 75 meter dengan kedalaman 4,5 meter.
Longsoran yang mengakibatkan badan jalan ambruk itu terjadi sejak tahun 2017 hingga sekarang. Sejauh ini belum ada perbaikan karena masih menunggu kajian soal struktur tanah dari Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Kementerian PUPR dan para ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) Jakarta.
Rencananya, ruas Sabuk Merah akan tersambung dari ujung Motamasin hingga Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Motaain.
“Yang jadi masalah adalah kondisi tanah di lokasi ini rawan longsor. Bila tak digarap dengan cermat, maka badan jalan rawan amblas,” kata Ose Luan.
Kondisi jalan berlumpur sepanjang 25 Kilo Meter di Desa Nualain, Kecamatan Lamaknen Selatan, Belu menjadi perhatian siswa SMP Satu Atap (Satap) Kewar.
Usai pulang sekolah, puluhan siswa di Lamaknen, Belu itu berusaha menutupi lumpur dan lubang genangan air hujan dengan batu serta kerikil.
Mereka membagi tugas, ada yang mengangkut batu, merapihkan batu dan kerikil, hingga pemadatan agar mudah dilewati pengendara.
“Tidak ada yang menyuruh kami. Ini inisiatif kami. Kami kasian orang yang lewat di jalan ini sering jatuh dan mobil sering tertanam karna lumpur. Makanya kami perbaiki jalan ini, ” kata Denis (13 tahun), siswa SMP Satap Kewar kepada SERGAP Sabtu (3/3/18) siang.
Karena kepedulian mereka terhadap kondisi jalan yang ada, kata Denis, mereka sering ketiban rejeki; diberi uang secara suka rela oleh para pengendara yang lewat. Ada yang beri Rp 5 ribu, ada juga Rp 10 ribu.
“Uang yang terkumpul dibagikan secara adil kepada semua teman-teman untuk beli keperluan sekolah,” ucap Denis.
Rico, teman Denis, mengamini kata Denis. “Kegiatan ini dilakukan setiap pulang sekolah. Kami melihat banyak mobil dan motor yang kandas akibat jalan berlumpur. Karena itu kami mengakali menutup lumpur dan lubang dengan kerikil yang ada,” katanya.
“Setelah pulang sekolah tidak ada kegiatan, makanya sama teman – teman kami perbaiki jalan,” tutup Riko. (sel/sel)