KLAIM kepemilikan tanah yang melibatkan Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu belum menuai penyelesaian. Headline Pos Kupang edisi Rabu 27/5/2020 memuat sebuah berita tentang bantahan Pemprov NTT terkait sejumlah isu yang menyebut Pemprov NTT telah merampas kawasan instalasi Besipae dari tangan masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Dalam berita itu, kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Dr.Drs. Zeth Sony Libing, M.Si menjelaskan kronologi klaim kepemilikan wilayah Besipae dan mengungkapkan “niat baik” Pemprov NTT terkait alasan pendayagunaan wilayah ini.
Dalam paparan Dr. Sonny, Pemprov NTT tidak sedikit pun memiliki niat merampas Besipae dari masyarakat setempat. Menurutnya, masyarakat justru akan dilibatkan dalam seluruh program yang diinisiasi Pemprov NTT dan karenanya masyarakat justru diberdayakan.
Terhadap opini yang beredar terkait polemik klaim kepemilikan Besipae ini, Sonny berkomentar bahwa setiap opini yang dibuat harus benar-benar seimbang. “Boleh beropini tapi sejatinya opini yang berimbang. Kita siap berikan data” demikian tegasnya.
Pos Kupang pada edisi yang sama, Yarid J. Saudila melalui opini berjudul “Spirit Pemprov NTT di Balik Kawasan Besipae” kembali mempertegas maksud di balik instalasi kawasan Besipae. Dengan hanya “mendaur ulang” kronologi yang disampaikan Sonny, Saudila pada akhirnya membuat semacam kesimpulan bahwa Besipae diharapkan kembali menjadi kawasan percontohan pertanian terpadu sesuai konsep awalnya. Demikian, ia menyebut, “spirit inilah yang sedang didesain oleh gubernur Viktor di masa kepemimpinannya”.
Mencermati seluruh kronologi persoalan ini, hemat saya pokok pemikiran kedua orang “terpercaya” ini sejatinya masih jauh dari substansi.
Pertama, karena klaim kepemilikan Besipae oleh masyarakat adat Pubabu itu sesungguhnya tidak didasarkan pada “ketaksanggupan” Pemprov NTT terkait cita-cita mulia intensifikasi pertanian dan peternakan dan menyebabkan masyarakat merasa “dipojokkan”, tetapi lebih pada legalitas kepemilikan yang didasarkan pada fakat-fakta historis masyarakat adat dan pengalaman “luka” karena proyek-proyek yang tidak ramah lingkungan dan terkesan sepihak (bdk. data WALHI NTT).
Oleh karena itu, upaya menerangkan niat baik Pemprov NTT terhadap wilayah Besipae ini hanya akan menimbulkan kesan “pembelaan diri” dan meluputkan diri dari basis klaim masyarakat adat Pubabu.
Publik tentu tahu bahwa dalam soal ini, Pemprov memiliki niat baik.
Dalam paparan saya sebelumnya (Baca: “Klaim Kepemilikan Besipae dan Cacat Prosedural Pemprov NTT”, Voxntt.com 21/5/2020) sejatinya Pemprov sementara dan (bahkan) telah memikirkan substansi pemerintahan yang demokratis (untuk rakyat). Namun, Pemprov justru absen dari dimensi prosedural demokrasi (dari dan oleh rakyat).
Saya menyebutnya sebagai kecacatan (demokrasi) prosedural karena klaim kepemilikan itu lebih didasarkan pada cita-cita mulia pengembangan program pemerintah seperti pemberdayaan kelor dan alpa mencatat aspirasi rakyat adat Pubabu.
Kedua, paparan Dr. Sonny maupun Saudila seharusnya bersifat deskriptif-argumentatif, artinya penjelasan itu harus berupaya memberi alasan rasional yang bisa menjawabi dan atau membantah basis klaim rakyat adat dan bukannya terfokus pada sejumlah cita-cita mulia Pemprov dengan sejumlah ekspektasi yang “melangit”. Hal ini perlu untuk menghindari penilaian publik terhadap masyarakat adat Pubabu sebagai pihak yang ahistoris dan atau “membangkang” terhadap pemerintah. Selanjutnya, pemaparan yang argumentatif tentu akan menjauhkan persoalan ini dari kesan sebatas suatu polemik sentimental di mana masing-masing pihak mengedepankan “ketidakpuasan” karena kepentingan parsial dan atau strategi kekuasaan yang “terlanjur” dimimpikan.
Ketiga, pemaparan keduanya hemat saya terkesan “prematur” karena hanya berangkat dari deretan kronologi tanpa menukik ke serpihan kejadian yang memancing pertanyaan mendasar seperti, “mengapa sertifikat hak pakai yang dikantongi Pemprov hilang dan tidak bisa ditelusuri sehingga diterbitkan sertifikat yang baru?”. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya hendak mencermati sejumlah hal yang menurut saya perlu mendapat pertanggungjawaban serius agar sinyal-sinyal kejanggalan itu bisa “dibereskan” segera.
Sertifikat Hilang?
Dalam penjelasan tentang kronologi klaim kepemilikan Besipae, Saudila menyebut sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 30 Januari 1986 itu tidak dapat ditelusuri (hilang) sehingga atas perintah gubernur dibentuklah sebuah tim terpadu untuk menyelesaikan klaim rakyat setempat atas wilayah Besipae. Atas usaha mereka ini maka pada tanggal 19 Maret 2013 sertifikat hak pakai kembali diterbitkan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, masyarakat adat Pubabu justru mencurigai modus penghilangan sertifikat ini dengan maksud menghindari kontrak yang telah ditandatangani pemerintah dan tokoh-tokoh adat sebagai pemegang hak atas hutan adat Pubabu.
Kecurigaan ini memang tampak beralasan mengingat dokumen yang demikian penting itu sangat tidak “masuk akal” bisa raib dari tangan pemerintah. Sebagai lembaga resmi negara, Pemprov NTT tidak bisa serta merta menggunakan dalil “hilang” sebagai bentuk pertanggungjawaban paling rasional di hadapan publik, sebab Pemprov sendiri akan terlihat impoten dan dengan demikian mempertegas kecurigaan rakyat adat Pubabu terkait keseriusan mengurus legalitas kepemilikan Besipae ini.
Maka tidak berlebihan, jika rakyat setempat mengendus ada motivasi terselubung di balik “otak” Pemprov menerbitkan sertifikat baru ini. Kalaupun, sertifikat ini benar-benar hilang, maka hemat saya Pemprov terlampau “main-main” mengantongi semua urusan-urusan formal yang berpotensi menimbulkan klaim di tengah masyarakat.
Sementara itu, jangka waktu sejak diterbitkannya sertifikat pertama (30 Januari 1986) dan penerbitan sertifikat kedua (19 Maret 2013) menunjukan bahwa Pemprov terkesan “menunggu” adanya klaim itu. Dengan kata lain, sertifikat hak pakai itu boleh jadi diterbitkan kembali sebagai reaksi atas aksi protes dan penyerobotan oleh masyarakat adat Pubabu.
Penerbitan sertifikat baru ini dapat dijadikan “tameng” hukum atas protes warga dan ada upaya “mengkolapskan” suara-suara minor itu. Publik pun bisa menilai dan serentak bertanya dengan nada satir “berarti selama 27 tahun sertifikat hak pakai itu kabur jika seandainya warga tidak angkat bicara dan mengklaim kepemilikan wilayah itu?”. Demikian, rentetan peristiwa pengurusan legalitas kepemilikan Besipae ini menyimpan kejanggalan serentak mempertegas bahwa dalil “hilang” yang diterangkan Pemprov NTT itu sangat sulit untuk dipercaya kebenarannya.
Selanjutnya, pada 09 November 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Republik Indonesia mengeluarkan surat dengan nomor 2.720/K/PMT/XI/2012 perihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu Besipae di Kabupaten TTS.
Mengutip WALHI NTT, surat itu memuat dua poin penting.
Pertama, mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang berakhir pada tahun 2012 kepada warga untuk dikelolah demi menghidupi keluarganya.
Kedua, mengevaluasi UPTD Provinsi NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan warga, di mana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan warga, tetapi justru membebani warga.
Adapun, surat ini merupakan surat kedua yang dilayangkan Komnas HAM setelah pada 6 April 2011 Komnas HAM mengeluarkan surat dengan Nomor 873/K/PMT/IV/2011 terkait perihal yang sama dan memuat paling kurang tiga hal penting.
Pertama, menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai ada solusi penyelesaian masalah tersebut.
Kedua, menjaga agar kawasan hutan tetap lestari.
Ketiga, menghentikan untuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Provinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada penyelesaian.
Surat ini dikeluarkan setelah mencermati laporan tujuh orang tokoh masyarakat adat Pubabu terkait pembabatan hutan Besipae di Desa Pollo dan Desa Linamnutu pada tanggal 12 April 2008 yang dilakukan oleh beberapa kelompok orang yang dibentuk oleh Dinas Kehutanan Kabupaten TTS dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Masyarakat melihat aktivitas ini justru menyebabkan terjadinya kekeringan di dua desa, yaitu Desa Pollo dan Desa Linamnutu (sumber: data WALHI NTT).
Terlepas dari semua alasan Pemprov dan Dinas Kehutanan mengupayakan cita-cita mulia di wilayah Besipae, pernyataan Komnas HAM di atas bisa menjadi ikhtiar tentang sejumlah kejadian yang diupayakan “luput” dari deretan kronologi sebagaimana diterangkan Dr. Sonny dan Saudila.
Maka penerbitan ulang sertifikat hak pakai tersebut boleh jadi merupakan reaksi di tengah “himpitan” oleh surat Komnas HAM dan sejumlah dukungan lain terhadap masyarakat. Penerbitan sertifikat baru menjadi tidak genuine dan diwarnai tanda tanya besar di tengah publik. Bukan tidak mungkin, penerbitan sertifikat baru ini menjadi basis hukum formal yang bisa dijadikan sebagai “pembelaan diri” dari pelbagai klaim masyarakat dengan dalil intensifikasi pertanian dan peternakan. Jika ini merupakan taktik “pembelaan diri” maka seluruh rencana besar nan mulia Pemprov NTT patut disangsikan sejak awal.
Mengendus Adanya Intimidasi
Dalam paparan Saudila, Pemprov NTT dikatakan telah melakukan upaya yang humanis dan persuasif. Pemprov telah melakukan sosialisasi kepada rakyat adat Pubabu terkait rencana relokasi warga dengan wilayah yang telah disiapkan, menjelaskan proyek pertanian dan peternakan yang melibatkan warga dan memberi sertifikat tanah kepada masyarakat.
Humanis dan persuasif yang dimaksud Saudila adalah upaya dialog yang telah diinisiasi oleh Pemprov kepada masyarakat. Pertanyaannya, apakah upaya dialog ini sungguh-sungguh suatu upaya saling “mendengarkan dan didengarkan” ataukah lebih terkesan sebuah “monolog” di mana Pemprov hanya menjelaskan maksud pengembangan instalasi Besipae? Jika ini yang dimaksud, maka dialog yang dilakukan ini sungguh tidak menyentuh substansi persoalan yang diharapkan masyarakat. Lebih jauh, kalaupun usaha dialog ini merupakan suatu sosialisasi maka Pemprov pun harus membuka diri terhadap kemungkinan baru setelah mendengar aspirasi masyarakat.
Artinya aspirasi rakyat itu turut dilibatkan dalam seluruh rencana besar pemerintah. Hemat saya, di sinilah letak substansi kekuasaan yang dialogis. Tidak deterministik. Bebas kepentingan. Berbeda dalam soal ini, Pemprov NTT justru semacam telah “menyiapkan kesimpulan” sebelum dialog itu dilakukan.
Oleh karena itu, penolakan undangan sosialisasi pada 13 Februari 2020 dengan nomor surat BU.005/89/BPAD/2020 oleh masyarakat memang terbukti beralasan. Menurut catatan WALHI NTT, sosialisasi yang terjadi pada 15 Februari 2020 pasca penolakan undangan tersebut terkesan mengintimidasi masyarakat dan bersifat sepihak. Kesan intimidasi ini dirasakan masyarakat karena dalam sosialisasi tersebut Pemprov NTT membawa aparat gabungan seperti Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, Brimob, TNI dengan membawa perlengkapan senjata dan gas air mata. Sosialisasi ini pun bersifat sepihak karena Pemprov melakukan penipuan publik karena telah membuat pernyataan bahwa masyarakat menyepakati untuk direlokasi dan setuju diberi tanah seluas 20X40 M2 dengan bukti sertifikat. Berdasarkan data yang dihimpun WALHI NTT ini maka publik pun bisa menilai maksud penolakan yang dilakukan masyarakat adat Pubabu sejak dilayangkan undangan sosialisasi itu.
Lebih lanjut, upaya humanis dan persuasif ini pun perlu dipertanyakan mengingat Pemprov NTT telah melakukan penertiban pada 17 Februari 2020 kepada para okupan di wilayah Besipae. Dalam kronologi yang dipaparkan Saudila, rapat tim terpadu (BPN NTT, Pertanahan TTS, Dinas Peternakan, Kehutanan, BKSDA) untuk penetapan tanah kapling dan sertifikat bagi para okupan baru terjadi pada 25 Februari 2020.
Artinya, penertiban itu mendahului upaya alternatif-humanis yang ditempuh Pemprov NTT. Hal ini diperkuat dengan data WALHI NTT bahwa selama kurang lebih satu minggu mereka tinggal dan tidur di “Lopo” atau balai pertemuan. Untuk membantu tiga kepala keluarga tersebut masyarakat bergotong royong dan mengumpulkan sumbangan untuk membangun rumah untuk mereka.
Kembali ke Esensi Dialog
Penyelesaian persoalan klaim kepemilikan Besipae ini hemat saya perlu ditempuh secara dialogis. Esensi dialog ialah upaya menemukan kesepakatan bersama sebagai hasil aspirasi kedua belah pihak. Di tengah menggelindingnya klaim seperti ini, upaya dialog itu harus mengandalkan keterbukaan terhadap fakta-fakta historis tanpa intensi saling mensubordinasi satu sama lain. Maka sebagaimana harapan masyarakat adat Pubabu;
Pertama, Pemprov NTT perlu (bahkan harus) membatalkan sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 2013. Pembatalan ini penting untuk mengupayakan dialog yang damai dan membongkar prasangka buruk masyarakat tentang maksud penerbitan sertifikat baru ini (termasuk penyerahan tanah dari usif Frans Nabuasa ke Pemprov NTT) dan dengan demikian klaim kepemilikan itu bisa diminimanilisir sebelum terjadinya dialog. Dialog diupayakan untuk menemukan kesepakatan.
Kedua, perlu ada fasilitator yang merupakan pihak yang menengarai persoalan ini karena akar persoalan ini merupakan suatu ‘klaim’. Menghadirkan pihak ketiga sangat membantu penguraian aspirasi kedua pihak dan mencegah salah satu pihak dari ‘perasaan’ diintimidasi.
Ketiga, waktu dialog perlu disepakati untuk mengantisipasi ketegangan-ketegangan yang bisa merugikan kedua pihak.
Akhirnya penyelesaian klaim kepemilikan Besipae ini perlu mengedepankan cara yang dialogis. Sebagaimana sudah saya sebut dimuka, sinyalemen masyarakat tentang serpihan kronologi yang dipaparkan Dr. Sonny ini perlu dipertanggungjawabkan secara serius. Jika dalam bulan Juni ini, Gubernur Viktor Laiskodat memenuhi janjinya untuk berdialog dengan masyarakat (sebagaimana harapan kita bersama) maka esensi dialog ini harus sungguh diupayakan.
Sebagai lembaga kekuasaan, Pemprov juga memiliki tanggung jawab moril untuk membereskan sinyalemen dalam masyarakat tentang sejumlah kejanggalan yang membutuhkan jawaban gamblang. Publik menunggu, semoga penyelesaian kali ini bisa ditempuh dengan langkah-langkah yang menyejukkan tanpa intimidasi, tanpa kriminalisasi.
- Penulis: Paul Ama Tukan/Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Wisma Mikhael Ledalero-Maumere.