kasus marapokot
Dari kiri ke kanan: Marselinus F. Ajo Bupu, Stefanus Tipa, dan Lukas Mbulang, SH

sergap.id, MBAY – Dalam laporan resmi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Richardo Sunny Jodo, mengatakan, saat ini progres rehab pelabuhan feri Marapokot senilai Rp 7,1 M telah mencapai 86 persen dan uang yang belum dibayarkan ke kontraktor tinggal Rp 387 juta.

Namun pengakuan Richardo itu berbanding terbalik dengan hasil uji petik Komisi II DPRD Kabupaten Nagekeo pada tanggal 30 Januari 2022.

Sesuai kontrak, proyek itu harus mulai dikerjakan pada Juni 2022 dan selesai pada Desember 2022.

“Tapi kenyataannya baru dikerjakan awal Januari 2023”, ujar Ketua Komisi II DPRD Nagekeo, Safar Lagarema, SE, kepada SERGAP, Jumat (3/2/23).

Selain itu, lanjut Safar, PPK memberi penambahan waktu selama 50 hari dan berakhir di tanggal 3 Pebruari 2023. Tapi pihak rekanan tidak dikenakan denda keterlambatan.

Mestinya PPK memberikan denda keterlambatan mulai dari Juni 2022 sampai Desember 2022. Alasannya, di beberapa bulan waktu kerja itu pihak ketiga tidak melakukan kegiatan proyek, baik pekerjaan Minor maupun Mayor.

Proyek ini oleh PPK sudah di PHO yang katanya secara progres fisik sudah mencapai 86 persen, tapi berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.

Sebab, secara fisik, pekerjaan tidak kelihatan, kecuali marrial onside, yang baru didatangkan dari Surabaya.

Kaitan dengan metode kerja yang tertuang dalam Dokumen Kontrak, pihak rekanan mengatakan tidak menggunakan Eksavator, tapi kenyataan di lapangan rekanan menggunakan eksvator hingga terjadi kecelakaan yang menyebabkan tenggelamnya eksavator di kolam labuh Marapokot.

Antara pihak ketiga dan Dinas PUPR Nagekeo cq Kepala UPTD alat berat pun terdapat transaksi sewa menyewa alat berat berupa ekavator untuk membantu menyelesaikan pekerjaan proyek itu. Padahal dalam dokumen kontrak tidak mencantumkan penggunaan ekavator untuk  pekerjaan Dermaga Penyebrangan Feri Maropokot.

Dokumen sewa-menyewa alat berat juga belum ditunjukkan oleh Kepala UPTD yang disertai dengan berapa biaya sewa alat berat per hari atau per jam dan sudah berapa lama alat berat ini disewakan. Bahkan setelah eksavator tenggelam, belum ada proses evakuasi serta pertanggungjawaban jatuhnya eksavator itu.

Anehnya, walau eksavator itu belum dievakuasi, pihak kontraktor dan UPTD PUPR membuat kerjasama lagi untuk sewa alat berat dan dikerjakan di lokasi yang sama.

Bagi saya, mereka ini termasuk nekat, masalah yang satu belum dituntaskan, justru bikin masalah baru.

Apalagi pihak UPTD dan Kontraktor terkesan melepas tanggung jawab. Buktinya pasca jatuhnya Eksavator itu tidak ada informasi atau laporan secara resmi ke Pemda Nagekeo atau ke pihak Kepolisian.

Untuk itu, sebagai Ketua Komisi II, saya minta Kepolisian Resor Nagekeo segera usut sampai tuntas kasus ini.

  • Perkaya Diri

Ketua DPRD Nagekeo, Marselinus F. Ajo Bupu, menduga, belum tuntasnya proyek rehab pelabuhan Marapokot itu lantaran adanya konspirasi antara rekanan dengan PPK.

“Berdasarkan kontrak kerja, proyek ini mulai dikerjakan 30 Juni 2022 dan berakhir 31 Desember 2022. Itu artinya tanggal 31 Desember 2022, proyek ini harus sudah di PHO. Yang terjadi malah ada penambahan waktu yang diberikan oleh PPK kepada rekanan selama 50 hari kerja. Seharusnya  rekanan  dikenakan denda keterlambatan, kok sebaliknya”, ungkapnya.

“Alasan bahwa Pengguna Anggaran (Dinas Perhubungan Kabupaten Nagekeo) terlambat mencairkan dana kepada rekanan itu sebenarnya alasan yang dicari-cari oleh PPK dan rekanan untuk membela diri. Alasan apa sampai PPK tidak memberi denda keterlambatan? Dugaan saya, ruang ini yang digunakan oleh PPK dan rekanan untuk memperkaya diri ujar”, ungkapnya.

Menurut Marselinus, kecelakaan kerja yang menyebabkan sebuah ekskavator milik Dinas PUPR Nagekeo, jatuh dan tenggelam di Dermaga Marapokot, disebabkan oleh penyalahgunaan fungsi eksavator itu sendiri.

“Untuk pekerjaan ini seharusnya menggunakan craine, bukan ekskavator. Alasan bahwa menggunakan craine biayanya lebih mahal, dan mau cari yang murah, yah.. begini sudah jadinya!”, tegasnya.

“Saya kesal dengan pihak terkait, ketika terjadi kecelakaan kerja, kenapa tidak dilaporkan? Memangnya ini alat milik pribadi? Ini barang milik Pemda Nagekeo dan dibeli menggunakan uang rakyat. Untuk itu harus dipertanggungjawabkan ke publik”, tohoknya.

“Kita di DPRD ini juga mempertanyakan pencairan dana proyek itu. Kok sudah mencapai 86 persen? Padahal progres pekerjaan berdasarkan uji petik Komisi II tidak seperti itu. Artinya ada pembayaran melebihi progres pekerjaan”, ucapnya.

Marselinus menduga, mandeknya pekerjaan proyek rehab dermaga Marapokot itu disebabkan adanya konspirasi antara PPK dan rekanan. Karena itu Marselinus mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) segera melakukan penyelidikan agar dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tersebut menjadi terang benderang.

Terpisah, Richardo menampik dugaan Ketua DPRD Nagekeo itu.

“Sampai dibilang konspirasi, ini jujur, saya bingung…”, tegasnya.

Menurut dia, adendum kontrak dari tanggal 31 Desember 2022 sampai 3 Februari 2023 memiliki dasar, yakni Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan barang/jasa, Peraturan LKPP Nomor 12 tahun 2021 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang /jasa pemerintah melalui penyedia, bagian syarat- syarat umum kontrak, angka 62.

Dengan dasar ini, maka pada tanggal 22 November 2022 dibuat adendum kontrak Nomor: ADD.I/552.3/PPK-DISHUB-NGK/MB-2b/XI/2022, tentang adendum kontrak pemberian kompensasi karena Keterlambatan Pembayaran kepada penyedia untuk Termin I, yang mana dari Tanggal 14 Oktober 2022 sampai dengan  terbitnya Surat Permintaan Pembayaran (SPP) tanggal 17 November 2022.

“Jadi saya tidak ada sama sekali mau konspirasi atau apa pun itu dengan penyedia, dan memang betul terjadi keterlambatan pembayaran dari Dinas Perhubungan Kabupaten Nagekeo”, pungkasnya.

Plt. Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nagekeo, Stefanus Tipa, juga membantah tudingan Ketua Komisi II dan Ketua DPRD Nagekeo bahwa progress pekerjaan belum mencapai 86 persen.

“Progres pekerjaan di lapangan sudah mencapai 86 persen. Ini dibuktikan dengan laporan dan backup data oleh PPK dan Konsultan Pengawas kepada saya selaku Pengguna Anggaran. Dalam laporan itu terinci dengan jelas tentang tahapan pekerjaan di lapangan. Laporannya juga sudah kita serahkan kepada Komisi B (II) saat uji petik di lapangan. Prinsipnya kita bekerja sesuai dengan aturan”, tegasnya.

  • Kerugian Negara

Praktisi hukum sekaligus tokoh masyarakat Mbay, Aesesa, Nagekeo, Lukas Mbulang, SH, menilai, jika dugaan pembayaran kepada rekanan melampaui prosentase pekerjaan fisik itu benar adanya, maka patut diduga bahwa laporan mingguan dan bulanan serta pengajuan permohonan pembayaran uang oleh rekanan dan konsultan Pengawas itu adalah fiktif.

“Secara hukum ini disebut sebagai perbuatan melawan hukum, dan perbuatan ini akan berdampak pada kerugian Negara”, ucapnya.

Namun Lukas mempertanyakan fungsi kontrol DPRD Nagekeo.

“Kalau terjadi seperti ini, pertanyaan saya dimana fungsi kontol DPRD Nagekeo? Karena yang mengalokasikan dan menyetujui anggaran untuk rehabilitasi Moveblebrigde itu adalah DPRD Nagekeo. Saya minta kedua belah pihak jangan saling cuci tangan. Sebaiknya DPRD Nagekeo memanggil para pihak untuk melakukan klarifikasi. Ini penting agar jangan menjadi opini liar di publik. Konsentrasi DPRD Nagekeo saat ini adalah asas kemanfaatan dari proyek itu bagi masyarakat”, pungkasnya. (sg/sg)