Paul Ama Tukan
Paul Ama Tukan

SEJAK tahun 2015, upaya penyusutan kasus pembunuhan Marianus Oki (39) warga Desa Bakitolas, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)  belum menuai titik terang.

Marianus tewas dalam sel tahanan Pos Polisi (Pospol) Banat Manamas, Polsek Nunpene , Polres TTU pada 4 Desember 2015 karena “diduga” bunuh diri.

Marianus ditemukan tewas sekira pukul 17.00 sehari setelah dijemput  polisi karena diduga melakukan percobaan tindakan pemerkosaan terhadap Theresia Kune, salah satu warga setempat.

Rakyat biasa yang kesehariaannya sebagai petani di Bakitolas ini meninggal dengan sejumlah luka pada tubuhnya, di antaranya goresan melingkar pada bagian leher dan pendarahan pada bagian tulang belakang kepala.

Marianus tewas mengenaskan di tangan pihak kepolisian dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besarnya terutama istri dan kedua anak yang masih amat belia.

Mirisnya, sampai tahun ini, kematian Marianus masih menyimpan sejumlah misteri karena penyelesaiannya terkesan lamban, inkonsisten dan abal-abal. Publik menilai pihak penyidik  tidak profesional. Di samping itu, publik menduga kasus ini dilatari oleh konspirasi elite para penegak hukum.

Misteri kematian Marianus diduga dilakoni sejumlah pihak yang berkepentingan dan telah “terlanjur” gagap di hadapan hukum. Keluarga korban dan publik mengendus sejumlah kejanggalan yang terorganisir dalam tubuh kepolisian.

Dalam pengamatan penulis, lebih kurang ada empat alasan di balik kecurigaan terhadap pihak kepolisian terkait kematian Marianus ini.

Pertama, penangkapan Marianus pada tanggal 3 Desember 2015 tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan yang seharusnya perlu ditunjukan kepada keluarga korban. Surat perintah ini belakangan pasca kematian Marianus tidak bisa dipertanggungjawabkan pihak kepolisian. Hal ini justru menimbulkan persoalan yang cukup pelik yakni terkait status korban saat ditangkap. Prosedur penangkapan bermasalah dan karena itu rentetan peristiwa kematian tragis Marianus adalah juga salah satu akibat “kelalaian” polisi. Logika hukumnya, jika Marianus ditahan tanpa surat penangkapan/penahanan maka status Marianus adalah korban penculikan oleh polisi. Polisi dengan demikian, diduga terlibat dalam alibi kematian Marianus. Sebab di lain sisi rumah tahanan itu seyogyanya menjadi tempat yang paling aman bagi siapa pun yang diamankan apalagi secara paksa tanpa dikantongi legalitas penahanan. Terkait penangkapan Marianus, keluarga sempat menolak, namun karena desakan petugas terkait laporan yang mereka terima, Marianus akhirnya dibonceng menuju Pospol sehari sebelum kematiannya.

Kedua, sore hari tanggal 4 Desember 2015, kakak kandung korban (Yohanes Au Oki) tiba di pos polisi Manamas untuk mengunjungi adiknya yang telah diamankan polisi pada 3 Desember. Berdasarkan pengakuan Yohanes, adiknya dibopong dalam keadaan tak sadar diri oleh beberapa petugas kepolisian ke sebuah mobil sesaat setelah ia tiba di kantor polisi.

Petugas yang menjumpai Yohanes saat itu menyebut Marianus pingsan di dalam sel dan ia hendak dibawa ke Puskesmas Wini. Apesnya, dalam perjalanan menuju puskesmas  dengan mobil itu seorang petugas bertanya kepada Yohanes terkait ikat pinggang yang dikenakan korban untuk bunuh diri.

Petugas itu mengaku, Marianus pingsan karena gantung diri dengan sebuah ikat pinggang di dalam sel tahanannya. Yohanes dengan cekatan membantah bahwa ia tidak pernah memberi ikat pinggang ke korban karena sejak malam Yohanes sempat membawa kebutuhan makan minum korban tetapi diberikan lewat petugas yang berpiket.

Belakangan, istri korban justru mengaku suaminya tidak memakai ikat pinggang ketika dijemput polisi. Kejanggalan ini lalu dipertegas dengan “keanehan” yang ditunjukan pihak penyidik dalam proses penyidikan lanjut. Bahwasanya, ikat pinggang yang digunakan sebagai alat bukti ini tidak pernah ditunjukan kepada istri dan kakak korban saat pemeriksaan untuk dimintai keterangan lebih lanjut terkait kebenaran ikat pinggang yang dikenakan korban sebelum ia dijemput. Dalam pemeriksaan medis di puskesmas Wini, korban dinyatakan telah tewas di sel tahanan sebelum dihantar ke puskesmas.

Ketiga, sampai tanggal 10 Desember 2015 pasca kematian Marianus, tidak seorang pun keluarga korban yang dimintai keterangan (http://kupang.tribunnews.com/2016/10/01/komnas-ham-surati-polda-ntt-dalam-kasus-kematian-marianus-oki, diakses tanggal 12 Juni 2020). Padahal upaya pengungkapan kasus ini seharusnya dimintai keterangan oleh pihak korban yang diwakili keluarga. Kecurigaan ini semakin beralasan ketika keluarga mulai menghubungkan kronologi sebelum kematian korban. Penyidik sempat memaksa pihak keluarga berdamai dengan pihak pelapor dengan sejumlah ancaman dan intimidasi karena permintaan itu ditolak. Keluarga korban menolak berdamai karena pihak pelapor terlebih dahulu memberi sejumlah syarat untuk berdamai yaitu keluarga korban harus memenuhi sejumlah denda finansial. Padahal, Marianus belum terbukti bersalah atas dugaan yang disangkakan padanya oleh pihak pelapor. Selain itu, persetujuan tentang perdamaian dengan sejumlah denda yang disepakati ini tanpa melibatkan keluarga korban. Keputusan diambil sepihak antara polisi dan pelapor.

Keempat, kasus kematian Marianus adalah satu dari beberapa kasus besar yang tidak ditangani secara serius oleh Polres TTU. Selain sejumlah bukti yang masih bermasalah (sandal yang dikenakan korban dan ikat pinggang), kasus ini bahkan sudah dilimpahkan ke Polda NTT untuk dilakukan penyelidikan secara lebih spesifik. Bahkan pihak keluarga telah melaporkannya ke Komnas HAM terkait beberapa tindakan yang melawan hak-hak asasi manusia dan Komnas HAM telah menyurati Polda NTT.

Sampai tahun ini, keluarga merasa hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia dilecehkan karena mereka tidak  mendapatkan kepastian hukum terkait kematian Marianus. Pelbagai usaha yang ditempuh semacam luruh di hadapan apatisme penegak hukum.

Wajah lusuh rakyat kecil karena lelah mencari keadilan tergambar di Timur Indonesia. Mereka yang sedang duka karena ketidakadilan. Penegak hukum di TTU bahkan Polda NTT semacam boneka yang dipermainkan oleh bayang-bayang kabur, yang bersembunyi di bawah pangkat dan jabatan. Darah Marianus sedang berteriak, siapa berani angkat bicara?

  • Sinyal Polisi “Abal-abal”

Tidak berlebihan jika basis dugaan di atas patut diangkat kembali untuk membangunkan “tidur panjang” pihak kepolisian.

Misteri kematian Marianus serupa memoar yang harus kembali diangkat, selanjutnya disembuhkan dari luka dan duka mirisnya penegakan keadilan Polres TTU. Misteri itu semacam suatu dunia sadar yang diupayakan lenyap dari “ingatan” publik tetapi justru menanggalkan sejumlah catatan buruk. Publik terhenyak, “sudah lima tahun, kasus Marianus belum juga kelar?”. Polda NTT tidak professional?

Ingatan publik kembali tergambar. Mapolda NTT telah dua kali membentuk tim penyidik untuk mengungkap kasus kematian Marianus. Penyidik pertama menyimpulkan korban meninggal karena gantung diri dan bahwa pihak keluarga keberatan atas kesimpulan ini karena rekonstruksi yang dilakukan penyidik terkait bunuh diri yang dilakukan Marianus tidak menggunakan orang yang ukuran tinggi sama dengan korban di sel tahanan, tempat Marianus ditemukan tak bernyawa.

Atas keberatan yang diajukan keluarga korban dan upaya penyidikan pertama yang kurang transparan, maka dengan surat perintah Kapolda, dibentuklah tim penyidik kedua yang melakukan rekonstrusi secara terbuka dan memperagakan ulang gantung diri yang (diduga) dilakukan Marianus.

Kali ini, aroma kejanggalan mulai terendus. Fakta lapangan rekonstruksi ulang terbuka itu justru berkata lain. Dengan menggunakan orang yang ukuran tinggi sama dengan Marianus, pihak penyidik kedua ini menyimpulkan koban Marianus Oki tewas secara tidak wajar. Jelas, kesimpulan ini adalah bantahan eufemis atau yang sengaja dibuat lebih ‘halus’ karena telah terlanjur ‘menubruk’ kesimpulan penyidik pertama.

Kacau. Aneh bin ajaib. Taring penyidik pertama terlanjur “ompong” di hadapan publik karena kesan “abal-abal” sudah tertangkap oleh publik terutama keluarga dengan dalil meloloskan sejumlah keganjilan di tubuh kepolisian. Drama keanehan itu kian telanjang.

Selanjutnya, apatisme Polda NTT yang ditunjukan  semakin ‘menggemaskan’ tatkala hasil kesimpulan gelar perkara yang diadakan bersama Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), tim penyidik I, tim penyidik II dan keluarga korban tidak ditindaklanjuti hingga saat ini.

Pasca penyelidikan oleh tim penyidik II, keluarga mengadukan kasus ini ke Kompolnas dan diadakan gelar perkara. Dalam gelara perkara itu, Kompolnas mempertimbangkan seluruh hasil penyidikan dan menyimpulkan bahwa penanganan kasus ini menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda-beda padahal sama-sama melakukan rekonstruksi yang sama (Bdk. http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2019/12/08/keluarga-korban-tewas-dalam-sel-tahanan-mengirim-surat-terbuka-kepada-presiden-jokowi/, diakses tanggal 12 Juni 2020).

Kesimpulan Kompolnas ini semacam mempertegas kecurigaan keluarga korban terkait keganjilan selama proses penyidikan.

Rupanya gelar perkara yang diadakan bersama Kompolnas ini justru semakin membuka ‘tirai’ kejahatan yang sengaja ditutupi Polda NTT sehingga sampai saat ini kasus ini seakan dibiarkan tanpa kejelasan.

Kesimpulan Kompolnas terkait hasil kesimpulan hukum yang berbeda kedua tim penyidik itu justru menjadi “episode terakhir”  proses penyelesaian kasus ini, bahwasanya Polda NTT tidak menunjukan gelagat atau usaha penyelesaian secara serius dan terkesan “tidak ambil pusing” pasca gelar perkara itu diadakan.

Sampai tulisan ini dibuat, keluarga korban belum mendapat kepastian hukum terkait penyelesaian kasus ini. Polda NTT kehilangan “taring”? atau justru sudah terjebak pada jerat hukum yang dibuat oknum-oknumnya sendiri? Kalau demikian siapa yang akan menyidik dan disidik?

Oleh karena itu, Kepolisian dalam hal ini Polda NTT telah menunjukan suatu pergerakan “abal-abal” dalam penyelesaian kasus ini. Lebih jauh, pesimisme keluarga korban untuk mendapat keadilan di negera ini semakin kuat tatkala keberadaan pelapor (Theresia Kune) yang melaporkan korban atas percobaan pemerkosaan atasnya tidak diketahui pasca Marianus tewas.

Sampai saat ini, Theresia Kune bersama suaminya Rofinus Abi “menghilang”  dari kampung. Keberadaannya tidak diketahui. Tanda tanya besar kembali “menampar” kepolisian, “jangan sampai pelapor sengaja dihilangkan jejaknya atau sengaja disembunyikan untuk menutup pelbagai kedok?”.

Dua kemungkinan ini sekali lagi menjadi suatu bukti bahwa polisi terlampau abal-abal, tidak profesional dan terkesan sedang bersembunyi di balik topeng kejahatan yang dibekingi uang dan kuasa.

  • Polda NTT harus Bangun dari “Tidur Panjang”

Tak disadari, kasus ini sudah berumur hampir lima tahun. Waktu yang terbilang cukup lama. Keluarga korban yang terlihat sebagai rakyat kecil dan sederhana sudah terlalu lama menunggu di bawah sujud doa dan litani duka yang tidak habis-habisnya. Di bawah penantian yang tak pasti, rakyat kecil yang sering diremehkan ini justru merekam setiap detail keganjilan kronologi ini dengan teliti. Ingatan mereka selalu segar karena kematian Marianus dan penyelesaian yang “abal-abal” menjadi suatu doa tentang penegakan hukum dan keadilan di bumi pertiwi Indonesia. Bahwa hukum justru menjadi senjata yang amat tumpul berhadapan dengan uang dan kuasa. Penegak hukum setinggi Polda NTT justru menanggalkan kekecewaan mendalam bagi siapa pun yang sedang haus akan keadilan.

Usia kasus ini menandaskan bahwa penegak hukum dalam hal ini Polda NTT harus kembali bergerak. Arwah Marianus hendak membangunkan “tidur panjang” Polda NTT dari penyakit bungkam yang terlampau lama. Tentu, agar marwah penegak hukum yang humanis tetap menghuni imajinasi publik. Arwah Marianus tetap berteriak tentang lakon di balik kematiannya dan niscaya kebenaran pada akhirnya akan mengungkapkan dirinya sendiri.

“tidur panjang” Polda NTT selama ini paling kurang menunjukan suatu sinyal yang kurang beres. Namun gema kasus ini justru tidak lantas purna, lekang, selesai dalam sekejap (mungkin) sebagaimana dalam prediksi penegak hukum. Maka dari itu, Polda NTT perlu kembali membereskan sinyal itu, selanjutnya kembali menyelesaikan kasus ini agar tidak menggantung di ingatan publik apalagi masyarakat kecil bahwa telah ada resistensi hukum yang paling banal, suatu kejahatan terselubung yang ditutup-tutupi. Publik lantas gusar: Polda NTT bangunlah dari tidur panjang mirisnya penegakan hukum, segera!

  • Catatan atas Tragedi Kematian Marianus Oki di Pospol Manamas-TTU ini ditulis oleh Paul Ama Tukan, Anggota Lentera Novisiat SVD Nenuk, Atambua, Timor.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini