Ryo Ambasan, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka.
Ryo Ambasan, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka.

PENGUASA merupan subjek dan rakyat adalah objek dalam panggung perpolitikan di negeri ini. Penguasa hanya dapat duduk di atas kursi jabatan yang empuk apabila ditopangi oleh rakyat. Suatu tatanan kehidupan yang harmonis hanya dapat tercipta apabila penguasa berhasil melahirkan kebijakan dan aturan yang bernas.

Para penguasa masa kini telah kehilangan orientasi kepemimpinan yang sesungguhnya sebab egoisme dan ketamakan telah menguasai mereka. Ketika egoisme dan ketamakan telah menguasai mereka, sudah pasti segala keputusan dan kebijakan yang dibuat tidak pernah tepat sasar sebab keputusan dan kebijakan tersebut lebih merujuk pada kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.

Alih-alih ingin menyelamatkan rakyat dari belenggu kemiskinan toh penguasa masa kini semakin beringas melahap uang rakyat. Egoisme dan ketamakan penguasa masa kini perlu diretas agar dapat terciptanya suatu tatanan kehidupan yang harmonis.

Tentunya, usaha untuk meretas egoisme dan ketamakan penguasa bukanlah perkara yang mudah tetapi dengan kerja sama yang saling memberdayakan, semuanya itu dapat direalisasikan.

Sebelum larut dalam diskursus ini, terlebih dahulu penulis ingin menerangkan arti serta implikasi logis dari kata egoisme dan ketamakan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Cet. ke-V), ‘egoisme’ diartikan sebagai tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Sedangkan ‘ketamakan’ sendiri diartikan sebagai hal tamak; keinginan untuk selalu memperoleh (harta dan sebagainya) sebanyak-banyaknya.

Penggunaan kata egoisme dan ketamakan rupanya sangatlah tepat apabila disematkan dalam diri para penguasa masa kini.

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1884-1990), seorang filsuf atheis dalam bukunya yang berjudul Seruan Zarathustra mengatakan  “Semakin si ego ini tegas belajar berbicara, semakin banyak pula ia mendapati jabatan dan kehormatan untuk tubuh dan bumi”.

Implikasi logisnya adalah jabatan dan kehormatan yang dimiliki oleh para penguasa masa kini disebabkan oleh unsur ego yang tak terkalahkan.

Jika egoisme dan ketamakan tidak ada dalam diri para penguasa maka tidak akan ada lagi pemberitaan tentang korupsi, privatisasi aset negara, nepotisme, pungutan liar dan masih banyak lagi.

Pola kepemimpinan yang dihidupi oleh para penguasa masa kini sesungguhnya telah telah mencoreng nilai demokrasi. Berbagai pelanggaran yang dilakukan seharusnya menjadi suatu bahan pembelajaran tersendiri bagi setiap insan di negeri ini agar hal serupa tidak terjadi lagi.

  • Matinya Pengalaman Batiniah

John Locke dalam karya tersohornya tentang negara menyatakan bahwa terdapat dua jenis pengalaman dalam diri manusia yakni, pengalaman lahiriah atau eksternal sensation dan pengalaman batiniah atau internal sense .

Pengalaman batiniah adalah pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material yang berhubungan dengan pancaindra manusia. Sedangkan, pengalaman batiah terjadi ketika manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara mengingat, menghendaki, meyakini dan sebagainya.

Kedua bentuk pengalaman inilah yang akan membentuk pengetahuan melalui proses selanjutnya. Pada titik ini penulis secara utuh menyatakan bahwa egoisme dan ketamakan yang telah mendarah daging dalam diri para penguasa masa kini sesungguhnya merupakan matinya pengalaman baniahnya sebagai seorang manusia.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, penguasa masa kini cenderung mengandalkan pengalaman lahiriah. Pengalaman lahiriah menjadi tolok ukur dari segala kebijakan yang dibuat. Alhasil, setelah nyaman duduk di atas kursi jabatan yang empuk, para penguasa lebih mengandalkan kegoan dan superioritasnya tanpa suatu pertimbangan yang matang.

Tentunya penulis sama sekali tidak menolak tentang penggunaan pengalaman lahiriah dalam menciptakan kebijakan-kebijakan. Tetapi jauh dari pada itu penggunaan pengalaman lahiah saja tidak cukup. Perpaduan antara keduanya sesungguhnya akan mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang bernas dan memberdayakan.

Matinya pengalaman batiniah para penguasa masa kini merupakan suatu keprihatinan tersendiri. Korupsi, nepotisme, privatisasi aset negara, pungutan liar dan berbagai kejahatan lainnya akan purba jika pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan masih sebatas pada pengalaman lahiriah saja. Upaya menghidupkan kembali pengalaman batiniah para penguasa masa kini harus digelorakan. Belum ada kata terlambat untuk berbenah.

  • Jalan Pulang bagi Kaum Penguasa

Pemerintah selaku penguasa di negeri ini perlu ‘masuk’ ke dalam dirinya sendiri sembari mempertanyakan hakikat atau esensi dan eksistensinya sebagai  seorang penguasa yang sesungguhnya. Penguasa sama sekali tidak mempunyai kuasa untuk melahap uang rakyat, melahirkan kebijakan-kebijakan sinterklas dan pantang terhadap aspirasi rakyat.

Sosok penguasa yang sesungguhnya ialah dia yang berani menjalankan amanah rakyat untuk menciptakan suatu tatanan hidup bersama yang harmonis.

Menyitir John Locke, kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaannya berasal dari rakyat yang telah mendirikannya. Jadi, negara dalam hal ini para penguasa hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan rakyat terhadapnya.

‘Pulang ke jalan yang benar’ seyogyanya merupakan tamparan keras bagi para penguasa masa kini yang cenderung disusupi egoisme dan ketamakan.

  • Penulis: Ryo Ambasan/Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Kabupaten Sikka.

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini