
sergap.id, ENDE – Pro kontra kehadiran Geothermal di Pulau Flores dan Lembata belum juga usai. Gubernur NTT Melki Laka Lena tetap mendorong terwujudnya proyek energi terbarukan itu. Sementara para Uskup menolak dengan tegas.
Sikap menolak Geothermal sedianya sudah sejak awal. Namun masyarakat tidak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Itu sebabnya gereja turun tangan, dan pada Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja ENDE di Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Maumere, 10 – 13 Maret 2025, dengan tegas Uskup Denpasar Mgr Silvester San, Uskup Labuan Bajo Mgr Maksimus Regus, Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat, Uskup Agung Ende Paulus Budi Kleden, Uskup Maumere Mgr Edwaldus Martinus Sedu, dan Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung, menolak kehadiran Geothermal.
“Gereja dipanggil menjadi penjaga kehidupan dan pelayan sesama. Dalam semangat kasih Kristus, kami mengajak seluruh keluarga umat Allah di wilayah Provinsi Gerejawi ENDE untuk menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem, termasuk energi geotermal Flores dan Lembata, yang menimbulkan pertanyaan berbagai pihak saat ini,” demikian isi surat gembala para Uskup.
Karena itu, Gubernur NTT Melki Laka Lena membentuk tim uji petik untuk mengetahui alasan penolakan. Namun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT justru menilai kehadiran tim itu hanya sandiwara untuk memuluskan proyek Geothermal.
“Uji petik yang dilakukan sangat tidak obyektif dan justru terlihat sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah, Kementerian ESDM dan PLN sebagai pihak pelaksana proyek yang sejak awal memang sangat ngotot agar proyek ini tetap dijalankan di tengah gelombang penolakan warga,” ungkap Gres Gracelia, Staf Divisi Advokasi Walhi NTT.
Senada dengan Wahli, Ketua Tim Advokasi Geothermal Keuskupan Agung Ende, RD. Reginaldus Piperno, menilai kehadiran tim uji petik itu hanya untuk melegitimasi sikap awal Melki Laka Lena yang mendukung kehadiran Geothermal.
“Gubernur sejak awal menegaskan bahwa Tim yang dibentuk adalah tim independen. Tujuan dari Tim adalah mengumpulkan data lapangan dan melakukan investigasi, sebelum mengambil keputusan mengenai keberlanjutan Geothermal. Kenyataannya, pada saat Tim mengumpulkan data dan melakukan investigasi, Gubernur (justru) berulangkali menegaskan sikapnya untuk melanjutkan proyek ini. Karena itu, beralasan apabila muncul anggapan bahwa pembentukan dan investigasi Tim ini hanya untuk melegitimasi apa yang sudah menjadi sikap Gubernur. Hal ini tampak dari hasil uji petik di Sokoria, Mataloko, dan Nage (yang diumumkan 4 Juli 2025 lalu)”, ungkap Piperno dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/25).
Piperno menjelaskan, hasil uji petik Tim Satgas bentukan Gubernur di Sokoria, Mataloko dan Nage itu lebih menyoroti soal teknis pelaksanaan pengembangan proyek Geothermal, yang terkesan sangat formal administratif untuk memuluskan dan atau melegitimasi pelaksanaan pengembangan proyek Geothermal. Sementara ruang hidup masyarakat lokal, ruang kultural, ruang pangan dan sumber air bersih, hak atas udara bersih dan sehat, sistem kekerabatan, dan kohesi sosial yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses uji petik Tim, justru diabaikan.
Hasil uji petik itu juga tidak mendalami secara serius proses penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.
Dan, sejak awal masyarakat tidak diberi ruang untuk menentukan secara bebas sikapnya terhadap proyek Geothermal. Padahal FPIC merupakan sebuah syarat esensial dalam proyek berdampak besar seperti proyek Geothermal ini. Karena kelalaian tersebut, maka konsekuensinya adalah penghentian proyek Geothermal.
Hasil uji petik di Sokoria, Mataloko dan Nage, juga tidak secara jelas menggambarkan mitigasi resiko yang harus dilakukan oleh PLN dan Perusahaan Pengembangan Panas Bumi terhadap dampak-dampak dari aspek fisik, sosial, kultural, lingkungan, geologi dan aspek hukum.
Hasil uji petik justru menyimpulkan bahwa penolakan masyarakat terhadap proyek Geothermal dikarenakan kurangnya pengetahuan dan ketimpangan informasi yang diterima masyarakat. Karena itu, Tim Uji Petik merekomendasikan agar sosialisasi berkelanjutan sebagai upaya untuk pemenuhan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat.
“Dalam kenyataan, alasan penolakan masyarakat bukan kurangnya pengetahuan tentang proyek ini, tetapi lebih karena dampak yang sudah mereka (masyarakat) alami dan rasakan”, tegas Piperno.
Berdasarkan alasan-alasan itu, maka Tim Advokasi Geothermal Keuskupan Agung Ende menegaskan bahwa proyek Geothermal bukanlah pilihan yang tepat bagi seluruh wilayah Keuskupan Agung Ende (Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo). Alasannya, topografi wilayah Keuskupan Agung Ende yang berbukit-bukit hanya menyisakan sedikit lahan untuk pertanian dan pemukiman. Sebab mayoritas umat keuskupan Agung Ende adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada alam dan musim yang silih berganti; dan pertanian adalah salah satu unsur yang membentuk budaya masyarakat atau umat Keuskupan Agung Ende.
Usaha pertanian di wilayah Keuskupan Agung Ende pun sangat tergantung pada curah hujan sebab sumber air permukaan tanah tidaklah banyak.
Karena itu, pemanfaatan sumber daya air yang tidak tepat dapat berujung pada kerusakan dan kelangkaan air, serta berpotensi besar menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat atau umat Keuskupan Agung Ende.
Tim Advokasi Geothermal Keuskupan Agung Ende berharap suara masyarakat yang merupakan pemilik dan penghuni tanah ini, didengar dan diindahkan.
“Wilayah ini bukan wilayah tanpa tuan. Kami hendak menegaskan bahwa kami bukan anti pembangunan atau anti listrik. Kami tidak sedang melawan dan atau memusuhi Pemerintah, PLN dan Perusahaan Pengembang Panas Bumi”, kata RD Piperno.
“Kami menghargai setiap usaha baik pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan. Namun kami menolak setiap pembangunan yang tidak berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekologis”, tutupnya. (sp/rdk)































