Galeri Tenun Dekranasda Belu
Gedung Galeri Tenun Dekranasda Belu. Foto diambil Jumat 4 Oktober 2024.

sergap.id, ATAMBUA – Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Belu di bawah kepemimpinan Freny Indriani Yanuarika yang tak lain adalah istri Bupati Belu Agustinus Taolin diduga tidak mengelola dana hibah secara profesional. Akibatnya, pemanfaatan dana tersebut diduga tidak sesuai dengan peruntukannya, bahkan sarat dengan dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Informasi yang dihimpun SERGAP, menyebutkan, dana hibah tahun 2022 yang bersumber dari APBD II sebesar Rp 1,5 M itu termuat dalam Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Belu dan telah dicairkan pada tanggal 31 Maret 2022. Namun berdasarkan dokumen  Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Dekranasda yang dibuat oleh Bendahara Dekranasda Belu, Ana Sofia Tonak, ditemukan kekurangan pertanggung jawaban, diantaranya terdapat pembelanjaan tanpa nota atau tanpa kwitansi, serta diduga adanya belanja fiktif yang berpotensi merugikan daerah hingga ratusan juta rupiah.

Hal ini bisa ditelusuri dari SPJ Dekranasda melalui nama dan alamat penenun yang menjual kain tenun kepada Dekranasda, pembelanjaan dan perjalan dinas yang tidak dilengkapi bukti, serta kegiatan di luar daerah tanpa didukung oleh undangan panitia penyelenggara di luar daerah.

Apalagi fakta di lapangan menunjukan adanya perbedaan data, yakni sesuai SPJ Dekranasda TA 2022, produk yang dibeli Dekranasda pada TA 2022 adalah sebanyak 894  lembar yang terdiri dari kain 645 lembar dan selendang 249 lembar. Namun produk yang ada pada gedung Galeri Tenun Dekranasda hanya terdapat 273 lembar, terdiri dari 55 lembar selendang dan 223 lembar kain.

Tidak diketahui apakah produk tesebut merupakan peninggalan Dekranasda sebelumnya atau pembelian TA 2022, 2023 atau 2024. Sebab di tahun 2023 Dekranasda juga mendapat dana hibah sebesar Rp 1 M dan 1,5 M di tahun 2024.

Parahnya lagi pengurus Dekranasda Belu tidak membuat buku penjualan produk atau Berita Acara penjualan barang yang dititipkan di sejumlah tempat di Bogor, Kupang dan Labuan Bajo. Akibatnya sulit dibuktikan dimana keberadaan produk tersebut.

Bendahara Dekranasda Belu, Ana Sofia Tonak, yang dihubungi SERGAP via WhatsApp mengaku belum memiliki waktu untuk menjawab pertanyaan SERGAP.

“Maaf kaka, saya sementara lagi sibuk”, ujarnya, siangkat.

Sejumlah sumber di Pemkab Belu yang ditemui SERGAP secara terpisah di Atambua, ibukota Belu, mengatakan, bantuan dana hibah kepada Dekranasda itu sangat tidak bermanfaat bagi masyarakat. Sebab pelaksanaannya telah keluar dari tujuan hibah yang sebenarnya.

Tujuan hibah ini adalah untuk menunjang pencapaian sasaran, program, kegiatan, dan sub kegiatan Dekranasda yang memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi industri kerajinan, agar kerajinan dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Sukses atau tidak pengelolaan dana hibah itu, coba Pak cek langsung di lapangan. Apakah ekonomi penenun makin baik? Apakah di Dekranasda ada keuntungan dari jual beli kain adat itu? Atau sebaliknya?”, ujar salah satu Pejabat Pemkab yang mewanti-wanti agar namanya tidak dipublikasi.

Sayangnya pengurus Dekranasda Belu sulit ditemui. Galeri Dekranasda yang terletak di Haliwen pun tampak ditutup sejak Rabu hingga Sabtu (2-5/10/24).

Kasus dugaan korupsi dana hibah di Dekranasda ini pernah ditangani oleh penyidik Tipidkor Polres Belu. Namun saat status kasus ini masih dalam tahap Pengumpulan Bahan dan Keterangan (Pulbaket) atau penyelidikan, tiba-tiba Polda NTT mengambil alih.  Tak diketahui apa alasannya. Namun santer terdengar bahwa Polda NTT menilai penyidik Polres Belu tidak professional. Sementara isu lain beredar bahwa kasus ini penuh dengan intrik politik. Toh begitu sejumlah saksi, termasuk Ketua Dekranasda Belu Freny Indriani Yanuarika telah diperiksa polisi. Berkas perkaranya pun telah dilimpahkan ke Ditkrimsus Polda NTT.

Aktivis anti korupsi di Belu berharap kasus ini tidak di peti es kan.

“Karena dugaan korupsinya sangat kuat”, tegas Alex, aktivis Anti Korupsi Atambua.

BACA JUGA: Kasus 1,5 M Belu, Kapolda NTT: Dalam Lidik, Bukan Didiamkan!

  • Harga Kain Murah

Belasan penenun yang ditemui SERGAP secara terpisah di Kecamatan Tasifeto Timur (Tastim) dan Kecamatan Kakuluk Mesak, Belu, pada Rabu, Kamis, Jumat hingga Sabtu (2-5/9/24), mengaku, tidak pernah menjual kain tenun kepada Dekranasda sejak Dekranasda dipimpin oleh Freny Indriani Yanuarika.

Alasannya? “Kami punya kain biasa jual dengan harga Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu. Tapi ibu bupati (Freny Indriani Yanuarika) tawar rendah sampai Rp 250 ribu per lembar. Ini kita mau makan (untung) apa? Harga benang saja sudah mahal, belum lagi pewarnaannya. Makanya saya tidak mau (jual ke Dekranasda). Saya simpan saja (di rumah). Kalau ada orang butuh, harga cocok, baru saya jual”, ungkap ibu Lesta diamini penenun lain di Tastim.

Hal yang sama disampaikan ibu Selfi dan kawan-kawan di Kakuluk Mesak. “Sekarang ini tenun lokal lagi lesu. Tidak seperti periode yang lalu. Kalau dulu setiap bulan kain (milik) kami bisa laku empat lembar per bulan, tapi sekarang ini laku satu saja sulit”, ucapnya.

Selfi juga mengaku belum pernah mendapat bantuan maupun bimbingan teknis dari Dekranasda demi peningkatan mutu kain tenun Belu.

“Ai,,,,, tidak pernah memang! Kalau dulu sebelum ibu bupati ini, ya kami dapat. Itu mulai dari alat tenun, benang, ember untuk pewarnaan, sampai tali rafia, kami dapat!”, paparnya.

Sayangya hingga berita ini dipublikasi, Ketua Dekranasda Belu, Freny Indriani Yanuarika, belum berhasil ditemui atau dihubungi via telepon. (cs/cs)