
sergap.id, LAMAHORA – Hampir setiap hari masyarakat Kabupaten Lembata mengeluh tentang sulitnya mendapat bahan bakar minyak (BBM), baik bensin, solar atau lainnya. Padahal suplai BBM ke SPBU-SPBU yang ada di Lembata berjalan normal.
Informasi yang dihimpun SERGAP menyebutkan, kelangkaan BBM sering terjadi karena ada mafia BBM yang dilakukan oleh oknum-oknum pengusaha dengan SPBU di Lembata, SPBU di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dan SPBU di Maumere, Kabupaten Sikka.
Para pengusaha ini diduga kuat menggunakan BMM bersubsidi itu untuk kepentingan usahanya. Padahal di Lembata telah tersedia BBM non subsidi atau BBM industri. Setidaknya saat ini telah tersedia 650 ribu liter solar industri yang dipasok oleh PT Andika Pradana Jaya.
Sayangnya, kuota itu tidak dimanfaatkan oleh para pengusaha, karena menilai harganya terlalu mahal. Padahal harga solar industri itu ditetapkan oleh pemerintah pusat dan para pengusaha diwajibkan menggunakan solar industri.
Setiap bulan diperkirakan sebanyak 116 ribu liter BBM bersubsidi yang dipakai oleh pengusaha jasa konstrksi untuk menggerakan kendaraan proyek mereka. BBM ini diangkut menggunakan kapal kayu dari Maumere atau Larantuka dan ditimbun di gudang milik pengusaha. Sementara BBM dari SPBU yang ada di Lembata diangkut pada malam hari menggunakan kendaraan khusus menuju gudang pengusaha.
Penyalahgunaan BBM bersubsidi itu merupakan tindak pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam Pasal 53 sampai Pasal 58, pelaku diancam kurungan penjara selama 6 tahun dan denda Rp 60 miliar.
“Secara nasional, minyak non subsidi itu harganya belasan ribu per liter. Ini harga untuk Jawa Timur dan NTT. Tapi di Lembata ini, minyak non subsidi harganya Rp 9 ribu per liter. Minyak darimana datang itu? Kenapa tidak manfaatkan minyak non subsidi yang ada di Lembata (yang disediakan oleh PT Andika Pradana Jaya)?”, ujar Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Lembata, Anthasius Aur Amuntoda, saat bincang-bincang dengan SERGAP di kediamannya di Pada, Lembata, Jumat (12/11/21) siang.
Menurut Amuntoda, penertiban penggunaan BBM bersubsidi dan non subsidi ini hanya bisa dilakukan lewat operasi tim yang dibentuk oleh forum koordinasi pimpinan daerah (Forkompinda).
“Kalau tidak, tidak bisa”, tegasnya.
Amuntoda menjelaskan, penertiban ini akan berdampak kepada kontribusi minyak non subsidi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Karena pemerintah bisa menarik retribusi dari minyak non subsidi itu”, katanya.
Selain karena adanya mafia minyak, kelangkaan BBM juga disebabkan oleh SPBU yang tidak tertib melayani konsumen. SPBU diduga bekerjasama dengan oknum-oknum pengecar BBM yang belum memiliki ijin usaha. Caranya, SPBU melayani pembelian menggunakan jerigen, dan membiarkan pengecer mengisi BBM di SPBU secara berulang-ulang dengan kendaraan yang sama yang kemudian BBM tersebut dipindahkan ke jerigen. Pemindahan BBM ini dilakukan di tepi jalan di sekitar SPBU hingga stok BBM di SPBU habis.
“Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja memberi peluang kepada pengecer untuk menjual BBM. Karena itu, kita beri teguran kepada pemilik SPBU, agar hanya melayani pengecer yang telah memiliki ijin. Dan bagi pengecer, jangan karena telah kantongi ijin, lalu jual sesuka hati. Kita temukan ada yang jual Rp 20 ribu per botol. Tidak bisa itu. Kita cabut ijinnya”, ucap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Lembata, Iren Suciadi, kepada SERGAP, Sabtu (13/11/21) pagi.

-
Pol PP
BBM bersubsidi yang diduga diselundupkan dari Maumere dan Larantuka, biasanya diturunkan di Pelabuhan Laut Lewoleba, Lembata.
Minyak yang dimuat menggunakan kapal kayu dan diisi di drum-drum itu kemudian dipindahkan ke mobil tangki dan atau mobil pengangkut lain yang disediakan oleh pemilik BBM.
Bongkar muat BBM ini dibenarkan oleh Syukur, Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) kelas III Lewoleba.
“Kadang mereka bongkar disini (Pelabuhan Laut Lewoleba). Tapi kalau disini penuh, mereka biasa bongkar di pelabuhan Perla. Yang kita urus hanya soal ijin bongkar. Sedangkan soal barangnya kami tidak urus”, ujar Syukur saat ditemui SERGAP di kantornya, Jumat (12/11/21) sore.
Mafia BBM bersubsidi ini pernah diungkap oleh Kanis Making, Mantan Kasat Pol PP Kabupaten Lembata, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lembata.
Saat itu, Kanis menangkap oknum polisi yang menimbun BBM bersubsidi. Oknum tersebut sempat menjalani hukuman kurungan di Polda NTT, namun saat ini yang bersangkutan dikabarkan telah ditugaskan kembali di Lembata.
“Penertiban BBM ini mestinya dilakukan oleh Pol PP. Tapi Pol PP saat ini mati suri. Saya sempat bilang ke Pak Kasat, aiii bapak dorang ini kayak nyaman sekali e. Pol PP ini seperti mati tidak mati, hidup tidak hidup e. Pol PP ada 170 orang itu buat apa saja?”, ucap Kanis. (reds/reds)