sergap.id, KUPANG – Koordinator Umum TPDI, Petrus Selestinys, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk tidak menempatkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang berwatak preman dan sombong di wilayah Provinsi NTT.
Permintaan Selestinus tersebut terkait ulah Kajari Kabupaten Sikka, Fahmi, SH. MH yang disebut-sebut, telah melakukan tindakan persekusi, intimidasi, fitnah hingga ajak duel melawan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Petrus Herlemus, di Ruang Kerja Kajari Sikka pada Selasa (13/9/2021), yang penyebabnya belum dijelaskan oleh Fahmi secara jujur dan terbuka.
Menurut Selestinus, peristiwa intimidasi itu sangat mengagetkan publik Sikka, karena di luar tata krama, etika, dan adat Sikka, serta asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tepatnya dikategorikan sebagai perbuatan yang sangat “tercela” dalam pandangan moralitas seorang pejabat penegak hukum, apapun permasalahnnya dengan pihak lain.
Apalagi peristiwa ini sudah merendahkan martabat Kejaksaan dan mencoreng wajah Jaksa Agung yang semakin bopeng akibat arogansi oknum-oknum Jaksa di daerah, serta merendahkan wibawa ASN di Sikka.
Rendahnya moralitas di kalangan Pejabat dan Penegak Hukum di daerah, tidak hanya terjadi dalam membangun relasi sosial dengan masyarakat, tetapi juga dalam tugas pelayanan publik di bidang hukum dan keadilan terhadap masyarakat pencari keadilan, yang berujung dengan pemerasan, suap, gratifikasi, dan lain-lain, yang sudah menjadi rahasia umum.
Kasus Fahmi versus Petrus Herlemus, patut disebut sebagai celaka 13, karena tempusnya pada tanggal 13 September 2021, pukul 07.45 WIT.
“Entah mimpi buruk apa yang terjadi sehingga Fahmi pagi-pagi sudah kalap dan memerintahkan anak buahnya menelpon Petrus Herlemus, Kadis Kesehatan Sikka untuk datang segera menemui Fahmi di ruang kerjanya”, ungkap Selestinus.
Selestinus menjelaskan, kepada media, Petrus Herlemus, mengaku, ketika dirinya masuk ke ruangan Fahmi, sambil memberi salam hormat, seketika itu Fahmi langsung bersuara keras membentak, memaki dengan kata-kata kasar.
“Sangat tidak pantas. Norak. Hingga mengajak duel, namun Petrus Herlemus tetap tenang dan menghadaapi dengan akal sehat. Sikap Fahmi ini sangat disayangkan dan sangat tidak patut untuk dilakukan oleh Kajari. Jangan karena Kejari merupakan satu-satunya pelaksana penuntutan (dominus litis) di daerah hukumnya, lantas Kajari boleh bertindak sewenang-wenang, congkak dan tidak menghargai budaya kerja sesama”, ucapnya.
“Tongkat komando, logo, lambang di dada dan bintang kaleng warna kuning atau kuningan di pundak, tidak boleh dimaknai untuk memberi bobot seorang Kajari menjadi congkak, merasa diri lebih hebat dari yang lain dan berperilaku sebagai jagoan preman pasar (berwatak preman), melainkan dimaksudkan untuk mengabdi, mengayomi dan melayani rakyat”, tegasnya.
Kasus Fahmi versus Petrus Herlemus, lanjut Selstinus, harus menjadi peristiwa terakhir di Sikka, apalagi pemanggilan Petrus Herlemus, hanya melalui telepon seluler, jelas sebagai tindakan sewenang-wenang, di luar prosedure urusan pro justisia. Karena Petrus Herlemus bukan bawahannya Fahmi dan tidak sedang tersangkut perkara korupsi yang ditangani Kejari Sikka.
Karena itu pemanggilan terhadap Petrus Herlemus atau siapapun pejabat Sikka di luar urusan pro justisia, harus melalui mekanisme KUHAP dan UU Kejaksaan atau setidak-tidaknya menurut tata krama yang baik, atas izin Bupati Sikka, karena dilakukan pada jam kerja dan terhadap bawahan Bupati Sikka.
Oleh karena itu Jaksa Agung RI dan Kepala Kejaksaan Tinggi NTT harus perhatikan pola rekrutmen penempatan Kajari-Kajari di NTT agar terhindar dari kesalahan menempatkan Kajari yang berwatak preman pasar sebagaimana yang disebut-sebut dilakukan Fahmi terhadap Petrus.
Karena itu Kajari Sikka Fahmi harus dicopot, karena tindakannya itu dapat dikategorikan sebagai main hakim sendiri, berpotensi menjadi tindak pidana, terlebih-lebih melakukan aksi premanisme yang merendahkan martabat Kejaksaan RI, mencoreng wajah jaksa Agung dan Kejati NTT beserta seluruh insan ASN di Sikka. (sp/sp)