Pengurus Forum Pemuda Desa Tengatiba.

sergap.id, RENDU – Ketua Forum Pemuda Desa Tengatiba, Urbanus Dhalu, melaporkan Kepala Desa (Kades) Tengatiba ke polisi pada Rabu (4/3/20). Sang kades di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo itu diduga melakukan penyelewengan dana desa tahun anggaran 2018-2019.

Kepada SERGAP usa membuat laporan dan menyerahkan berkas dugaan korupsi ke Polres Nagekeo, Urbanus menjelaskan, dugaan korupsi tersebut terungkap dalam laporan hasil kerja pemerintah desa tentang penggunaan dana desa yang tidak sesuai dengan realisasi dana desa di lapangan.

Selain itu, Tim Pengelola Kegiatan (TPK) tahun anggaran 2018-2019 tidak melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.

Ada beberapa kegiatan pengadaan barang dan jasa pada bidang pemberdayaan masyarakat desa Tengatiba 2018-2019 dikerjakan sendiri oleh Kepala Desa, Sekertaris Desa, TPK dan beberapa aparat desa lain dengan tujuan untuk memperkaya diri.

“Hal ini didukung adanya fakta dan informasi serta kondisi di lapangan,” ujarnya.

Contohnya pengadaan anakan Cendana, dalam rancangan anggaran bidang pemberdayaan masyarakat sub bidang pertanian dan peternakan di jelaskan bahwa Desa Tengatiba melakukan pembelanjaan bibit anakan cendana sebanyak 4000 anakan dengan harga satuan Rp 15.000. Total dana yang di keluarkan sebesar RP.60.000.000.

Dalam evaluasi program kerja tingkat desa pada tanggal 31 Januari 2020, laporan pertanggungjawaban tidak sesuai dengan Rancangan Anggaran Biaya Bidang Pemberdayaan Masyarakat sebelumnya.

“Berdasarkan fakta yang kami temukan, pembelian anakan sebanyak 4000 dengan harga Rp 5000 dan total dana yang di keluarkan sebesar Rp 20 juta. Nah Rp 40 juta kemana? Biaya pendropingan anakan tersebut di tanggung oleh Yayasan Bugi Figu. Ini korupsi kan?,” tegas Urbanus.

Selestinus Pita, pengurus forum pemuda Tengatiba, menambahkan, pengadaan bibit jambu mente pun dikerjakan sendiri oleh Sekertaris Desa (Sekdes).

Perawatan bibit itu lokasinya di rumah Sekdes. Biaya tenaga kerja dan lain-lain pun ditangani langsung oleh Sekdes.

Anehnya, dalam RAB pembelanjaan program pemberdayaan sub bidang pertanian dan perternakan dijelaskan bahwa jumlah pengadaan bibit jambu mente sebanyak 7000 anakan dengan harga satuan Rp 10.000 dan total pagu Rp 70 juta.

Dalam pendistribusian bibit tidak semuanya diberikan kepada masyarakat. Ada 2415 anakan jambu justru dijual oleh Sekdes ke Desa Rendu Tutubhada dengan harga Rp 10.000 per anakan, dan total uang yang di terima Sekdes dari 2415 anakan itu sebesar Rp 24.150.000.

“Uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadinya. Itu uang dia punya nenek moyang punya atau uang negara? Kalau kerja aparat desa seperti ini, maka yang rugi adalah kami masyarakat,” ucap Pita.

Selain Pita, Simplisius Koto yang juga pengurus forum, mengaku, proyek pengerjaan rehabilitasi sarana air bersih pun terindikasi korupsi. Karena pengelolaan dananya tidak transparan.

Pada tahun 2018, Kades, Sekdes dan TPK membeli mesin penyedot air merk sanyo dan semen untuk memperbaiki bak air yang bocor dari total dana rehap sebesar Rp 107.471.000.

“Masa hanya beli mesin sedot dan semen bisa menghabiskan dana ratusan juta itu. Itu bak penampung ukurannya sebesar gedung kah? Mesin penyedot itu kapasitasnya besar kah? Ini penyalagunaan wewenang namanya,” tandas Koto.

Yosep Samu, pengurus forum lainnya, mempersoalkan pengadaan bibit babi. Sesuai speck bibit babi umurnya antara 3 dan 4 bulan. Pagu dananya tidak dipublikasikan. Namun  dalam RAB itu pengadaan 25 ekor anak babi dengan harga per ekor Rp 1.568.000 dan total biaya yang di keluarkan senilai, Rp 39.200.000.

Tapi pada saat pendistribusian anak babi ke penerima bantuan, ada anak babi yang baru berumur 1 bulan dan 2 bulan.

“Warga dikibulin,” ucap Samu.

Kristin Garo, salah seorang tokoh muda Desa Tengatiba, melalui WhatsApp kepada SERGAP, menjelaskan, dalam mengelolah dana desa, Kades mengeluarkan Keputusan Kepala Desa tentang Tim Pengelolaan Kegiatan (TPK) yang memiliki fungsi untuk melakukan pengadaan barang dan jasa, serta pelaksanaannya harus swakelola dan masyarakat wajib diikutsertakan.

Pengadaan barang dan jasa yang nominalnya Rp 0 – Rp 50 juta, TPK melakukan belanja langsung pada pihak ketiga dengan menyerahkan daftar kebutuhan dan pembuktiannya TPK harus memperoleh kwitansi pembelian.

Sedangkan Rp 50 juta – Rp 200 juta, TPK melakukan pengadaan melalui mekanisme negosiasi dengan pihak ketiga. Menyiapkan dokumen penawaran, mengundang pihak ketiga minimal 2 rekanan dan melakukan negosiasi untuk mendapatkan penawaran terendah.

Sedangkan dana Rp 200 juta ke atas, dilakukan melalui pelelangan, TPK mengundang minimal 2 suplayer untuk mengikuti pelelangan dan suplayer yang terendah ditetapkan menjadi pemenang. Pihak ke tiga/suplayer harus masyarakat desa setempat. Jika tidak ada maka dimusyawarahkan bersama BPD dan masyarakat untuk menyepakati dari luar desa.

“Kalau aparat desa kerja sesuai aturan, maka tidak akan ada masalah. Ini yang sangat saya sesalkan. Belum satu tahun menjabat, kerja sudah putar balik dan tipu masyarakat,” tohok Garo.

Kades Tengatiba, Servasius Ame, yang dihubungi SERGAP via handphone tak banyak berkomentar.

“Untuk saat ini saya belum bisa berkomentar. Karena kami lagi di audit oleh Inspektorat. Apabila hasil auditnya sudah ada baru saya bisa memberikan komentar,” ucapnya.

Marselinus Ajo Bupu

Ketua DPRD Nagekeo, Marselinus Ajo Bupu berharap adanya audit secara menyeluruh.

“Biar jelas duduk persoalannya. Jika hasil audit terbukti, maka segera di tindaklanjuti, karena ini menyangkut uang negara. Kalau tidak pingin masuk jeruji besi, ya kerja sesuai aturan yang ada,” ujarnya. (sg/sg)