sergap.id, KISAH – Jelang Pilgub NTT 2018, sejumlah figur mulai menebar pesona agar dipilih rakyat. Namun Peter Apollonius Rohi mengingatkan masyarakat agar memilih calon gubernur berjiwa patriot seperti mantan Gubernur NTT El Tari.
“Pilih Gubernur sekelas El Tari,” kata wartawan pertama yang menyusup ke Timor Portugis dan wartawan terakhir yang meninggalkan Timor Timur setelah jajak pendapat 1999 itu di laman facebooknya, Selasa (23/5/17).
Menurut Peter, Gubernur El Tari sangat luar biasa. Saat revolusi ia menyatu dengan teman-temannya membentuk Korps Marinir dan menjadi Komandan Div Armada IV di Tegal. Ia ditugaskan pemulangan tawanan perang dari Pulau Galang ke Singapura dengan Sekoite Maru.
Saat terjadi Clash I pertempuran di Purwakarta dia tertembak. Untung saja dia diselamatkan anggota sekampung, Hawu Dima, diobati dengan daun sirih untuk menghentikan darah lalu dititipkan pada penduduk.
Setelah bisa bergerak ia bergabung dalam Batalyon Paradja di Yogyakarta sebagai Komandan Kompi (Div Sebrang Diponegoro). Lagi-lagi dia tertembak di Pemalang Selatan.
Menjabat Gubernur NTT kedua, ia meletakkan dasar kerja keras dan tidak pilih kasih di antara begitu banyak suku di Provinsi NTT.
Tahun 1967 ia sebagai Piterpra Korem NTT mengunjungi Timor Portugis atas undangan. Inilah pertama kali ia jatuh cinta pada masyarakat Timor Portugis.
“Karena itu, tak heran ketika kunjungannya pada bulan Agustus 1972, sebagai Gubernur NTT, ia disambut luar biasa. Rakyat turun dari gunung, dari pedalaman yang jauh dengan kuda menyambutnya,” papar mantan staf message center di Pasukan Induk Korps Komando (Marinir) pada masa Tri Komando Rakyat [Trikora] itu.
Kata Peter, saat itu Ramos Horta dan teman-temannya yang masih muda sangat mengharapkan adanya perubahan. Mereka mengeluarkan Boletim Noticioso Do Centro Informcao E Turismo De Timor berukuran folio menyambut kedatangan El Tari dalam bahasa Portugis, sedang tentang Gubernur Alves Aldeia yang diletakkan di bawahnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Masing-masing bendera dan lambang negara disertakan di sisi buletin.
El Tari sepulang dari kunjungan itu berinisiatif membuat pertukaran kesenian dan olah raga, membuat pasar bersama di Motaain, desa perbatasan.
Sementara Amos Pah yang bertugas di perbatasan telah melakukan pendaftaran pemuda-pemuda yang sewaktu-waktu bisa dikerahkan satu dasawarsa lampau.
Inisiatif mendahului pusat ini menimbulkan kecemburuan Ka Bakin Ali Moertopo, apalagi dua tahun sesudah itu terjadi Revolusi Bunga di Portugis yang memberi kesempatan dekolonisasi.
El Tari bilang tidak perlu turunkan militer, serahkan pada dia untuk mengajak masyarakat Timor Portugis bergabung dengan pendekatan sejarah dan kultural. Toch dulu mereka juga bersatu sebelum kedatangan Portugis dan Belanda. Tahap penggabungan itu tentu berproses. Tapi Ali Moertopo bilang soal Timor Portugis baginya adalah soal: “Once lunch time Only”. Artinya hanya memerlukan satu kali makan siang dan wilayah itu jadilah milik RI.
Pusat kemudian mencurigai El Tari akan mendirikan Negara Timor Raya. Apalagi, diketahui sebagian masyarakat ingin bergabung dengan Timor, karena mereka belum mengenal Indonesia. Jakarta itu di sebelah mana Kupang?
El Tari sangat terpukul ketika rakyat Timor di bagian timur itu kemudian dibombardir dan sebagian rakyat tewas.
Timor Portugis kini lepas dari Indonesia menjadi Timor Leste. Tentu akan lain halnya apabila integrasi itu melalui pendekatan sejarah dan kultural, perlahan tapi pasti. Timor Raya dalam Indonesia. Mirip Jakarta Raya. (El)