Petrus Selestinus, koordinator TPDI

sergap.id, JAKARTA – Publik NTT tahu bahwa pada saat ini Komisi III DPR RI sedang melakukan kunjungan kerja ke NTT. Karena itu publik NTT dan diaspora NTT di Jakarta berharap Komisi III dapat memberi atensi atau perhatian khusus terhadap mandeknya penangan kasus kematian Anselmus Wora dan Markus Nula,  agar ditangani polisi secara profesional dan cepat sesuai dengan moto Polisi Promoter (Profesional, Moderen dan Terpercaya).

Demikian disampaikan Koordinator TPDI, Petrus Selestinus SH kepada SERGAP via WhatsApp, Jumat (7/2/20).

Kata Selestinus, kunjungan kerja Komisi III kali ini sangat diharapkan dapat memberikan pengawasan terhadap penanganan sejumlah kasus di NTT, termasuk kasus yang saat ini ramai diperbincangkan publik NTT, yaitu berlarut-larutnya penyidikan kasus kematian tidak wajar almarhum Anselmus Wora di Polres Ende dan kasus kematian misterius Markus Nula (83) di Polres Nagekeo.

Almarhum Anselmus Wora meninggal di Pulau Ende pada tanggal 30 September 2019 dan pada tanggal 27 November 2019 telah dilakukan penggalian kuburan jenazah untuk otopsi, namun hingga saat ini hasil otopsi belum dimumkan. Padahal proses hukumnya sudah berjalan empat bulan.

“Sejauh ini polisi belum menemukan pelakunya,” ujar Selestinus.

Karena itu, keluarga almarhum Anselmus Wora, masyarakat Ende, bahkan Garda NTT di Jakarta semakin cemas dengan kondisi belum adanya kepastian sebab-sebab kematian dan siapa sesungguhnya pelaku kekerasan yang menyebabkan Anselmus Wora meninggal dunia itu.

“Publik meyakini bahwa Anselmus Wora meninggal karena pembunuhan, sementara Penyidik belum bisa memastikan meskipun hasil otopsi sudah ditangan Penyidik. Penyidik masih bungkam,” ucap Selestinus.

Menurut dia, hasil otopsi menjadi hak publik untuk tahu.

“Publik khawatir jangan sampai hasil autopsi dimanipulasi, lantas mementahkan hasil penyidikan yang sudah berjalan 4 bulan. Publik mulai meragukan kinerja Penyidik, dan dikhawatirkan terjadi tarik menarik kepentingan politik, dimana Polisi terjebak dalam kepentingan politik, lalu otopsi yang sudah dilakukan hasilnya digunakan untuk mementahkan hasil penyidikan,” tandasnya.

Masyarakat Kota Ende dan Garda NTT di Jakarta, kata Selestinus,  mempertanyakan, apakah nyawa manusia NTT yang mati tidak wajar tidak mendapatkan harga yang layak dalam proaes penegakan hukum?

Apakah nyawa orang NTT masih mendapatkan harga atau tidak ketika terjadi kematian tidak wajar?

“Kalau dibandingkan dengan penanganan kematian tidak wajar di wilayah Kepolisian lain, Polisi cepat bergerak, dan dalam waktu singkat menemukan sebab-sebab kematian dan menangkap pelakunya. Mengapa Polisi tidak memberi harga yang layak bagi kematian tidak wajar untuk seseorang di NTT? Ini namanya diskriminasi,” tegas Selestinus. (sg/sg)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini