Drs.Yohanes Samping Aoh ketika masih menjabat sebagai Bupati Kabupaten Nagekeo periode 2008 - 2013.

sergapntt.com, KUPANG – Mantan Bupati Kabupaten Nagekeo, Drs.Yohanes Samping Aoh dan Sekda Nagekeo, Drs.Julius Lawotan bersama Direktur PT Prima Indo Megah, Firdaus Adi Kisworo, melaporkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bajawa ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dan Kejaksaan Tingi (Kejati) NTT.

Instansi yang kini dipimpin oleh Budi Raharjo itu dilaporkan terkait dugaan tindakan melawan hukum yang dilakukan Kejari Bajawa dalam menangani kasus pembangunan perumahan Graha Malasera (rumah tapak – rumah sederhana) bagi PNS di lingkup Pemkab Nagekeo tahun 2014.

Dalam surat tanggal 2 April 2017 yang ditujukan kepada Jaksa Agung RI perihal Permohonan Perlindungan Hukum, para pelapor mengatakan, Kejari Bajawa telah melakukan tindakan melawan hukum.

Selain ke Kejagung, perihal yang sama disampaikan juga ke Kejati NTT. Laporan berisi memorandum hukum sebanyak satu bundel tersebut diterima Kejati NTT pada Selasa (11/4/17) siang.

Dugaan tindakan melawan hukum yang dilakukan Kejari Bajawa antara lain:

  1. Kejari dengan sengaja mengabaikan Laporan Hasil Pemeriksaan BPKP NTT atas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah Nagekeo Tahun Anggaran 2014, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Kepatuhan Terhadap peraturan perundang-undangan Nomor : 38c/LHP/XIX.KUP/08/2015 tanggal 24 Agustus 2015. Temuan BPK masuk kategori “maladministrasi’’ yang masuk dalam lingkaran hukum administrasi negara. Ia tidak masuk dalam lingkaran hukum pidana (korupsi).
  2. Kejari telah melanggar konsitutis, karena kerugian negara yang dijadikan dasar untuk menetapkan tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP NTT. Padahal berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016; kewenangan konstitusional untuk menentukan kerugian Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
  3. Kejari tidak serta merta tunduk dan taat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017, dimana dalam putusan tersebut telah menghapus kata “Dapat’’ yang terkandung dalam rumusan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi. Putusan MK ini mengubah Kualifikasi Delik Korupsi : Transformasi Dari Delik Formil Menjadi Material.
  4. Bahwa Kejari Bajawa secara prematur telah menetapkan status Tersangka terhadap diri Yohanes, Julius dan Firdaus sebelum terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, antara lain belum ditemukanya unsur adanya niat jahat (mens rea), dan belum ditemukan adanya kerugiann Negara yang riil.
  5. Kejari telah salah meletakan sita, terhadap aset Pemkab Nagekeo, baik berupa uang (Kas Daerah) maupun tanah yang diatasnya dibangun Graha Malasera bagi PNS Nagekeo.
  6. Kejari tidak menjalankan putusan praperadilan untuk menghentikan proses kasus Malasera.
  7. Kejari berulang-ulang menerbitkan spirindik baru. Padahal kasusnya satu dan sama terhadap tersangka yang sama pula. Hal ini tidak lazim dalam praktek.
  8. Kejari menafsirkan secara salah terhadap ketentuan hukum tentang peBajawaan barang dan jasa pemerintahan antara lain tentang “lelang”. Padahal Kejari mengetahui betul bahwa pembangunan perumahan Graha Malasera merupakan kerja sama perdata antara Pemkab Nagekeo dengan PT PRIMA INDOH MEGAH, dalam bentuk INVESTASI, bukan anggaran yang berasal dari APBN atau APBD. Namun demikian Kejari bersikeras bahwa pembangunan Graha Malasera harus melalui tender atau lelang.

“Kajian lebih lanjut sehubung dengan poin-poin dugaan adanya tindakan melawan hukum oleh Kejari Bajawa, kami muat dalam “MEMORANDUM HUKUM” (terlampir), beserta dokumen-dokumen terkait lainya (terlampir), yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat ini,” tulis Yohanes, Julius dan Firdaus dalam surat ke Kejagung yang copyannya diterima sergap.id, Selasa (11/4/17).

Ketiganya menjelaskan, berdasarkan seluruh uraian terhadap tindakan melawan hukum oleh Kejari Bajawa sebagaimana yang dikemukan di atas dan kajian lebih lanjut dalam Memorandum Hukum, maka dapat disimpulkan bahwa Kejari Bajawa tidak hanya melanggar HAM para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Malasera, tetapi sekaligus menghambat proses pembangunan daerah. Sebab Nagekeo merupakan kabupaten baru yang masih jauh tertinggal dari kabupaten induk atau kabupaten lain disekitarnya yang sampai dengan sekarang masih membutuhkan daya unkit di bidang pembangunan.

“Oleh karena itu melalui surat ini, kami memohon perlindungan hukum Kejagung RI, kiranya berkenan memerintahkan Kejari Bajawa untuk menghentikan penyelidikan dan atau penyidikian terhadap dugaan adanya tindakan pidana korupsi yang disangkakan kepada kami beserta segala konsekuensinya,” kata Yohanes cs .

Dalam kasus Malasera, Kejari Bajawa menetapkan 6 tersangka dan menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprindik) Nomor: Print-01/P.3.18/Fd.1/01/2015 sampai Nomor: Print – 07/P.3.18/Pd.1/1/2015. Kemudian diperbaruhi dengan nomor Print – 1 sampai 05/P.3.18/Fd.1/02/2016 tanggal 02 Febuari 2016, kemudian diperbaruhi lagi dengan Sprindik Nomor: Sprint -36/P.3.18/Pd.1/12/2016 tanggal 06 Desember 2016, kemudian diperbaruhi dan ditambah dengan Sprint Penyidikan Nomor: Print -29 sampai dengan 33/P.3.18/Fd. 1/10/2016 tanggal 3 Oktober 2016, dan Sprindik Nomor: Print-06/P.3.18/Fd. 1/02/2017, tanggal 13 febuari 2017.

“Dengan ini kami mengajukan Permohonan Perlindungan Hukum Kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, sehubungan dengan dugaan adanya tindakan melawan hukum (formil dan materil) oleh Kejaksaan Negeri Bajawa dalam melakukan penyelidikan kasus MALASERA,” pinta Yohanes,cs. (CP)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini