sergap.id, KUPANG – Penanganan kasus dugaan korupsi proyek Awololong senilai Rp 6.892.900.000 terus merangkak maju.
Hal ini terlihat dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang dikeluarkan Polda NTT dengan Nomor: SP2HP/86/VIII/RES.3.3/2020/Ditreskrimsus tanggal 28 Agustus 2020 yang ditandatangani Plt Wadir Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTT, AKBP Lesmana, S.I.K.
Dalam SP2HP disebutkan penyidik telah melaksanakan pemeriksaan saksi-saksi sebanyak 31 orang di Lembata.
Penyidik Polda NTT berada di Lembata selama 2 Minggu mulai tanggal 11 Agustus 2020 sampai dengan 22 Agustus 2020.
Saksi-saksi yang diperiksa adalah 4 orang dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata, Tim Anggaran Penyusunan Daerah 2 orang, Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Lembata 7 orang, Aparat Kecamatan dan Desa 2 orang, Tua Adat suku Atauja 1 orang, pihak Swasta 5 orang, Pengawas Teknis Proyek 2 orang, Panitia Penerima Hasil Pekerjaan 3 orang, Konsultan Perencanaan 3 orang, dan Konsultan Pengawas 2 orang.
Penyidik Polda NTT juga menyita barang bukti dan telah meminta penetapan penyitaan dari Pengadilan Tipikor Kupang.
Selain itu, penyidik juga mendampingi Tim Auditor BPKP Perwakilan NTT dalam melaksanakan proses audit perhitungan kerugian Negara/daerah di Lembata.
Rencana tindak lanjut penyidikan seperti yang ditulis dalam SP2HP yakni melakukan pendampingan tim auditor BPKP Perwakilan Provinsi NTT untuk audit kerugian keuangan Negara/daerah di Kupang (Konsultan Perencanaan dan Konsultan Pengawasan Teknis).
Selanjutnya, akan melaksanakan pemeriksaan pabrikasi di Bandung dan Surabaya.
Dalam SP2HP disebutkan rujukan dalam melakukan proses pemeriksaan adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Laporan Polisi Nomor LP/A/213/V/RES.3.3/2020/SPKT tanggal 20 Mei 2020, Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin-Sidik/119/V/2020/Ditreskrimsus tanggal 20 Mei 2020, Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin-Sidik/119 a/VI/2020/Ditreskrimsus tanggal 8 Juni 2020, Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin-Sidik/119 b/VII/2020/Ditreskrimsus tanggal 8 Juli 2020”.
Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Ditreskrimsus Polda NTT ditujukan kepada Pimpinan LSM AMPPERA di Kupang.
Koordinator Umum AMPPERA, Emanuel Boli, mengatakan, pihaknya telah menerima SP2HP dari Ditreskrimsus Polda NTT.
“Benar kami dari AMPPERA sudah menerima SP2HP dan kami sedang mencermati isi SP2HP ini,” ujar Boli kepada SERGAP di Kupang, Sabtu (29/8/2020).
Boli mendesak penyidik segera menetapkan tersangka kasus Awololong. Sebab SP2HP merujuk pada KUHAP dan UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Setahu kami, dalam KUHAP kalau sudah 2 (dua) alat bukti harus tetapkan tersangka, kalau pada Peraturan Kapolri terbaru ada 2 (dua) alat bukti dan 1 (satu) barang bukti. Barang bukti sudah disita oleh penyidik. Sudah ada dua alat bukti, olehnya dinaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan. Dalam UU Tipikor Pasal 2 dan 3 kerugian negara bukan delik materil tapi delik formil,” ungkapnya.
“Artinya, perbuatan pelaku secara formil sudah melanggar undang-undang, yakni membayar pihak ketiga dalam hal ini kepada PT Bahana Krida Nusantara tanpa melihat progres fisik pekerjaan di lapangan. Uang dicairkan terlebih dahulu tahun 2018, tapi barang baru tiba di lokasi tahun 2019, KDP (konstruksi dalam pekerjaan) pun bukan di lokasi proyek, tapi ada ditempat lain dan masih banyak lagi. Itu tidak boleh dan melanggar undang-undang. Dasar itu penyidik sudah bisa tetapkan, tangkap dan tahan tersangka sesuai KUHAP, karena perbuatan mereka melanggar Undang-undang,” jelas Emanuel.
Lain hal, kata dia, jika delik materil seperti dalam UU Perbendaharaan Negara yang kerugian Negara harus rill dan nyata adanya. Artinya, harus ada akibat berupa kerugian Negara yang riil dan nyata terlebih dahulu.
Kasus ini rujukannya adalah UU Tipikor, bukan UU Perbendaharaan Negara. Kasus Awololong ini dijerat dengan UU Tipikor dilihat dari rujukan SP2HP, dan dari dasar itu penyidik sudah dapat menetapkan tersangka.
Dalam SP2HP tidak dicantumkan UU Perbendaharaan Negara sebagai rujukan, itu artinya kerugian Negara yang rill dan nyata tidak perlu ditunggu, cukup ada potensi kerugian Negara sudah dapat menetapkan tersangka sesuai UU Tipikor.
Boli mengapreasiasi kerja-kerja Penyidik Polda NTT, sekalipun agak lambat, tapi hasilnya sudah dapat diketahui. Dari SP2HP tersebut sudah dapat mengobati rasa luka dari keadilan publik terhadap proyek Awololong.
“Kami masih menunggu penetapan tersangka dari Penyidik Polda NTT. AMPPERA, Front Mata Mera, Sparta, Amatata, dan kawan-kawan tetap mengawal kasus ini sampai tuntas. Itu tanggungjawab moral kami pada daerah, bangsa dan Negara dalam pemberantasan Korupsi. Slogan kami baku bawah sampai menang,” tandasnya.
Hal senada disampaikan perwakilan Front Mata Mera, Abdul Gafur Sarabiti.
“Kami telah mengantongi SP2HP terbaru setelah penyidik Polda kembali dari Lembata. Poin-poin dalam SP2HP terbaru yang kami terima akan menjadi pegangan kami dalam mengawasi perkembangan kasus ini,” jelas Gafur.
Gafur menyebut, ada dua box barang bukti yang disita penyidik Tipidkor Polda NTT usai periksa para saksi di Mapolres Lembata.
Selain itu, kata dia, penyidik juga menunjukkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus Awololong.
Informasi yang dihimpun Amppera dan Front Mata Mera, menyebutkan, setelah penyidik menerima hasil audit besaran kerugian uang negara/ daerah dari BPKP NTT, Polda NTT akan menetapkan tersangka.
BACA JUGA: Mantan Plt Sekda Yakin Bupati Sunur Tahu Riwayat Kasus Awalolong Sejak Awal
Sementara itu, Koordinator lapangan Amppera, Alfons Making menegaskan bahwa apabila dalam tempo yang sesingkat-singkatnya Polda NTT belum menetapkan tersangka, Amppera dan Front Mata serta elemen organisasi antikorupsi bakal melakukan aksi demonstrasi dan menduduki Polda NTT. (sp/eb)