
sergap.id, MIREPUKA – Yang paling dinanti oleh warga Kampung Mirekpuka, Desa Lerek, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, saat ini, adalah listrik. Itu karena janji Presiden Jokowi bahwa Indonesia akan terang 100 persen di tahun 2020 hingga kini belum menjangkau warga Mirekpuka.
Untuk menerangi malam, 23 kepala keluarga (KK) yang terisolir di Selatan Pulau Lembata itu hanya mengandalkan lampu pelita yang terbuat dari kapas dibalut minyak kemiri pada sebatang lidi bambu yang oleh warga setempat disebut Padu.
Sil Ladjar, salah satu tokoh masyarakat Kampung Mirekpuka, mengatakan, tahun 2021 lalu, pihaknya telah mengajukan permohonan pemasangan listrik ke PLN melalui CV Lades Teknik, bahkan telah membayar uang panjar kepada CV Lades Teknik sebesar Rp 20 juta untuk biaya pemasangan listrik baru daya 900 VA untuk 10 rumah. Tapi sampai hari ini CV Lades Teknik belum melakukan pemasangan jaringan kabel dan instalasi kabel ke rumah warga.
“Itu uang panjar dari harga pemasangan baru sebesar Rp 4 juta per rumah. Kita sepakat bahwa sisanya (atau Rp 20 juta berikutnya) akan dibayar lunas setelah listrik menyala”, ujar Sil kepada SERGAP, Minggu (13/3/21) siang.
Menurut Sil, sebagai jaminan, pihaknya telah diberikan Sertifikat Laik Operasi atau SLO oleh CV Lades Teknik.
“SLO kami sudah terima, tapi instalasi kabel di rumah-rumah belum dipasang”, paparnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Mama Monika Djaga. “Iya kami hanya terima SLO saja, tapi sampai sekarang listrik belum menyala”, tegasnya.
Kepala Desa Lerek, Stanislaus Plea, berharap, PLN dan kontraktor jasa listrik segera memenuhi permintaan warga. Apalagi biaya pemasangannya telah dibayar panjar.
“Kita di Desa Lerek ini ada dua kampung yang belum terlayani listrik, yakni Kampung Mirekpuka di bagian timur Desa Lerek, dan Kampung Motong di bagian barat Desa Lerek. Di Kampung Motong itu ada 21 KK”, ucap Plea.
Dikutip dari situs pemerintah Indonesia.Go.Id, harga satuan SLO sebesar Rp 60 ribu dan biaya pemasangan baru listrik daya 900 VA sebesar Rp 836 ribu.
Harga satuan itu dibenarkan juga oleh Direktur CV Lades Teknik, Hendrikus Uak. Namun menurutnya, biaya itu belum termasuk biaya operasional, serta nomor induk dan Jaminan Instalasi Listrik atau JIL.
“Kita sudah ajukan perluasan jaringan (ke PLN). Bahkan saya sudah berusaha sampai ke Kantor Area (PLN Area Flores Bagian Timur) Maumere (Kabupaten Sikka). Tapi sampai sekarang belum ada material (tiang dan kabel jaringan). Mengenai uang panjar itu, itu untuk biaya SLO, JIL, NIDI (Nomor Identitas Instalasi Tenaga Listrik) dan biaya operasional. Tapi uang ini masih merupakan jaminan. Tapi karena kami sudah terbitkan SLO, maka pasti akan kami kerjakan. Ini hanya soal belum ada tiang dan kabel (di PLN). Kalau sudah ada, kami siap kerja sampai selesai. Waktu kerja yang dibutuhkan paling lama 3 hari saja, karena jarak jaringan tidak sampai 1 kilo meter”, beber Uang, Senin (14/3/22).
Uak menjelaskan, soal besar kecilnya biaya pemasangan listrik baru, sangat tergantung pada apakah si pemasang termasuk pemasang bersubsidi atau tidak.
“Yang bersubsidi lebih murah dari yang non subsidi”, tegasnya.
Jika ingin cepat, tambah Uak, ada satu cara, yakni warga Mirekpuka meminta bantuan tiang dan kabel dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata, yaitu tiang dan kabel bekas PLTD milik Pemkab Lembata yang kini tersimpan di belakang Kantor Bupati Lembata.
Keberadaan tiang dan kabel bekas PLTD tersebut dibenarkan oleh Kabag Umum Setda Kabupaten Lembata, Ignas Ile, S.Fil, M.Pd.
Kepada SERGAP, Senin (14/3/22), Ignas, mengatakan, tiang dan kabel tersebut bisa dipinjampakaikan kepada masyarakat melalui perjanjian pinjam pakai antara Pemkab Lembata dengan warga atau dengan Pemerintah Desa (Pemdes) Lerek.
“Tapi warga harus buat surat permintaan ke Bupati dengan tembusan kepada Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah, agar bisa segera diproses berita acara pinjam pakainya”, ucap Ignas, singkat.

-
Kesulitan Air Bersih
Pada bagian lain, Kepala Desa Lerek, Stanislaus Plea, mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, warganya kesulitan mendapatkan air bersih.
“Selama ini kami hanya mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak penampung”, ucapnya.
Menurut dia, kesulitan air bersih ini bukan karena di Desa Lerek tidak memiliki sumber mata air, tapi debit air pada mata air yang ada telah turun drastis.
“Turunnya debit air ini, kami duga akibat pergeseran bumi yang disebabkan oleh seringnya gempa bumi. Ya karena desa kami ini dikelilingi oleh beberapa gunung api aktif”, katanya.
Plea menambahkan, sebelum debit air menurun, pihaknya telah melakukan istalasi air ke semua rumah warga.
“Sebenarnya kita punya sumber mata air lain yang debitnya lebih besar. Tapi letaknya di belakang gunung dan posisinya lebih di bawah. Dulu kita pernah pakai mesin disel untuk dorong air, tapi mesin itu sudah rusak. Karena itu kami sangat butuh bantuan, baik dari pemerintah kabupaten, provinsi, pusat atau swasta yang peduli dengan keadaan kami”, pungkasnya.
Sementara itu, Sil Ladjar, mengatakan, kondisi yang sama juga dialami warga di Kampung Mirekpuka.
“Kami kalau ambil air, harus ke Lerek (jaraknya sekitar 2 kilometer). Itu pun hanya bisa dapat 1 sampai 2 jerigen 5 liter saja. Selebihnya kami pakai air hujan yang kami tamping di bak. Tapi kami lebih kesulitan dapat air bersih itu di musim panas. Air satu drum bisa mencapai harga Rp 35 ribu”, ucapnya. (ton/cis)