sergap.id, NANGMBOA – Dugaan KKN pada proyek Base Transceiver Station (BTS) ternyata tidak hanya terjadi di pusat yang kemudian menyeret Johnny G Plate menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyediaan BTS pada program Bakti Kominfo tahun 2020-2022 sebesar Rp 8 triliun. Di Kabupaten Ende pun terjadi hal yang sama, tepatnya di Desa Ondorea Barat, Kecamatan Nangapanda.
Warga di desa tersebut mengaku diwajibkan menyetor Rp 100 ribu per Kepala Keluarga (KK) untuk pembebasan lahan pembangunan tower BTS sekaligus biaya seremoni saat pengeresmian BTS.
Padahal Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, pernah mengatakan bahwa biaya satu tower BTS senilai Rp 600 juta hingga Rp 1,5 miliar itu untuk biaya keseluruhan pemasangan BTS, termasuk belanja perlengkapan tower seperti besi, tanah, pondasi tower, genset, baterai, dan infrastruktur lain. Artinya tidak ada biaya yang dibebankan kepada masyarakat.
Anehnya mantan Kepala Desa (Kades) Ondorea Barat, Rudolfus Ndate, semasa menjabat sebagai Kades mewajibkan masyarakat per kk menyetor Rp 100 untuk pembebasan lahan dan biaya syukuran saat pengresmian BTS.
Karena itu warga beranggapan bahwa apa yang dilakukan Ndate merupakan pungutan liar (pungli). Apalagi lahan yang dipakai untuk membangun BTS itu adalah tanah hibah yang diserahkan oleh salah satu mosalaki di Ondorea bernama Benediktus Seto.
“Setahu kami tanah yang digunakan untuk pembangunan tower BTS itu dihibahkan secara cuma- cuma oleh mosalaki. Tapi setelah tower selesai dibangun, dia (Ndate) meminta agar seluruh warga desa mengumpulkan uang untuk kompensasi ganti rugi lahan”, ujar salah satu tokoh masyarakat yang meminta namanya tidak dipublikasi di media ini.
Menurut warga, jika ada KK yang tidak menyetor Rp 100 ribu, maka Ndate langsung memotong uang BLT atau PKH yang menjadi hak warga miskin.
“Ini yang kami masyarakat jadi bingung. Banyak yang protes kebijakannya itu, tapi kami tidak bisa buat apa-apa saat itu. Karena dia (Ndate) menganggap kami semua ni orang bodoh”, ucap warga.
Warga lainnya menyebut, untuk memuluskan upaya punglinya, Ndate mewajibkan semua Ketua RT untuk menagih ke masyarakat. Jika ada Ketua RT yang melawan, maka yang bersangkutan langsung dipecat.
Pungli yang dilakukan Ndate dari lima RT disebut mencapai puluhan juta rupiah. Dana tersebut diterimanya dari para Ketua RT yang semua nama KK tertera di daftar penyetoran uang Rp 100 ribu.
“Jika ada yang belum setor, maka dia (Ndate) langsung memotong dari dana BLT atau PKH”.
-
Korupsi Dana Desa
Selain dugaan pungli untuk amankan proyek BTS, Ndate juga diduga tidak mengelola dana desa secara baik dan benar.
“Selama beliau menjabat sebagai kepala desa 2 periode, semua proyek dikerjakan oleh kroni-kroninya. Beberapa proyek dikerjakan tidak sesuai bestek. Kami ambil contoh proyek jalan rabat itu, belum sampe 1 tahun sudah rusak. Kalau ada warga yang tanya saat rapat, dengan entengnya dia jawab, itu pengaruh hujan dan tanah longsor, padahal memang karena mutunya sangat buruk”, ungkap warga.
“Dana desa dia (Ndate) kelola sendiri, terus bikin bodoh lagi kami masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggungjawab. Misalnya soal BTS, setahu kami untuk pembangunan BTS dananya sudah disiapkan oleh negara, termasuk untuk kompensasi lahan dan lain-lain”, kata warga.
-
Klarifikasi
Rudolfus Ndate yang dihubungi SERGAP via WhatsApp membantah kalau dirinya melakukan pungli.
“Sehubungan dengan pungutan, itu berdasarkan kesepakatan. Karena untuk membiayai lokasi tower dan kegiatan serimonial, serta acara peresmian, tidak dibiayai oleh siapa pun. Itu disiapkan sendiri oleh masyarakat. Maka saya beriniaiatif membuat pertemuan dengan masyarakat soal ini. Saya melakukan pungutan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kami sepakat untuk itu”, katanya.
-
APH Turun Tangan
Warga meminta Ndate untuk segera mengembalikan Rp 100 ribu kepada masyarakat yang telah menyetor, termasuk yang dipotong dari BLT dan PKH. Sebab yang menyetor uang tersebut kebanyakan dari KK miskin.
“Karena miskin makanya Pak Jokowi beri masyarakat BLT dan PKH. Tapi kenapa dipotong oleh kepala desa untuk urusan yang bukan menjadi urusan desa”.
Warga juga meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera melakukan penyelidikan terhadap penggunaan dana desa semasa desa dipimpin oleh Rudolfus Ndate.
“Polisi atau Jaksa tolong selidiki penggunaan dana desa di desa kami. Banyak yang tidak beres disini. Ayolah….”, pinta warga. (sg/sg)