sergap.id, ATAMBUA – Kepala Kejaksaan Negeri Atambua, Rivo Medelu, SH, mengaku, pihaknya tak bisa maksimal mengusut kasus dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di Kabupaten Belu dan Malaka.
Alasannya, pihaknya hanya memiliki sedikit dana operasional untuk mengusut atau menangani kasus dugaan KKN yang ada.
“Anggaran yang diberikan tahun 2018 terbatas. Saat ini kami mengalami kekurangan anggaran, bahkan ada beberapa kasus belum kami buat penyelidikan karena kami kekurangan anggaran,” ujar Rivo kepada SERGAP, Senin (3/12/18).
Selain itu, menurut Rivo, Kejaksaan Negeri (Kejari) Atambua juga mengalami kekurangan petugas Jaksa.
“Anggota kami terbatas. Sementara kami juga diminta untuk mengawal Pilpres dan Pileg 2019,” tegasnya.
Karena dua alasan itulah, kata Rivo, pihaknya belum maksimal melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus dugaan KKN yang telah terendus, misalnya kasus dugaan penyelewengan dana desa dan lain sebagainya.
Sedangkan dua kasus lain, yakni kasus proyek pembangunan satu unit rumah singgah senilai Rp 440 juta yang dikelola Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka tahun 2017 dan kasus pengadaan benih kacang hijau tahun anggaran 2017 senilai Rp 617 juta pada Dinas Pertanian Malaka masih menunggu arahan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT.
Walau begitu, menurut Rivo, pihak-pihak terkait dalam dua kasus ini sudah dimintai keterangan, diantaranya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Sementara kerugian negara dalam kasus ini sudah dikembalikan ke kas negara.
Meski demikian, lanjut Rivo, sesuai Pasal 4 UU Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.
Sementara itu, Herman Seran, warga Malaka yang diminta komentarnya terkait keluhan Kajari Atambua tersebut, mengatakan, jika ketiadaan dana, mestinya diusulkan agar dianggarkan.
“Sehingga tidak ada lagi alasan yang seperti itu. Hukum harus ditegakkan, bukan dengan alasasn ketiadaan anggaran lalu menghentikan kasus korupsi. Kalau tidak mampu sebaiknya serahkan kepada KPK. Kalau pernyataannya macam ini, kita orang Malaka akan desak agar kasus-kasus yang ada diserahkan ke KPK. Ketiadaan anggaran harusnya tak menjadi alasan penghentian kasus pidana, apalagi pidana korupsi,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Wilfridus Son Lau, SH, MH, pengacara muda asal Desa Lakekun, Kecamatan Kobalima, Malaka.
“Alasan yang dikemukan Kajari sangat tidak tepat dan tidak berdasar. Korupsi itu Extra Ordinary Crime dan Penanganannya pun harus dengan cara yang luar biasa, artinya penanganan kasus korupsi itu berbeda dengan kejahatan konvensional. Maka tidak pantas Kajari omong seperti itu,” ucapnya.
Menurut dia, kekurangan anggaran dan petugas bukan menjadi alasan untuk tidak menuntaskan kejahatan luar biasa (korupsi).
“Jangan lah sebagai penegak hukum beralasan seperti itu, kalau tidak mampu ya mundur saja dari Kajari. Kalau tidak mau mundur ya serahkan saja kasus-kasus korupsi itu kepada KPK. Alasan Kajari sangat tidak berdasar dan mengada-ada,” tohoknya.
Terkait pengembalian kerugian negara, Wilfridus menjelaskan, pengembalian kerugian negara negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Hemat saya, pengembalian kerugian negara itu memudahkan penegak hukum untuk mempidanakan pelakunya. Dia kembalikan uang negara berarti perbuatannya memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengembalian uang itu hanya untuk mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum. Jangan kita salah memahami bahwa pengembalian uang negara itu sudah pasti tidak dipidana,” paparnya.
“Proses hukumnya harus tetap berjalan karena tindak pidana telah terjadi (voltoid), maka kejaksaan tidak boleh beralasan untuk tidak menuntaskan korupsi yang saat ini ditangani. Malahan, kejaksaan sudah bisa melanjutkan ke tahap penyidikan. Kita berharap semoga Kejari Atambua secepatnya menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada di Malaka. Saya mengajak seluruh masyarakat Malaka agar mendukung dan mengawal penanganan tindak pidana korupsi yang saat ini ditangani Kejari Atambua agar tidak ada “neko-neko” antara terduga dan pihak penegak hukum. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya,” tegas Wilfridus. (sel/sel)