Sanksi Adat TTS
Salah satu bentuk sanksi adat dalam urusan pernikahan R dan Y.

sergap.id, KUPANG – Di seluruh pelosok nusantara tentu punya budaya sendiri-sendiri. Begitu juga di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terbagi dalam tiga wilayah adat, yakni Banam dengan Amanuban sebagai wilayah adatnya, Onam dengan Amanatun sebagai wilayah adatnya, serta Oenam dengan Molo sebagai wilayah adatnya. Khususnya dalam urusan adat pernikahan.

Nah, tahapan pernikahan di tiga wilayah yang berasal dari singkatan Ban On Oe ini sebenarnya sama. Hanya saja ada sedikit perbedaan teknis pelaksanaannya, dan tergantung apakah urusan itu adalah pernikahan normal atau pernikahan kurang normal.

Misalnya yang terjadi pada urusan pernikahan sepasang muda mudi asal Oenam dan Banam, sebut saja R dan Y yang dikategorikan kurang normal, karena Y lebih dahulu hamil sebelum prosesi adat dilaksanakan.

Dua sejoli ini telah menjalin kisah cinta mereka sejak dua tahun terakhir atau sejak Y masih duduk di kelas 2 SMA. Sementara R, sejak ibunya merantau ke Malaysia, berprofesi sebagai sopir mobil rental melayani rute Kupang-So’e.

Sesungguhnya keluarga Y tak terima dengan keadaan Y yang telah hamil sebelum menggapai cita-citanya. Namun cinta R dan Y telah mengalahkan keinginan kedua orang tua mereka serta menguburkan harapan keluarga besar mereka.

Karena itu, Minggu (30/5/21) kemarin, keluarga Y terpaksa bersedia untuk duduk bersama dengan keluarga R lantaran Y telah hamil 3 bulan, dan acara peminangan plus ‘baomong adat’ dilangsungkan di Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT, tempat kedua orang tua Y menetap.

Dalam acara ini, melalui juru bicara atau jubir, keluarga Y mengharuskan keluarga R membayar sanksi adat ‘hamil diluar nikah’ sebesar Rp 100 juta. Angka ini adalah estimasi yang ditentukan oleh keluarga Y, namun realisasinya tergantung pada kesepakatan dalam pembicaraan adat antara keluarga R dan keluarga Y yang diwakili oleh masing-masing jubir.

“Angkanya 100 juta, tapi realisasinya bisa 10 juta. Dan, itu sepadan dengan apa yang sudah terjadi dan apa yang sudah kita sepakati,” ujar MN, jubir keluarga Y, saat bincang-bincang dengan SERGAP di Kupang, Senin (31/5/21).

Sayangnya apa yang diinginkan oleh keluarga Y tidak mampu diwujudkan oleh keluarga R dalam acara peminangan itu.

“Tapi kita sudah bersepakat bahwa sebelum acara pernikahan, kita akan duduk bersama lagi, untuk menyelesaikan masalah adat yang belum terselesaikan,” kata MN.

Walau demikian, acara peminangan yang dihadiri oleh keluarga besar R dan Y serta para tetangga yang mengedepankan protokol kesehatan Cvid-19 itu berlangsung aman dan lancar.

Kisah ini pun memiliki pesan moral “ketika terjadi sebuah masalah, lebih baik segera memperbaikinya dengan mencari solusi bersama daripada saling menyalahkan.” (onme/onme)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini