Home OPINI Ketika Wakil Rakyat Terjebak dalam Fenomena Sesat Pikir

Ketika Wakil Rakyat Terjebak dalam Fenomena Sesat Pikir

Febrianus Suryanto
Febrianus Suryanto

Demonstrasi merupakan sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Demonstrasi biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok  atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok yang tidak setuju dengan pemerintah dan yang menentang kebijakan pemerintah (Wikipedia).

Sebagai  negara yang menganut paham demokrasi, demonstrasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Demonstrasi sering dilakukan sebagai instrumen untuk mengomunikasikan sesuatu atau menyampaikan aspirasi. Unjuk rasa atau demonstrasi di Indonesia telah diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 9 berbunyi: Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: unjuk rasa atau demontrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas.

Menyadari substansi demonstrasi tersebut, beberapa hari lalu (24/06/2020) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai, dan Aliansi Pemuda Reo Tolak Tambang melakukan demonstrasi di Reo, ibu kota Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT.  Demonstrasi yang dilakukan oleh ketiga elemen tersebut bertujuan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Manggarai Raya yang menolak keras rencana pembangunan pabrik semen di Luwuk dan pertambangan batu gamping di Lingko Lolok. Ketiga elemen tersebut merupakan perwakilan dari kelompok kontra tambang terutama masyarakat kecil yang terbungkam untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi kepada penguasa.

Demonstrasi itu merupakan salah satu cara yang dirasa cukup ampuh oleh ketiga elemen terhadap rencana pertambangan semen dan batu gamping yang hingga kini masih menjadi polemik serta memantik perdebatan di tengah masyarakat. Bahkan Frans Braman menyebut bahwa segala bentuk dokumen penting hampir pasti dikantongi dan telah dieksekusi. Salah satu pilihan untuk dibatalkannya kegiatan pertambangan adalah jika hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL (KPA) DLHD Manggarai Timur terhadap dokumen AMDAL yang diajukan investor menyatakan bahwa rencana usaha pabrik semen itu tidak layak lingkungan hidup.

Sampai di sini, penulis melihat bahwa demonstrasi yang telah dilakukan merupakan sebuah perjuangan  agar rencana pertambangan di Manggarai Timur segera dibatalkan oleh Pemerintah. Demonstrasi dilakukan bersamaan dengan kunjungan kerja Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat ke Reo. Media Voxntt.com (26/06/2020) menyebut bahwa demonstrasi itu bertujuan untuk menanyakan sekaligus mendesak Gubernur Viktor untuk membatalkan izin tambang batu gamping dan pabrik semen di Lingko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur.

Tak dapat dimungkiri bahwa aksi yang telah dilakukan mendapat reaksi yang berbeda dari beberapa kalangan masyarakat baik berupa dukungan, pujian, apresiasi maupun kecaman, rasa kecewa serta penilaian yang buruk. Praktisi hukum dan pegiat lingkungan hidup, Edi Hardum, misalnya,  memberikan pujian, apresiasi sekaligus dukungan terhadap ketiga elemen yang telah melakukan aksi demonstrasi tersebut. Menurutnya keberanian ketiga elemen tersebut melakukan demonstrasi merupakan murni panggilan nurani untuk menentang persekongkolan pemodal dan penguasa yang tidak visioner dan tidak memberdayakan masyarakat dalam membangun daerah. (Voxntt.com, 26/06/2020).

Namun, terlepas dari apresiasi dan dukungan tersebut, demonstrasi itu mendapat kecaman dari beberapa elemen. Salah satu kecaman yang berhasil dihimpun oleh media adalah sikap kekecewaan salah seorang anggota DPRD Kabupaten Matim, Salesius Medi. Kepada media Pos Kupang, ia mengutarakan rasa kekecewaannya terhadap aksi demonstrasi yang telah dilakukan. Menurut beliau aksi yang dilakukan merupakan aksi yang mubazir atau tidak berguna sama sekali (Pos Kupang, 25/06/2020). Beliau melanjutkan bahwa kehadiran Gubernur merupakan sebuah kewajiban untuk meninjau lokasi sekaligus mengkaji dampak pertambangan tersebut. Oleh karena itu, menurutnya, hal yang bagus dilakukan adalah dialog antara jubir dari ketiga elemen dengan Gubernur terkait mekanisme selanjutnya.

  • Kurang Paham Substansi dari Demonstrasi

Dalam tulisan ini, penulis memberikan perhatian penuh terhadap reaksi anggota DPR , Salesius Medi berupa kecaman terhadap aksi demonstrasi tersebut. Penulis ingin menelisik terkait kecaman yang disampaikan. Beliau merupakan seseorang yang telah dipercayakan rakyat Matim sebagai wakil mereka dalam menyelidiki setiap kebijakan pemerintah  mengenai kebijakan yang penting dan strategis dengan memperhatikan dampak luas pada kehidupan bermasyarakat, terutama mengenai rencana pertambangan tersebut.

Penulis merasa terusik ketika seorang wakil rakyat seperti Salesius Medi menyuguhkan argumentasi seperti itu kepada publik. Ketika menganalisisnya, ada beberapa hipotesis yang saya buat.

Pertama, penulis menilai bahwa argumentasi Salesius Medi merupakan representasi dirinya yang kurang memahami arti dan substansi dari demonstrasi. Demonstrasi merupakan salah satu wadah untuk menyampaikan aspirasi. Demonstrasi dirasa cukup ampuh bagi masyarakat bawah yang terbungkam untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi kepada penguasa.

Jangan berpikir bahwa aksi yang dilakukan adalah sebuah aksi tanpa landasan. Sebagai kaum intelek, mereka melakukan kajian terlebih dahulu; baik secara strategis ataupun responsif. Mereka melakukan aksi demonstrasi tidak lain adalah untuk kepentingan masyarakat. Ketika para pejabat bahkan wakil rakyat sekalipun tidak berpihak pada rakyat, maka sebagai bagian dari civil society mereka merasa terpanggil untuk menyampaikan aspirasi dan melawan kekuasaan penguasa yang salah kaprah.

Sampai pada titik ini, Salesius Medi mesti menyadari sungguh substansi dari demonstrasi itu sendiri. Para demonstran sejatinya memilih aksi demonstrasi sebagai opsi terakhir yang dianggap paling tepat dalam menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap pemerintah terkait kegiatan pertambangan yang dianggap merugikan rakyat itu sendiri. Apalagi persoalan ini terlampau panjang terutama di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19.  Pemerintah seharusnya fokus pada masalah krusial ini, bukannya menambah beban dan masalah baru di tengah masyarakat. Jadi, penulis kurang menyetujui jika seorang wakil rakyat menyatakan argumen seperti itu. Argumen tersebut telah menggiring penulis untuk sampai pada pemahaman bahwa Salesius Medi belum mengetahui secara pasti substansi demonstrasi.

Kedua, terkait anjurannya untuk melakukan dialog antara jubir dengan Gubernur NTT. Salesius menganjurkan agar adanya dialog, tetapi beliau sendiri kurang mengetahui secara jelas kejadiannya. Media Voxntt (Ibid) menyebut bahwa aksi saling dorong terjadi saat niat aktivis bertemu dengan Gubernur Viktor dihalangi oleh anggota Polres Manggarai Timur, Polres Manggarai dan Polisi Air. Lebih lanjut Voxntt menyebut bahwa aparat keamanan menghadang massa aksi yang hendak bertemu dengan Gubernur dengan cara kekerasan.

Dengan demikian penulis memahami bahwa para demonstran sebenarnya ingin melakukan dialog dengan Gubernur, tetapi para aparat keamanan menghadang niat baik mereka bahkan para aparat menghadang mereka dengan cara kekerasan. Para aparat juga terjerumus dalam dekadensi moral terkait tugas mereka untuk melindungi masyarakat. Penulis sangat menyayangkan tindakan represif dari pihak keamanan. Sebagai petugas keamanan, mereka mesti menjaga keamanan setiap kegiatan yang berlangsung di ruang publik, bukannya melalui kekerasan yang menodai etika dan keluhuran demokrasi, bahkan menodai seninya demokrasi.  Oleh karena itu, penulis kurang menyetujui argumen anjuran yang disampaikan oleh Salesius berhadapan dengan fakta yang terjadi di tempat kejadian.

  • Dari Ketidakpahaman menuju Sesat Pikir

Sampai di sini, penulis menduga bahwa DPR Salesius sedang terjebak dalam fenomena sesat pikir. Sesat pikir adalah penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Singkatnya, term sesat pikir dipergunakan untuk menggambarkan gagasan yang keliru dalam menalar atau keyakinan yang salah dalam berargumentasi (Sumaryono, 1999: 9).

Argumen yang disampaikan oleh Salesius seperti “demonstrasi yang sama sekali tidak berguna dan pentingnya dialog antara jubir dengan Gubernur”, hemat menulis merupakan dua argumen yang keliru karena kesalahan dalam penalaran yang disebabkan oleh kecerobohan dan kekurangperhatian DPR Salesius terhadap substansi dari demonstrasi  itu sendiri.

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ketiga elemen tersebut hemat penulis merupakan  salah satu bentuk refleksi dari proses demokrasi yang menghendaki adanya partisipasi masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan sehingga aksi tersebut dilakukan untuk mempertontonkan suatu kebebasan berekspresi dan menyampaikan gagasan. Selain itu, demonstrasi tersebut merupakan ekspresi dari sebuah kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi yang disertai niat menegakkan keadilan membela kebenaran.

Menurut hemat penulis, ketiga elemen tersebut merupakan kaum intelektual yang telah menunjukkan sikap kritis dengan cara-cara yang intelek, elegan, dan bijaksana. Mereka memegang teguh prinsip etis sesuai norma, analitis dalam memahami akar permasalahan serta diikuti dengan pernyataan solutif sebagai masukan dan saran atas persoalan tersebut.  Hanya saja, prinsip-prinsip etis tersebut dibungkam oleh tindakan represif aparat keamanan sehingga terjadinya aksi saling mendorong yang berakibat pada kericuhan. Seandainya, aparat kemanan memberi kesempatan kepada mereka maka penulis menyakini bahwa sebagai kaum intelektual pasti mereka akan membangun dialog dengan Gubernur karena mereka sungguh memahami dengan baik cara berdemonstrasi yan demokratis.

  • Wakil Rakyat Seharusnya Bersikap Provisional

Gejolak demonstrasi yang dilakukan oleh ketiga elemen tersebut hemat penulis  bukanlah sesuatu yang salah karena memang itu adalah sebuah konsekuensi sistem demokrasi, yaitu setiap orang dijamin oleh konstitusi untuk bebas berpendapat dan mengkritik sesuatu. Dari uraian tersebut dapat diperoleh sebuah gagasan bahwa pada dasarnya demonstrasi merupakan salah satu bentuk refleksi dari sistem demokrasi. Karena itu, sebagai warga negara, kita harus berani menyampaikan pendapat yang benar dan tidak takut mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, bahkan kepada pemimipin negara sekalipun.

Berlandas pada substansi demontrasi tersebut, penulis mengajak para wakil rakyat untuk tidak semena-mena menilai aksi demonstrasi sebagai aksi yang mubazir. Sebagai wakil rakyat, pertama-tama mereka harus menghargai apa yang diperjuangkan rakyat. Oleh karena itu penulis menawarkan sebuah tawaran solutif yaitu bersikap provisional atau tentatif. Artinya, wakil rakyat mesti bersikap tentatif (sementara) atau berpikiran terbuka terhadap setiap pergerakan masyarakat. Dalam konteks ini, wakil rakyat tidak sepatutnya berargumentasi serta menilai aksi demonstrasi sebagai aksi yang tidak berguna. Orang harus memahami terlebih dahulu substansi dari sebuah pergerakan, baru menyampaikan argumentasi. Sikap provosional seharusnya bisa diterapkan oleh wakil rakyat, karena sikap tersebut  merupakan ciri khas yang selalu melekat dalam dalam darah daging dari demokrasi itu sendiri.

Selain itu, wakil rakyat harus memahami bahwa demonstrasi adalah tugas mulia dari mahasiswa itu sendiri, karena mahasiswa adalah agent of change (agen perubahan) dalam bangsa ini. Maka dari itu, sebaiknya wakil rakyat harus bersikap provisional terhadap para mahasiswa yang melakukan unjuk rasa serta tidak boleh tenggelam dalam kecerobohan yang dapat mencederai demokrasi yang ada di negara kita.

Pada akhirnya, penulis mengharapkan agar argumen yang disampaikan Salesius  DPR Matim tidak menggiring masyarakat kepada sebuah pemahaman yang diasosiasikan pada kepentingan tertentu melainkan hanya terjebak dalam kesesatan berpikir. Oleh karena itu, perlu meluruskan kembali cara berpikir demikian, karena masyarakat telah menaruh harapan besar pada pundak DPR sebagai wakil rakyat yang bersama-sama rakyat memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Dalam konteks demonstrasi yang telah dilakukan penulis sampai pada sebuah pemahaman dan menduga bahwa DPR, Salesius hanya terjebak dalam fenomena sesat berpikir. Dengan demikian dia perlu merubah cara berpikir demikian dengan cara berpikir provisional, sehingga apapun yang dilakukam masyarakat tidak langsung dihakimi sebagai sesuatu yang berguna atau tidak. Perlu adanya pertimbangan yang matang, termasuk memahami dengan baik substansi dari sesuatu sehingga bisa membantu dalam mengambil sebuah kesimpulan. (Febrianus Suryanto)

Tidak Ada Komentar

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version