
sergap.id, BETUN – Enam tahun lalu, sebelum menjadi dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Penyangga Perbatasan (RSPP) Betun, Malaka, dr Lailatul Fitriyah SpPD bekerja sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Sumba Barat Daya.
Kemudian ia mendapat kesempatan mengikuti program pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi. Lantas, bagaimana kisahnya hingga akhirnya ia bisa sampai di RSPP Betun?
“Jadi, saya ambil pendidikan spesialis penyakit dalam dan setelah lulus pendidikan, saya dapat ditempatkan di NTT (Nusa Tenggara Timur) kembali,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Diutarakan dr Ela, sapaan akrabnya, meski banyak tawaran bertugas di kabupaten-kabupaten NTT lain, ia memutuskan untuk bergabung di RSPP Betun, Malaka. Sebab menurutnya, Malaka merupakan kebupaten pemekaran yang berkembang cukup pesat dengan bupati yang sangat memperhatikan tingkat kesehatan masyarakatnya.
Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, dr Ela dituntut untuk mahir dalam pemeriksaan fisik pasien walau ditunjang dengan fasilitas seadanya.
“Disini dilengkapi fasilitas USG (Ultrasonografi), EKG (Elektrokardiografi), radiologi standar dan kita harus mengintepretasikan sendiri hasil pemeriksaan penunjang tersebut. Namun, di sini belum tersedia unit transfusi darah dan perawatan ICU (Intensive Care Unit),” tutur dr Ela.

“Untuk obat-obatan cukup lengkap, namun belum ada obat injeksi kegawatan jantung serta ARV (Anti Retro Viral) untuk pasien HIV (Human Immunodeficiency Virus). Untuk ke depannya, Insya Allah akan dilengkapi fasilitas serta obat-obatan tersebut,” tambahnya lagi.
Sama halnya seperti teman-teman seprofesi yang lain yang ditempatkan di daerah. Selain rasa sepi dan jauh dari keluarga, bahasa juga menjadi kendala, karena setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda juga. Untungnya ada perawat yang mendampingi dan membantunya menerjemahkan.
Meski demikian, selain sibuk menjalankan tugasnya sebagai dokter, khususnya di daerah Betun ia tetap bisa menjumpai makanan khas Jawa dan juga Padang. Selain itu, fasilitas tempat ibadah dan kegiatan sosial seperti pengajian juga tersedia.
“Dibandingkan daerah-daerah penempatan saya sebelumnya, saya rasa Malaka yang paling nyaman, masyarakatnya beragam tapi toleransinya juga tinggi, aman, tidak ada perang-perang suku,” kata wanita berhijab ini.
Mengenai pasien, diakui dr Ela, yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk dan sesak, tak terkecuali TB (Tuberkulosis). Ia berharap masyarakat dapat mengerti lebih banyak tentang gejala awal dari TB, pencegahan dan pengobatan, sehingga mata rantai TB dapat diputus. Di samping itu, pasien HIV-AIDS juga mulai bermunculan, maka harus diperhatikan juga.
Pasien yang datang amat beragam, namun banyak juga pasien yang tidak mampu. Tetapi di Kabupaten Malaka, pasien bisa menggunakan kartu tanda penduduk elektronik untuk mendapatkan pelayanan serta pengobatan gratis yang ditanggung oleh pemerintah daerah.
“Saya sebagai dokter, tidak ada yang lebih membahagiakan ketika pasien tersenyum, sembuh, pulang dengan kondisi sehat dan tanpa memikirkan biaya pengobatan,” pungkas dr Ela. (Suherni Sulaeman)