
sergap.id, ENDE – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ende, untuk menggali potensi pajak daerah.
Koordinasi yang dilakukan secara tatap muka pada Rabu, 7 April 2021 ini merupakan rangkaian kegiatan koordinasi supervisi (korsup) pencegahan wilayah V di NTT.
“Bahasa kami ke pemda kalau bicara soal optimalisasi pajak, kita tidak bicara hanya pajak daerah saja, tetapi termasuk juga pajak pusat. Misalnya pajak PBB-P3, walau termasuk pajak pusat, 90% akan dikembalikan ke Pemda dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH). Jadi harus dibantu. Kalau perlu pemda bikin tim optimalisasi pajak, ajak BPKP dan KPP misalnya. Kita mendata siapa wajib pajak, kewajiban pembayaran dan tunggakan pajak daerahnya berapa. Tapi yang paling penting memang kolaborasi ya, terutama data, untuk peningkatan penerimaan pajak.” ujar Ketua Satuan Tugas Korsup Pencegahan wilayah V KPK Dian Patria.
Sedangkan untuk pajak daerah, sambung Dian, penting diberlakukan_tax clearance_, di mana PTSP tidak memberikan pelayanan apabila wajib pajak belum menyelesaikan kewajiban pajak daerahnya. KPK lebih lanjut menanyakan kepada Kepala KPP Pratama Ende Nurdin Edwin terkait PBB-P3.
“Terkait PBB-P3 yang besar di Ende dari PLTP Sokoria. Walau belum operasional, tapi PBB-P3 nya sudah dibayarkan. Saya ingin sekali pihak yang netral seperti KPK bantu bangun kesadaran pemda bahwa dana operasional pemda adalah dari pajak, dapat dana bagi hasil pajak seperti DBH/TKDD, kemudian jelas kewajiban pemda atas pengeluaran belanja mereka ada pajaknya,” jelas Edwin.
Misalkan, sambungnya, penerimaan pajak KPP Ende di 2020 sebesar Rp. 127 Milyar, atau 4% dari penerimaan Pajak KanwilDJPB Bali Nusra, tetapi Ende menerima transfer dana/TKDD dari pusat sebesar Rp. 1,4 Trilyun.
Menurutnya, yang utama diperlukan untuk peningkatan penerimaan pajak adalah pembenahan data. Pertama, data Samsat terkait pemilik kendaraan mewah. Kedua, data IMB dari Pemda untuk bangunan. Ketiga, data dari badan karantina provinsi/kementerian terkait transaksi hasil bumi. Data transaksi hasil bumi misalnya hasil penjualan ekspor dapat juga bersumber bisa dari Pelindo, Pelni dan Syahbandar.
“Kalau data itu dikasih, potensi peningkatannya bisa luar biasa,” jelas Edwin.
Bendahara Desa, tambah Edwin, juga memiliki potensi menyumbang pajak. Di Ende, katanya, ada total 252 Desa. Masing-masing desa menerima Dana Desa Rp 1 Miliar dengan total anggaran Rp 252 Miliar. Sementara saat ini pajak yang diterima baru Rp 4 Miliar. Masih sangat jauh dari collection ratio yang seharusnya.
“Jadi ada setoran pajak dana desa paling tinggi Rp 12 juta, tapi ada juga yang bayar Rp100 ribu selama setahun. Padahal collection ratio perpajakan untuk dana desa itu wajarnya 3-5 persen. Hati-hati ini. Nanti bisa jadi temuan kalau tidak dibayarkan,” tegas Edwin.
Dari pengalamannya, Edwin menyarankan potongan pajak dana desa dilakukan di awal. Jika ada kelebihan dapat dikembalikan, sebaliknya, jika terdapat kekurangan dapat dilakukan penyetoran di akhir tahun.
Setuju dengan usulan ini, KPK menyarankan untuk memastikan pelunasan pajak dari dana desa, KPPN selaku bendahara negara dapat melakukan pemotongan pajak dana desa di depan. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak di pemda, pemda dapat memberlakukan kewajiban bagi pelaku usaha untuk membuat NPWP Cabang.
“KPPN dapat menjadi jangkar untuk menunda pencairan dana atau semacam KPPN Clearance bagi pelaku usaha yang tidak membuat NPWP Cabang. Tentunya implementasi KPPN Clearance ini dapat diperluas untuk hal-hal strategis lainnya. Terkait hal ini perlu dikoordinasikan lebih lanjut antara DJP, Dirjen Perbendaharaan dan Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan,” tutup Dian. (hms/kpk)