Gambar Depati Amir (Dok. humas.babelprov.go.id)

sergap.id, KISAH – Depati Amir, sang pahlawan nasional dari Bangka memang berkolaborasi dengan orang Tionghoa untuk melawan penjajah Belanda. Namun justru akhir perjuangannya disebabkan oleh pengkhianatan kaumnya sendiri.

Dikutip dari situs Kemendikbud, Kamis (8/11/2018), Pemerintah Hindia Belanda memberikan gelar Depati kepada Amir pada tahun 1830. Namun Amir menolak jabatan tersebut yang kemudian membuat Belanda khawatir.

Amir diminta oleh Pemerintah Hindia Belanda menggantikan ayahnya, Depati Bahrain.

Selain putra dari Depati Bahrain, sosok Amir juga disegani Belanda karena sepak terjangnya menumpas perompak di perairan Bangka bersama dengan 30 pengikutnya.

Meski jabatan itu ditolak oleh Amir, namun rakyat Bangka kala itu tetap memanggilnya Depati. Hingga kini tokoh pejuang itu dikenal dengan nama Depati Amir.

Dalam perjuangannya, Amir dibantu oleh orang-orang China. Para pekerja tambang ini memasok senjata untuk Amir seperti tombak, klewang, dan sebagainya.

Perjuangan Amir memperlihatkan semangat perjuangan yang tak memandang perbedaan. Dia tetap bisa bekerja sama dengan orang dari etnis lain untuk mencapai tujuan bersama, yakni mengusir penjajah.

Depati Bahrain selaku ayah Depati Amir sudah mengawali pemberontakan. Ada pula pejuang lain bernama Batin Tikal yang bersama menghantam Belanda.

Pertempuran sudah dimulai pada tahun 1818 di sekitar Bangka Kota dan berakhir dengan perdamaian ada 1829.

Batin Tikal meneruskan perjuangan Depati Bahrain, hingga Depati Amir yang melanjutkan perjuangan, melibatkan pula para penambang Cina. Kenapa penambang Cina mau ikut berjuang?

“Para penambang Cina juga merasa dirugikan sebagai akibat korupsi para staf kolonial Belanda dalam pemberian fasilitas makanan dan kebutuhan pokok mereka”.

Perjuangan menghantam penjajah dilakukan sampai ke aktivitas gerilya. Pasukan tambahan Belanda dari Batavia didatangkan untuk menumpas pemberontakan Depati Amir dkk.

Pada 17 Januari 1851, lewat sepucuk surat laporan, diketahui kondisi Depati Amir dan rekan-rekannya sudah semakin lemah. Mereka kekurangan makanan di tengah aktivitas gerilya yang keras. Mereka bersembunyi di hutan Mendu Barat.

Belanda menggelar sayembara, siapa yang bisa menyerahkan Depati Amir ke pihak Belanda maka akan diberi hadiah, dan empat orang antek Belanda berhasil melakukannya.

Depati Amir akhirnya harus mengakhiri gerilyanya dengan tanda menyerahkan keris, cincin emas, dan duit 6 Gulden Spanyol ke empat orang antek Belanda itu. Akhirnya Belanda berhasil menangkap Depati Amir pada tahun 1851.

Depati Amir kemudian diikat dengan tali dan digelandang ke tempat Residen setempat. Dan benar saja, Belanda menepati janjinya yakni memberi hadiah untuk orang yang berhasil menyerahkan Depati Amir. Hadiahnya 1.000 gulden.

Duit 1000 gulden itu dibagi-bagi untuk banyak orang yang punya andil dalam membawa Depati Amir ke pihak Belanda. Angar dan Sawal masing-masing dapat 100 gulden, Haji Mohammad Seman dapat 100 gulden, Batin (penghulu adat) Awal dari Bukit mendapat 100 gulden, Batin dari Mundu Barat dapat 100 gulden, pasukan Mohamad dapat 100 gulden, Batin dari Mundu Timur dapat 25 gulden, dan 36 pasukan dapat 375 gulden.

Depati Amir tak dibunuh Belanda, karena ada kekhawatiran itu bisa memicu kemarahan seluruh orang Bangka. Belanda kemudian mengasingkan Amir dan adiknya, Hamzah, ke Pulau Timor.

Meski diasingkan, Depati Amir tak berhenti berjuang mengusir Belanda. Dia bahkan menjadi penasehat raja-raja di Timor dan menyebarkan agama Islam di sana.

Depati Amir wafat pada tahun 1869 dan dimakamkan di Kupang, NTT.

Depati Amir yang lahir di Pulau Bangka tahun 1805 dan dianugerahi gelar pahlawan oleh Presiden Jokowi pada 8 November 2018.

Ada pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian gelar pahlawan nasional untuk Depati Amir.

“Masa perlawanan Depati Amir berlangsung cukup lama yakni 1830-1851, dan berhasil menyertakan gabungan warga lokal dan komunitas ‘asing-pendatang’ (penambang Tionghoa). Walau taktik perang gerilya tidak cukup menimbulkan perlawanan yang masif, menyeluruh, dan berakibat kepada masalah logistik yang melemahkan barisan Depati Amir, tetapi kualitas perlawanan Depati Amir dan efek yang ditimbulkannya menyebabkan konflik internal dalam birokrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Konflik antara pihak militer dan birokrasi sipil juga turut membantu keberlangsungan perlawanan Depati Amir cukup lama, lebih dari 20 tahun,” demikian kata Kementerian Sosial dalam keterangan pers tertulisnya. (dtk/dtk)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini