sergap.id, NDAO – Kualitas pendidikan di Indonesia masih terlihat adanya ketimpangan antara yang ada di Indonesia bagian barat dan timur.
Mei lalu, kami (Mahasiswa Universitas Padjadjaran) melaksanakan penelitian kualitas pendidikan jenjang sekolah dasar di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, sebuah kabupaten yang terletak di pulau paling selatan negeri ini yang masih sangat jauh dari kata maju.
Tidak sedikit daerah yang belum dialiri listrik. Tidak sedikit pula jalanan rusak dan belum diaspal. Sebuah keadaan yang jauh berbeda dengan di Jakarta, bukan?
Lalu, bagaimana dengan kondisi sekolah di sana? Menyedihkan! Banyak sekali keterbatasan yang dihadapi oleh murid sekolah dasar di Rote Ndao. Karena tempat tinggal yang jauh dari sekolah dan kurangnya transportasi umum, mereka rela menempuh jarak ke sekolah dengan berjalan kaki yang rata-rata sejauh 10 km setiap harinya.
Fasilitas ruangan kelas pun juga masih jauh dari kata layak. Meja dan kursi yang sudah lapuk serta atap yang rentan bocor menjadi pemandangan mereka sehari-hari. dari sekolah yang kita observasi hanya dua sekolah yang mempunyai fasilitas perpustakaan yang baik. Bahan bacaan mereka sangat kurang, tidak heran kami masih menemui banyak anak kelas 3 bahkan kelas 5 yang kesulitan dalam membaca. Selain itu, guru yang jarang masuk juga menjadi hal yang biasa di Rote Ndao. Hal yang wajar melihat anak-anak yang sudah datang dari pagi hari dan ketika tiba di sekolah mereka hanya duduk dan bermain sampai menunggu bel waktu pulang sekolah berbunyi.
Meskipun dihadapkan dengan hambatan yang begitu besar, murid-murid sekolah dasar di Rote Ndao memiliki motivasi yang tinggi untuk bersekolah. Mereka mempunyai mimpi, sama seperti kita. Mereka ingin menjadi guru, tentara, pendeta, presiden, dokter, pilot, polisi dan profesi-profesi mulia lainnya.
Namun, untuk mewujudkan mimpi anak-anak tersebut, diperlukan campur tangan pemerintah daerah dan pusat untuk memastikan bahwa mereka dapat belajar dengan baik. Sangat tidak adil apabila pemerintah menuntut output pendidikan di Indonesia bagian timur sama dengan di pulau Jawa, karena jelas input yang digunakan jauh berbeda.
Ujian nasional dan sistem pendidikan nasional tidaklah dipandang adil. Sekolah-sekolah di perkotaan yang lengkap akan kemajuan teknologi dan transfer informasi yang mudah, dana mencukupi, SDM yang memadai tentu dapat dengan mudah mencapai standar yang telah ditetapkan.
Kondisi ini berbeda dengan daerah-daerah tertinggal seperti Rote Ndao. Banyak sekolah yang tidak memiliki gedung layak, dana terhambat, fasilitas penunjang pendidikan seperti buku yang tidak tersedia, SDM yang seadanya serta ketiadaan informasi dan teknologi menghambat segala proses pembelajaran namun mereka tetap dituntut untuk mencapai standar nasional yang telah ditetapkan.
Kami melihat bahwa permasalahan terbesar dari pelaksanaan pendidikan di Rote adalah kebingungan guru-guru dalam penerapan kurikulum yang baru serta rendahnya ketersediaan fasilitas pendukung dalam proses belajar mengajar di daerah tersebut. Perubahan kurikulum itu baik jika seluruh guru mengerti dan paham bagaimana cara menyampaikannya. Namun, masih banyak guru yang belum berhasil mengimplementasikan kurikulum dengan baik dan benar.
Sudah seharusnya, pelatihan kurikulum baru bagi guru harus digencarkan dan dilaksanakan secara berkala dan kontinuitas. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan peningkatan fasilitas sekolah juga dapat membantu anak untuk meningkatkan motivasinya dalam menuntut ilmu dan menggapai cita-cita. Ruangan kelas dengan meja dan kursi yang nyaman, fasilitas perpustakaan dengan bacaan buku yang beragam, serta fasilitas penunjang pembelajaran lainnya dapat menjadi salah satu cara untuk menimbulkan semangat belajar bagi para murid.
Rote Ndao juga memiliki corak perbedaan pendapat tentang pendidikan antara masyarakatnya. Perbedaan ini terlihat pada selisih persepsi antara orang tua dan para tenaga pendidik baik itu guru maupun pihak sekolah.
Berdasarkan pengalaman penulis selama perjalanan dan penelitian di Rote Nado, terdapat kesalah-pahaman tentang pendidikan. Guru sebagai pendidik dan jembatan untuk membuka cakrawala siswa di sekolah memiliki persepsi bahwa pendidikan dipandang sebelah mata oleh para orang tua, bahkan pendidikan hanya tanggung jawab pihak sekolah.
Pendapat ini diperkuat dengan argumen yang menyatakan bahwa orang tua di rumah tidak memantau anak mereka belajar, dibuktikan dengan adanya siswa-siswi yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
Alasan lain yang menguatkan persepsi guru tersebut adalah adanya keterlibatan anak-anak dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan membantu orang tua di sawah sehingga mereka kehilangan jam belajarnya.
Anggapan ini dinilai karena kondisi ekonomi masyarakat Rote yang masih relatif kurang memadai untuk mencukupi kehidupan. Tidak hanya itu, adanya persepsi guru tentang pelepasan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak yang diberikan sepenuhnya pada pihak sekolah.
Kondisi ini dibuktikan dengan beberapa kejadian dan masalah yang menimpa anak-anak dibebankan pada pihak sekolah meskipun masalah tersebut terjadi di luar lingkungan sekolah dan bukan jam proses belajar mengajar.
Hasil dari observasi kami diperoleh bahwa sebenarnya persepsi guru tentang pendidikan anak bagi orang tua tidak semuanya benar. Orang tua bukannya tidak peduli dengan pendidikan anaknya, tetapi mereka sangat berharap anaknya bisa berhasil dan berprestasi. Namun, mereka tidak paham bagaimana cara untuk memotivasi anak, mengetahui potensi anak, dan mendidik serta mengasuh anak dengan baik agar mereka berprestasi.
Temuan lain yang kami dapatkan terkait nilai dan kehadiran siswa dari beberapa sekolah dasar. Nilai akhir semester yang diperoleh siswa memiliki angka yang relatif kecil dan bahkan tidak sedikit yang dibawah standar kriteria minimum. Begitu pula, tingkat kehadiran masih terdapat siswa yang sering tidak hadir dengan alasan sakit, izin, bahkan tanpa keterangan.
Salah satu hasil penelitian yang kami dapatkan dari analisis ekonometrika menunjukkan bahwa jenis pekerjaan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan pada nilai yang diperoleh siswa. Anak petani akan lebih rendah capaian nilai akhirnya dibandingkan anak PNS dan wiraswasta.
Inilah yang menjadi PR untuk kita semua bahwa orang tua berperan penting dalam pencapaian prestasi anak. Tidak masalah apa pekerjaan orang tua sebenarnya, tetapi sudah seharusnya memotivasi anak untuk belajar, meamantau perkembangan potensi anak, dan mngevaluasi cara mendidik dan pola asuh yang sudah diterapkan di rumah. (Farah Muthia Syifa, Putri Riswani Halim, Fauziah Agustina Sa’ban)