sergap.id, ENDE – Selasa (22/8/23) kemarin, Nina (39) membuat laporan polisi di Polres Ende. Kepada SERGAP, istri polisi tersebut menceritakan duduk perkara rumah tangganya hingga berujung ke kantor polisi.
“Saya sudah berulang kali mendatangi Polres Ende, tapi baru kali ini laporan saya diterima. Puji Tuhan”, ujarnya.
Menurut Nina, kasus yang dilaporkan adalah penelantaran dan kekerasan terhadap dua anaknya, yakni Bayu yang kini telah berusia 13 tahun dan Natasyia 7 tahun.
Sementara pelaku penelantaran dan kekerasan itu adalah suaminya sendiri, yakni GHR (38), seorang anggota polisi yang bertugas di Polres Ende dan kini telah pindah tugas ke Polda NTT.
Nina menjelaskan, kasus pertama terjadi pada Senin 28 Oktober 2019. Saat itu GHR memukul Bayu hingga hidung berdarah. Itu terjadi saat GHR menjemput Bayu pulang sekolah (saat itu Bayu kelas 4 SD).
“Bayu dipukul di dalam mobil. Bayu sempat teriak menangis. Tapi teriakannya tidak bisa didengar dari luar, karena mobil dalam keadaan tertutup rapat dan kaca gelap”, ungkapnya.
Setelah sampai di rumah, lanjut Nina, secara sembunyi-sembunyi Bayu menyampaikan apa yang dialaminya kepada saya. Saya kemudian bertanya kepada pelaku, tapi dengan enteng pelaku menjawab bahwa itu karena korban terlambat naik ke dalam mobil.
Mendengar itu, saya benar-benar tidak tahan lagi, karena tiga hari sebelumnya pelaku meninju kepala Bayu hingga benjol dan menampar pipi Bayu dengan keras. Alasannya karena Bayu belum bisa menghafal perkalian dan pembagian (pelajaran Matematika).
Karena sudah terjadi berkali-kali dan makin sering terjadi, saya kemudian membawa Bayu ke rumah sakit. Selain berobat, saya meminta pihak rumah sakit agar luka hidung yang dialami Bayu divisum. Tapi pihak rumah sakit menolak dengan alasan belum mendapat surat keterangan dari polisi.
Karena butuh surat tersebut, saya dan Bayu pun menuju ke Polres Ende, tapi setibanya di sana, kami berdua hanya diarahkan ke ruang Provos dan diceramahi oleh Kasat Provost.
Akhirnya kekerasan yang dialami Bayu tidak dibuatkan laporan polisi atau LP dan kami tidak mendapatkan surat keterangan agar Bayu bisa divisum.
Setelah itu saya dan Bayu pulang ke rumah dengan rasa kecewa, sekaligus rasa takut, kerena sudah berani melapor pelaku yang saat itu masih tinggal satu rumah dengan kami.
Tidak hanya Bayu, Natasya, anak kedua saya juga mendapat kekerasan fisik dari ayahnya. Itu terjadi pada Sabtu 18 Juli 2020.
Saat itu pelaku membakar tangan Natasya dengan api rokok di tangan kanan hingga meyebabkan luka bakar.
Kasus ini terjadi saat pelaku membawa korban jalan-jalan antara pukul 18:30 – 21:20 wita.
Awalnya saya tidak tahu kalau Natasya kembali dengan luka di tangan. Tetapi ketika saya ingin menanyakan Natasya, bagaimana jalan-jalan tadi, tanpa diduga Nataysa menunjukan bagian tangannya yang ditutup handiplast.
Saya kemudian membuka dan melihat, ternyata ada luka bakar berbentuk lingkaran. Saya lantas bertanya kepada Natasya, siapa yang melakukan ini? Dia mengatakan ’Bapa yang buat dengan rokok’! Saya kembali bertanya bagaimana bisa begini? Memangnya tadi Natasya nakal? Natasya jawab, ‘tidak mama. Selama pergi tadi, Natasya hanya ditinggalkan di dalam mobil, tidak diajak turun, Bapa turun sendiri, lama sekali! Lalu saat pulang, di dalam mobil, tangan Natasya dibakar dengan rokok’.
Lalu saya bertanya lagi, apakah selama ini ketika bapak ajak Natasya dengan kakak Bayu jalan-jalan itu ternyata bukan jalan-jalan? Tapi kalian dibiarkan di dalam mobil? Natasya jawab; ‘’iya mama’’.
Dan, untuk memastikan hal ini, saya panggil dan tanya Bayu. Apa saja yang kamu lakukan ketika bapak ajak jalan-jalan? Jawaban Bayu sama dengan Natasya, kadang-kadang saja mereka di suruh turun dari mobil, tapi lebih banyak mereka berdua di tinggalkan di dalam mobil dengan mobil dalam keadaan pintu terkunci.
Lalu saya tanya kemana saja kalian jika di ajak turun dari mobil, apakah ke tempat bermain atau makan-makan ? Bayu jawab, ”tidak mama’’. Bapa ajak pergi ke kos- kosan temannya, lalu hanya main-main disitu. Kadang pergi ke pantai yang sepi sekali dari orang-orang, lalu kami tidak belikan apa-apa, cuma duduk–duduk saja, terus pulang.
Saya kemudian bertanya lagi ke Natasya, dan jawabannya mengangguk. Saya kemudian menasehati Bayu dan Natasya agar lain kali jangan lagi ikut atau mau diajak jalan-jalan sama bapak untuk menghindari hal-hal berbahaya yang bisa saja terjadi kepada mereka.
Setelah itu, dengan melawan rasa takut, saya bertanya kepada pelaku perihal luka yang terjadi pada Natasya. Pelaku jawab, “ehh itu tidak sengaja, tidak usah dibesar-besarkan, cuma luka kecil saja, besok sudah kering. Itu dia yang nakal”.
Karena Natasya mendengar jawaban bapaknya itu, Natasya langsung bantah, “tidak mama, bapak yang bakar dengan rokok di dalam mobil”.
Karena tak kuasa melihat penderitaan anak, malam itu sekitar pukul 22:30 Wita, saya ke kantor polisi. Maksud saya ingin meminta surat visum atas luka bakar dan melaporkan kejadian ini, tapi lagi-lagi saya disuruh pulang. Kata mereka, mereka akan menasehati pelaku. Akhirnya kami bertiga kembali ke rumah dengan perasaan was-was dan rasa takut.
Kasus ketiga terjadi pada Jumat 18 September 2020. Pelaku membuat keributan pada saat kegiatan usaha sedang berjalan dan toko kami sedang ramai pengunjung.
Hari itu sekitar pukul 12.30 wita, saya sedang melayani pelanggan yang datang berbelanja ATK dan foto copy. Saat itu pelaku pulang ke rumah dan tiba-tiba mengeluarkan kata-kata menghina sebanyak dua kali, ‘’woe pelacur‘’. Tapi saya berusaha tidak menaggapi, tapi pelaku ulangi lagi sambil berlalu lalang dibalik rak barang yang menyekat ruang tengah rumah kami dan ruang toko.
Saat itu dua karyawan saya yang mendengar hinaan pelaku melihat ke arah saya dengan wajah ketakutan. Saya lantas tenangkan mereka, supaya tetap bekerja seperti biasa. Tapi karena melihat kami tidak terpancing dan terus sibuk bekerja, pelaku dengan suara yang lebih keras menyebut ‘woe lonte’. Dia lantas menghina pekerjaan saya dengan sinis ‘woe tukang foto copy, uang dari mana kau bisa bayar utang (bank) selama ini?’ Tidak sama (seperti) kami (polisi) ini hidup dibayar Negara’.
Hinaan itu didengar juga oleh pengunjung yang sedang ramai di toko. Mereka mendengar ucapan seorang polisi berseragam lengkap dengan bahasa yang tidak pantas kepada saya. Sebagian pengunjung toko ada yang keluar dari toko, ada juga yang bertahan hanya karena mereka yang masih menunggu hasil foto copy berkas mereka.
Saat itu ada dua orang pengunjung yang bertahan dan melihat pelaku menendang rak pembatas rumah dan toko hingga membuat barang-barang di rak tersebut berjatuhan.
Karena itu, dua karyawan saya menjadi takut dan memilih keluar dan berdiri di teras. Sementara saya tetap di dalam toko sambil meminta maaf kepada ke dua pelanggan itu.
Salah satu pelanggan lantas menyarankan saya untuk mencari perlindungan atau melapor ke polisi. Saya pun berpikir demikian, sehingga saya sempat meminta nomor handphone kedua pelanggan tersebut untuk sewaktu-waktu bisa dimintai keterangannya, dan mereka pun tidak keberatan.
Karena kondisi ini, saya akhirnya terpaksa menutup toko dan menuju kantor polisi untuk membuat Laporan Polisi. Tapi lagi-lagi laporan saya tidak diterima. Saya hanya diarahkan ke ruang provos dan pelaku dipanggil. Saat ditanya, pelaku mengarang cerita, mengalihkan masalah ke hal-hal lain. Saya kemudian dianggap tukang lapor, ‘sedikit-sedikit lapor’, karena sudah sering mendatangi kantor polisi. Kasat provost menceramahi saya bahwa masalah di rumah tangga jangan dibawa ke kantor polisi. Tapi saya tetap meminta agar pelaku di beri sanksi, karena sudah sering membuat kehidupan saya dan anak-anak saya tidak nyaman dengan berbagai macam teror.
Melihat saya berusaha meminta perlindungan, ada seorang anggota polisi yang saat itu bertugas piket meminta saya untuk minta dibuatkannya surat pernyataan bermaterai, agar pelaku tidak lagi melakukan tindakan kekerasan terhadap kami bertiga. Akhirnya surat itu pun dibuat dan ditanda tangani oleh pelaku dan dua polisi yang bertugas piket saat itu sebagai saksi.
Setelah itu saya pulang sambil berharap pelaku tidak lagi berulah. Tapi ternyata surat pernyataan itu sama sekali tidak membuat pelaku jera, dia justru semakin menjadi-jadi. Pelaku makin sering mebuat keributan, dan meminta agar saya agar menceraikannya. Karena saya tidak menggubris permintaannya, saya dikejar dengan sebilah parang. Saat itu sekitar jam 3 subuh. Saya berhasil kabur selamatkan diri tanpa alas kaki ke rumah warga. Saat itu saya ingin membuat laporan polisi, tapi saya berpikir kembali, karena setiap kali saya melapor tidak pernah diterima.
Hari itu, saat hari semakin siang, kira-kira pukul 05:00 pagi, saya pulang ke rumah. Betapa kagetnya saya ketika sampai di pintu masuk rumah, terdapat borgol yang mengunci rumah. Ini membuat saya tidak bisa masuk ke rumah. Saya kemudian berpikir bagaimana Bayu yang harus segera ke sekolah hari ini?
Saya kemudian pergi ke rumah seorang teman yang suaminya adalah sekuriti yang juga punya kunci borgol. Saya menceritakan masalah saya dan meminjam kunci borgolnya. Syukurnya kunci borgol itu cocok dan bisa membuka borgol di rumah. Saya kemudian masuk ke rumah. Pelaku yang sedang berada di dalam rumah kaget karena melihat saya sanggup masuk ke dalam rumah. Saya lantas mengancam akan melaporkan pelaku jika pelaku masih mengulangi perbuatannya. Tapi dia tidak perduli. Bahkan sambil berjalan keluar rumah menuju Polres Ende, pelaku mengumpat saya, ‘pelacur, lonte, tukang foto copy rendahan’.
Kunci borgol itu hingga sekarang masih saya simpan sebagai barang bukti kejahatan pelaku.
-
Kekerasan Berulang
Setelah itu, kekerasan terhadap Bayu kembali terjadi pada Jumat, 26 Februari 2021. Saat itu sekitar pukul 04.00 dini hari. Pelaku memukul Bayu hingga babak belur dan terdapat luka pada sekitar wajah.
Masalahnya sepele, yakni saat tidur kaki Bayu menyentuh kepala pelaku. Itu kata pelaku.
Ya sejak pelaku sering menghina saya, saya memilih tidur di kamar sebelah. Sementara pelaku tidur satu kamar dengan Bayu.
Saya menjauhkan diri dari pelaku karena berkali-kali saya tanya ke pelaku, kenapa selalu menghina saya dengan kata kata yang merendahkan martabat saya? Sambil tertawa, pelaku menjawab, ‘itu hanya sekedar omong-omong saja, supaya kau takut’.
Pertanyaan yang sama pernah saya tanyakan kepada pelaku saat saya melaporkan pelaku atas keributan di toko dan menghina saya di depan karyawan dan pelanggan toko, jawabannya tidak jelas. Karena pelaku tidak bisa menunjukan bukti apa pun atas penghinaan tersebut.
Kembali ke soal Bayu dipukul. Saat kejadian itu, saya sedang tidur, namun karena pelaku sudah sering buat keributan pada kami di jam segitu, saya pun sering terjaga pada jam yang sama. Saya mendengar suara pelaku dengan nada tinggi membentak seseorang, karena penasaran saya bangun melangkah dan di saat yang sama saya mendengar suara Natasya melapor, ‘mama,,,,, kaka Bayu bapa pukul ‘. Saya kemudian mengetuk dan mendorong pintu kamar, lalu berusaha melerai pelaku yang sedang memukul kepala Bayu dengan tinju dan membenturkan kepala Bayu ke arah tembok yang kemudian mengenai tiang besi tempat tidur. Bayu terjatuh ke arah tiang itu, dan berusaha bangkit membalas pukul balik bapaknya dengan botol aqua kosong ke arah wajah bapaknya, tapi dengan mudah ditangkis oleh bapaknya.
Karena reaksi Bayu itu, pelaku makin kalap. Pelaku langsung membalas dengan kembali menampar pipi Bayu dan meninju perut Bayu dengan keras sebanyak dua kali hingga membuat Bayu tersungkur di tempat tidur.
Saya kemudian berusaha mengangkat Bayu, tapi belum sempat Bayu bangun, dia dipukul lagi oleh pelaku di punggung, sambil pelaku mengeluarkan kata-kata makian, ‘dasar lase, anak kurang ajar, berani-beraninya lawan orag tua, ini hasil dari didikan pelacur bodoh, kau ikut itu, kau sudah kena hasut dari pelacur bodoh supaya berani lawan saya’.
Saya tidak ambil pusing dengan umpatan itu. Saya segera amankan Bayu ke kamar sebelah, dan sekitar pukul 05:30 wita, kami tiba di Mapolres Ende dan di sambut oleh empat petugas piket. Mereka menyuruh saya dan anak-anak duduk, kemudian mereka mengajukan beberapa pertanyaan dan melihat luka-luka Bayu. Setelah itu mereka meminta kami menunggu Kasat Provost untuk memanggil pelaku.
Sekitar pukul 08:10 Wita, Kasat Provost datang dan mengeluarkan kata-kata menyakitkan, ‘ibu lagiiii..ibu lagiiii. Mau datang lapor apa lagi ibu? Tidak bosankah dengar saya ceramah terus panjang lebar, kalau kalian mau cerai pergi cerai saja, bukan disini tempatnya. Kami tidak mau dengar cerita yang mengada ada, ini anak sepertinya sudah ibu ajar’.
Kami akhirnya pulang dengan seribuh gundah gulana dibaluti rasa takut.
-
Cerai
Saya sudah mendengar dari Bayu dan Natasya bahwa bapaknya sering video call (vc) dengan permpuan lain saat sedang di rumah atau saat mereka diajak jelan-jalan oleh bapaknya.
Pelaku juga sering pulang subuh, gajinya sudah lama tidak penah diserahkan kepada saya walau sekedar untuk mengurangi beban biaya hidup rumah tangga atau membayar utang bank yang setiap bulannya saya harus cicil Rp 7,5 juta untuk pembayaran sisa pelunasan tanah yang sekarang kami tempati.
Selain hinaan dan makian, pelaku juga pernah melempar saya dengan botol bir. Dan, melihat efek hukuman yang di berikan Polres Ende kepada Pelaku tidak berdampak pada keamanan hidup kami, saya akhirnya memutuskan mengajukan perceraian ke Pengadilan Negeri Ende. Saya daftar gugatan pada tanggal 22 Juli 2021.
Selama sidang berlangsung, pelaku masih bebas keluar masuk rumah dan mengambil barang-barang, seperti karpet, jenset dan salon secara diam-diam. Saya baru mengetahui barang tersebut sudah tidak ada ketika saya akan menggunakan barang tersebut.
Pelaku juga masih terus menghina Bayu dengan kata tak mendidik, ‘dasar Bodoh’, dan kepada saya ‘woe tukang foto copy miskin’. Hinaan itu tanpa sebab, dan dilontarkan saat kami sedang fokus melayani pelanggan toko kami. Kami benar-benar tidak nyaman.
Melalui saudara saya di Batam, saya meminta bantuan ke Polres Ende, dan akhirnya pelaku disuruh tinggal di asrama Polres Ende dan pelaku dipindahkan ke Wolowaru. Walau begitu, pelaku masih tetap datang dua hari sekali ke rumah sambil sesekali mengeluarkan kata-kata menghina kami.
Pelaku kemudian dipindahkan ke Polda NTT. Tapi dia tidak berhenti mengganggu kami. Pelaku menggunakan teman-teman polisinya di Ende untuk menakut-nakuti kami. Salah satu polisi bernama Perintis pada tanggal 12 Oktober 2022 jam 14 :30 wita bahkan datang memvidio isi toko, dan rumah kami tanpa ijin saya.
Upaya menakut-nakuti juga dialami Bayu. Seorang Polwan pada siang hari sekitar pukul 12:30 wita tanggal 13 Desember 2022 datang ke toko. Dia bicara kepada Bayu, ‘Woe ade, kau punya bapa sudah pulang dari Kupang kah?’ Tapi Bayu tidak merespon. Karena Bayu tidak merespon, si Polwan itu kembali mengajak Bayu bicara, ‘adik kau tau tidak? Kau punya bapa sudah masuk penjara karena dia edar narkoba’. Bayu kemudian menoleh ke arah Polwan dan bertanya, ‘sai nde? (siapa itu)’. Polwan menjawab, ‘na ‘na baba kai (itu tuh bapanya) yang masuk penjara. Setelah informasi Polwan itu kami cek, ternyata adalah informasi bohong.
Sebelumnya, Rabu 13 Juli 2022, pukul 14:20 wita, seorang ibu asisten Kapolres Ende bernama Siti datang ke toko saya. Waktu itu saya sedang menjaga toko bersama anak saya Bayu. Saya mengenal ibu Siti karena beberapa kali dia membeli barang di toko saya .
Hari itu beliau datang ke toko membeli dua buah lipstik dan dia menceritakan bahwa minggu lalu waktu dia dari Kupang ke Ende, dia bertemu dengan pelaku bersama seorang wanita di pesawat.
Siti mengatakan bahwa dia sempat berbicara dengan pelaku. Kata pelaku kepada ibu Siti bahwa kami sudah bercerai. Nah.. saat Ibu Siti berkunjung ke toko kami, dia bertanya kepada saya, apa benar kami sudah bercerai? Saya membenarkannya!
-
Laporan Polisi Diterima
Nina mengaku bahagia setelah laporan polisinya diterima oleh Polres Ende.
“Iya Pak, kemarin langsung dibuatkan laporan dan ambil keterangan di ruang Serse. Awalnya mereka tidak mau (terima laporan). Tidak lama, bisa kembali. Puji Tuhan”, ujar Nina.
BACA JUGA Keluhan Nasab: Kredit Sudah Lunas, Tapi BRI Tahan Serifikat Tanah
laporan Nina tercatat dengan nomor: LP/B/143/VIII/2023/SPKT/Res.Ende/Polda NTT, Selasa (22/8/2023) dengan terlapor GHR. LP tersebut ditandatanganu oleh IPTU. Zainal Abidin, SH. (sg/cs)