sergap.id, KUPANG – Pertengahan November 2016, ratusan orang beriringan, berjalan dengan muram menuju kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka membawa karangan bunga dan batu yang bertuliskan sejumlah nama.
Setelah sampai di depan kantor gubernur, mereka meletakkan batu-batu itu, menyalakan lilin, dan berdoa. Nama-nama di batu adalah mereka yang sudah tutup usia, sebagian diduga sebagai korban pencurian organ tubuh.
Yuliana Selan, 42 tahun, dan Metu Salak Selan, 47 tahun, bergabung dalam aksi itu. Anak mereka, Yufrinda Selan, 19 tahun, dipulangkan pada 14 Juli 2016 lalu dalam sebuah peti mati setelah hampir setahun merantau ke Malaysia. Pada peti matinya tertera keterangan pendek: bunuh diri.
Yuliana dan Metu telah puluhan kali muncul sejak nama anaknya menjadi pemberitaan. Mereka berusaha mencari keadilan untuk kematian Yufrinda, yang hingga saat ini tidak diketahui penyebabnya. Mereka mendatangi kantor polisi, rumah sakit, hingga jalanan untuk aksi damai.
KABAR KEHILANGAN
Semua kerepotan ini berawal dari kabar hilangnya Yufrinda pada 2 September 2015 lalu.
Usai menjaga kebun miliknya, sekitar pukul 18.00, Yuliana pulang ke rumah dan mendapati anak ketiganya itu tak ada di rumah.
Yuliana bertanya pada kedua orang tuanya, tetangga, teman, tak ada yang tahu. “Saya mencari sampai satu pekan, bertanya-tanya, tapi tidak ada yang tahu,” katanya.
Ia pun berpikir, anaknya mungkin mencari kerja di ibu kota NTT, Kupang.
Tapi dugaan itu salah. Kabar baru muncul hampir setahun kemudian setelah petugas dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT, Jonas Bahan, mendatangi rumah mereka membawa kabar buruk: Yufrinda telah tewas karena bunuh diri di Malaysia pada 13 Juli 2016.
Sempat terjadi kebingungan di antara keluarga. Karena, menurut Metu Salak, nama dan marga yang tertera di paspor bukan Yufrinda Selan melainkan Melinda Sapay. Tapi foto di paspor tersebut adalah benar anaknya.
Karena kecocokan foto itu, maka jenazah Yufrinda diterima oleh keluarga lewat Bandara El Tari Kupang pada 14 Juli 2016 lalu.
Biasanya setelah penerimaan, keluarga akan langsung memakamkan, seperti yang dilakukan keluarga lainnya. Tapi Metu Salak menempuh jalan yang berbeda.
Ia meminta BNP3TKI dan polisi membuka peti jenazah di Bandara. Kedua institusi itu menolak dengan alasan tugas mereka hanya mengantarkan jenazah. “Bagaimana kalau isi peti matinya jenazah orang lain,” kata Metu Salak saat itu.
Gagal membuka peti mati, Metu Salak yang merasa bahwa penghasilan keluarganya tak cukup untuk mengambil langkah hukum yang lebih jauh, meminta Kepolisian Resor Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk melakukan autopsi sendiri.
Untuk memperkuat desakan agar polisi melakukan autopsi, Metu Salak meminta dukungan pada Gereja Masehi Injili di Timor.
Pendeta Emmy Sahertian yang menerima laporan Metu Salak, turun ke lapangan dan mendampingi keluarga korban bersama relawan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat.
DUGAAN PERDAGANGAN ORGAN TUBUH
Mengapa gereja akhirnya terlibat? “Waktu itu isu yang merebak di masyarakat adalah perdagangan organ. Jadi banyak yang mencurigai jenazah Dolvina Abuk, TKI sebelum Yufrinda, dicurigai menjadi korban perdagangan organ,” kata Pendeta Emmy.
Bedanya dengan jenazah Yufrinda, tambahnya, jenazah Dolvina belum pernah diautopsi.
Akhirnya autopsi berhasil dilaksanakan dan disaksikan langsung oleh keluarga dan Pendeta Emmy.
Saat itulah, kecurigaan Pendeta Emmy makin kuat. Di tubuh Yufrinda terdapat sayatan berbentuk aksara ‘Y’ (diduga dibelah), lalu otak dan lidahnya ditempatkan bersama isi perut.
Selain itu, “Ada memar tanda penyiksaan dan bekas tali, tapi setelah leher. Kalau bunuh diri kan di leher semua. Dan ada tanda memar juga di rusuk,” kata sang pendeta.
Ia semakin yakin, Yufrinda tidak bunuh diri. Menurutnya ada yang mencelakai anak TTS itu. “Kemungkinan dia meninggal bukan karena kemauan sendiri, pasti ada yang melakukannya,” ujarnya, menuding.
Siapa bertanggung jawab atas pembunuhan Yufrinda? Tentu saja perlu ditelisik lebih jauh. Sebab kata Emmy, BNP3TKI tak bisa melacak perusahaan yang mengirim Yufrinda dengan dalih perusahaan itu tak terdaftar.
Informasi mengenai nama majikan Yufrinda pun simpang siur. Polisi hanya menerima laporan bahwa gadis itu pernah bekerja di lima majikan. Pada majikan terakhirnya itulah ia meninggal dunia.
Yufrinda adalah satu dari 54 tenaga kerja asal Flobamora, NTT, yang meninggal dunia sepanjang 2016. Flobamora adalah akronim dari beberapa pulau besar di NTT yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor.
ANGKA KEMATIAN SEMAKIN TINGGI
Jumlah TKI asal NTT yang meninggal dunia tanpa penjelasan rinci di luar negeri sejalan dengan kasus perdagangan manusia asal provinsi tersebut, menurut Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), Lia Wetangterah saat ditemui di Kupang.
Dia menuturkan bahwa NTT sebenarnya menempati urutan kesembilan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri selama ini. Provinsi ini hanya mengirimkan 2.000 – 4.000 warganya setiap tahun, dari enam juta pekerja di seluruh Indonesia yang merantau ke negeri tetangga.
“Tapi dari kasus human trafficking kita tertinggi,” kata Lia.
Tetapi mengapa NTT bisa menjadi sumber perdagangan manusia?
Lia Wetangterah menunjuk pada minimnya perusahaan perekrut tenaga kerja di provinsi tersebut yang benar-benar profesional. Dari ratusan perusahaan perekrut yang terdaftar, hanya 40 yang masih aktif, dan hanya satu yang punya balai latihan di Nusa Tenggara Timur, katanya.
Selain itu, proses perekrutan ditengarai sering janggal. “Data yang kami punya, hampir semua TKI yang berangkat itu tak memenuhi syarat,” kata Lia.
Dalam temuan Lia, para calon hampir tak memperoleh pelatihan dan pembekalan. Mereka diinapkan sekitar dua sampai tiga hari di perusahaan, lalu diterbangkan. Beberapa dari mereka tak membawa paspor, dan baru dibuatkan paspor saat tiba di Batam.
Banyak di antara mereka yang masih buta huruf -alih-alih berbahasa asing.
Untuk menjerat calon korban, menurut Lia, para penipu menggunakan modus ‘utang.’
Para calon pekerja tak dimintai ongkos terbang dan akomodasi selama di tempat penampungan; namun gaji mereka dipotong selama enam bulan hingga setahun. Gaji yang diterima oleh pekerja rata-rata 450-800 Ringgit Malaysia.
“Modus utang ini berbahaya. Kalau dia tidak lolos seleksi ke luar negeri, namun sudah sampai Surabaya, siapa yang akan bayar mereka?” tanyanya.
MONOPOLI SWASTA
Anis Hidayah, selaku Direktur Migrant Care, mengatakan, penyelewengan perekrutan TKI di daerah terjadi sesudah pengesahan Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.
“Sejak saat itu mekanisme penempatan TKI dilakukan oleh swasta. Peran mekanisme migrasi yang dimonopoli oleh swasta ini besar andilnya dalam melahirkan hal itu,” katanya.
Menurut Anis, seharusnya peran untuk perekrutan hingga pemberangkatan diserahkan ke pemerintah, dan swasta hanya menyalurkan saja ke agen di luar negeri. Selain lebih murah, negara juga dianggap melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Ia tak heran angka dugaan kasus human trafficking tenaga kerja Indonesia asal NTT meningkat drastis selama 12 tahun terakhir. Apalagi NTT disebut sebagai target jaringan perdagangan manusia karena tingkat ekonomi yang rendah.
Laporan terakhir dari United Nation on Drugs and Crime (UNDOC) pada 2014 menyebut jumlah korban perdagangan manusia di Asia Timur, Asia Selatan dan Pasifik yang kemudian dipekerjakan menjadi buruh pada 2011-2012 adalah tertinggi di dunia. Jumlahnya mencapai 64% dari semua jumlah korban perdagangan manusia.
Sebagian besar korban perdagangan manusia di Asia adalah perempuan.
TES DNA UNTUK YUFRINDA?
Kembali ke dugaan pencurian organ tubuh pada tubuh sejumlah TKI, Koordinator JPIT Lia Wetangterah mengatakan bahwa rangkaian kasus ini bisa menemui titik terang jika polisi dan pihak terkait mau menggelar tak hanya autopsi, melainkan tes DNA juga untuk setiap jenazah TKI yang datang.
Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda NTT, AKBP Yudi Sinlaeloe, mengatakan, tes DNA mungkin dilakukan, tapi tak akan berdampak.
“Karena locus delicti tidak di Indonesia tapi di luar negeri, jadi tidak ada pengaruh,” ujarnya.
Locus dan tempus delicti adalah tempat dan waktu terjadinya tindak pidana.
Selain itu, katanya, polisi sudah ‘berbaik hati’ melakukan autopsi menggunakan anggaran negara. “Terus terang saja, kalau kita gunakan dana untuk autopsi (dengan locus delicti di luar negeri) nanti kita bisa dianggap korupsi,” ujarnya.
Pernyataan polisi ini langsung dibantah oleh Anis Hidayah dari Migrant Care. “Pencurian organ itu masuk human trafficking dan itu adalah kejahatan luar biasa, jadi harus diselesaikan secara luar biasa meski locus diktinya tidak di Indonesia,” katanya.
Dari tahun ke tahun, Migrant Care telah mendorong pemerintah untuk melakukan tes DNA, tapi selalu gagal.
Anis menyebut nilai ekonomis dari kejahatan perdagangan organ ini sangat tinggi. “Harga ginjal, mata, dan organ lainnya itu sangat luar biasa mahalnya,” katanya.
“Karena itu kasus pencurian organ ini bukan hanya perlu investigasi, tapi juga political will dari pemerintah,” katanya lagi.
IKTIKAD POLITIK
Iktikad politik sebelumnya telah ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo, yang berdialog dengan tokoh masyarakat NTT soal kasus Yufrinda, memberi perintah khusus kepada Kepala Polisi RI Jenderal Tito Karnavian.
Tito sendiri mengaku mendapat instruksi dari presiden untuk mengungkap kasus perdagangan manusia yang banyak terjadi pada warga NTT.
Kapolri Tito lalu memerintahkan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI untuk membentuk satuan tugas khusus. Polisi akhirnya berhasil membongkar komplotan perdagangan orang jaringan NTT.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Agus Andrianto memastikan, tujuh tersangka ini tergabung dalam jaringan yang menjual tenaga kerja asal NTT Yufrinda.
Tapi pengungkapan jaringan itu dianggap tidak cukup mengungkap dugaan perdagangan manusia sampai ke akarnya. “Saya tahu polisi sudah capek. Tapi bagi gereja pengungkapan setuntas mungkin itu sangat penting,” kata Pendeta Emmy.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Komisaris Besar Rikwanto mengatakan indikasi pencurian organ itu perlu dicari dari tempat di mana kejadian itu diduga berasal, yakni Malaysia.
Sehubungan dengan itu, kata Kombes Rikwanto, perlu kerja sama bilateral aparat dari kedua negara.
“Karena ini kejahatan luar biasa, tentunya hubungan bilateral Indonesia-Malaysia harus diperbarui, dan didetailkan lagi. Kalau mau tes DNA juga harus ada dasarnya dulu, dan ada sesuatu yang memang mencurigakan,” ujar Kombes Rikwanto.
Tapi, Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) NTT, Siwa, mengatakan tes DNA tak lagi penting.
“Organ tubuhnya kan tidak ada yang hilang. Mereka juga mengenali wajah Yufrinda. Kami juga sudah menjalankan fungsi kami,” ujarnya. (Cis/BBC Indonesia)