sergap.id, LAMALERA – Bupati Kabupaten Lembata, Eliazer Yentji Sunur, diduga memiliki peran penting dalam kasus dugaan korupsi proyek Awololong senilai Rp 6,8 miliar. Pasalnya, dalam kasus pencairan uang sebesar 85 persen dari total nilai proyek tapi pekerjaan fisik nol persen itu, Sunur diduga berperan sebagai penggagas.
Sebab, sejak awal proyek Awololong tidak muncul di APBD induk Tahun Anggaran (TA) 2018, tapi muncul di Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 41 Tahun 2018 tentang perubahan Perbup Nomor 52 Tahun 2017 tentang penjabaran APBD Tahun 2018.
Hal di atas terlihat pada Dukumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tanggal 22 Desember 2017 dengan Nomor: DPA 1.02.16.01 yang tidak menganggarkan Proyek Awololong.
“Jika bukan Bupati Yentji Sunur, lalu siapa penggagasnya? Dengan menarik unsur penyertaan (Pasal 55), maka pelaku tindak pidana harus lengkap. Olehnya logis jika Amppera menyuarakan agar Bupati turut diperiksa atau diambil keterangan untuk mengetahui perannya,” ujar Praktisi Hukum (PH), Ahmad Bumi, SH, Jumat (7/5/21).
“Secara teknis, siapa yang mengeksekusi di lapangan? Proyek tersebut muncul dalam DPA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setelah terjadi perubahan berdasarkan Surat Badan Keuangan Daerah No. BKD.900/40/1/2018 tanggal 24 Januari 2018 yang ditujukan kepada para Kepala SKPD lingkup Pemerintah Daerah Lembata tentang pedoman penyesuaian RDPPA mendahului perubahan APBD TA 2018 dalam rangka penyesuaian program prioritas tahun pertama RPJMD 2017-2022. Olehnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata selaku Pengguna Anggaran (PA) perlu ditarik untuk melengkapi unsur penyertaan, yakni tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama karena pelaku lebih dari satu orang”.
“Beberapa orang tersebut melakukan serangkaian kerja sama yang erat dalam mewujudkan delik tindak pidana korupsi Awololong. Karena Pasal 55 KUHP hanya dapat diwujudkan jika terjadi serangkaian kerja sama yang erat antar pelaku (konspirasi)”.
Bumi mengapresiasi sikap Penyidik Tipidkor Polda NTT yang telah mengembangkan penyidikan hingga menetapkan satu tersangka lagi.
“Lebih tepatnya lagi agar pelaku (dader) tidak terpotong dalam menggunakan perannya, maka perlu dikembangkan penyidikan ke arah siapa perencana awal atau pemilik ide proyek Awololong, dan siapa yang mengeksekusi teknis di lapangan sesuai dengan tugas dan fungsi dinas (SKPD) yang bersangkutan,” ucapnya.
Dalam kasus Awololong ini, penyidik telah menetapkan tiga tersangka, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Silvester Samun (SS), Kontraktor pelaksana, Abraham Yehezkiel Tzsaro L (AYTL), dan Konsultan Perencana, Middo Arianto Boru (MAB).
Kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,4 miliar ini ditangani polisi sejak Kapolda NTT masih dijabat oleh Irjen Pol Hamidin, S.I. tahun 2019.
“Penetapan tersangka lebih dari satu orang, artinya dugaan tindak pidana Awololong dilakukan secara bersama-sama. Jika dilakukan bersama-sama, maka rumusannya diperluas menggunakan ketentuan Pasal 55 KUHP. Sehingga bentuk penyertaan yang digunakan adalah turut serta melakukan (medeplegen). Jika telah melibatkan Pasal 55, maka diperlukan unsur kerjasama yang erat antara pelaku (pleger) dengan peturut serta (medepleger) untuk mewujudkan delik tersebut. (Karena itu) Perlu ditarik peran masing-masing pelaku dalam mewujudkan delik,” tegas Bumi.
“Pertanyaannya, siapa yang memilik ide atau sebagai perencana awal proyek tersebut? Walau uang negara telah keluar 85 persen, tapi fisik konstruksi masih 0 persen! Artinya prestasi yang diperoleh Negara tidak sebanding dengan uang Negara yang telah keluar. Ini yang disebut kerugian Negara”.
BACA JUGA:
Polda NTT Didesak Periksa Bupati Lembata
Polda NTT Tetapkan Tersangka Baru Kasus Awololong
“Karena tersangka lebih dari satu, maka penetapan tersangka harus lengkap, perlu melihat (sejak) awal perencanaan (proyek) hingga (proyek) mangkrak sesuai peran masing-masing pelaku,” pungkasnya. (red/soman)