Ebith lonek, CMF / Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang.

sergap.id, OPINI – Streotipe politik zaman now adalah kotor, jahat, munafik, penipu, plin-plan. Inilah yang mengancam eksitensi demokrasi di negara ini.

Politik berusaha menyerang demokrasi, menaklukannya, dan memanfaatkannya sebagai alat pemulus keserakahan. Namun demokrasi mampu membentengi (defensive) diri dengan kokoh, sehingga esensi demokrasi tetap tidak terjamah oleh politik kotor.

Ketakutan publik adalah demokrasi menjadi korban atas konspirasi terselubung money politic, isu SARA, mobilisasi masa untuk melumpuhkan kredibilitas lawan politik.

Dalam sebuah video yang diunggah oleh Gadis Abdul pada 22 Feb 2018, 10:07 WIB sempat menggegerkan para pengguna medsos. Seorang gadis berhijab dihamburi dengan uang dan terdengar kata yang berulang kali diucapkan dasar “pelakor”. Kata pelakor menjadi viral kala itu.

Apa itu pelakor? Pelakor merupakan akronim dari “perebut lelaki/laki (suami) orang”. Istilah ini diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan akibat merebut suami orang.

Bagi penulis, istilah pelakor juga ada dalam tahun politik 2018 yang artinya Perebut Lahan Kehidupan Rakyat. Pelakor demokrasi dalam konteks ini, penulis amini sebagai orang-orang yang menjadi perebut lahan (demokrasi) kehidupan rakyat.

Demokrasi  dibahasakan oleh penulis sebagai sebuah lahan kehidupan bagi rakyat. Demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat, maka konsekuensi bagi yang dipercayakan adalah jangan hanya mencari hidup, tapi berilah rakyat hidup, dan jangan hanya mencari makan, tapi berilah rakyat makan dari lahan (demokrasi) yang sudah ada.

Peka akan kebutuhan rakyat bukan pribadi adalah gema dari demokrasi itu sendiri. Atau yang sering dibahasakan oleh orang-orang bijak terkait esensi demokrasi dalam logika publik adalah salus populi supreme lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).

Sebuah phobia berkepanjangan dari rakyat adalah hanya menjadi penonton atas implementasi demokrasi yang menyimpang, cacat dan salah alamat. Dimana yang bertindak hanya sebatas yang “dipercayakan” seolah-olah menjadi pemilik demokrasi itu sendiri.

Sedangkan rakyat sebagai pemilik demokrasi hanya bisa pencicip aroma bualan rektorika klasik. Mirisnya hanya sebagai pendengar akan visi-misi yang dibacakan seperti penggalan dongeng sebelum tidur. Sedih! Jika demikian mereka adalah pelakor demokrasi.

Kualitas demokrasi juga terkait dengan sistem politik yang menggunakannya. Tidak mungkin kualitas demokrasi di bawah rezim yang otoriter atau diktator (tirani) dalam kamus Arsitoteles bernilai positif. Sebaliknya, demokrasi yang baik hanya mungkin dihasilkan oleh kekuasaan yang tidak memanipulasi makna demokrasi (rule by the people).

Pelaksanaan demokrasi sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik yang banyak ditentukan para pemimpin organisasi politik dan kelompok kepentingan (interest groups) yang tampil secara kompetitif. Bahkan, negara yang paling otoriter sekalipun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis.

Namun dalam aplikasinya terlihat kepincangan dan kecacatan total dari  nilai demokrasi. Itulah sebabnya perlu dikembangkan tolok ukur yang obyektif dan dapat dijadikan parameter untuk menilai kualitas demokrasi di suatu negara.

Gaffar (dalam Prihatmoko, 2005:35-36) mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) mengatakan, parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain:

  • Pertama, Pemilihan Umum. Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil.
  • Kedua, Rotasi Kekuasaan. Rotasi kekuasaan mengandaikan bahwa kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi.
  • Ketiga, Rekrutmen Terbuka Demokrasi. Membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama.
  • Keempat, Akuntabilitas publik. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik.

Ketka parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi ini tidak berjalan baik akibat ulah para pelakor demokrasi, maka sejatinya suatu bangsa sedang berada pada pintu gerbang kehancuran.

Ebith lonek, CMF / Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang.

Para pelakor demokrasi adalah wajah lain dari para koruptor atau tikus-tikus rakyat atau lintah masyarakat. Mereka ada untuk mencuri dan menghisap kekayaan yang sebenarnya bukan milik mereka. Mereka bertahan dengan keambrukan moralitas ini. Kecacatan demokrsai akan berujung pada streootipe politik: kotor, jahat, penipu, munafik plin-plan.

Hemat penulis, saat dimana demokrasi memboncengi keempat hal di atas ataupun hal lainnya yang menjadi sebuah seruan imperatif dari demokrasi yakni luber-jurdil (langsung, umum, bersih-jujur dan adil), maka benih-benih pelakor (Perebut Lahan Kehidupan Rakyat) akan dapat diatasi.

Terkhususnya dalam melewati tahun politik ini. Ketika demokrasi dijalankan tanpa adanya intervensi fraksi atupun ego, maka kesejahteraan rakyat menjadi proto gratia (rahmat utama), karena sejatinya Salus Populi Supreme Lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Penulis: Ebith lonek, CMF / Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini