Waiteba tahun 1978, foto karya Peter Apollonius Rohi yang sempat dimuat di Surabaya Post 23 Juli 1979.

sergap.id, SEJARAH – Tengah malam tanggal 19 Juli 1979, gunung Hobal, gunung berapi yang berada di bawah permukaan laut tiba-tiba meletus. Letusan dasyat itu diikuti dengan gempa bumi berkekuatan super dan gelombang laut setinggi 50 meter.

Saat itu, warga yang tinggal di pesisir pantai Desa Waiteba, ibu kota Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, sedang tidur nyenyak. Mereka tak menyangka bencana sedang menghimpit. Seketika, bangunan beserta pemiliknya disapu gelombang dan ditarik masuk ke dasar laut.

Tak banyak yang tahu kejadian tengah malam itu. Namun keesokan harinya, terlihat Desa Waiteba tinggal tanah lapang tak berpenghuni. Tangisan keluarga yang kebetulan tinggal di desa tetangga mengatup suka cita saat itu.

Pemprov NTT mencatat 539 orang tewas, 364 orang hilang, dan tersisa 470 orang yang menderita kehilangan suami, istri, anak dan keluarga lainnya. Kerugian material pun diperkirakan mencapai miliaran rupiah.

Itu sebabnya, tanggal 17 September 1980, Pemerintah Pusat memindahkan ibu kota Atadei dari Desa Waiteba ke Desa Karangora. Keputusan pemindahan ibu kota tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1980 Tentang

Pemindahan Ibukota Kecamatan Atadei dari Desa Waiteba ke Desa Karangora dan ibukota Kecamatan Nagawutung dari Desa Boto ke Desa Loang (saat itu dua desa ini masih berada di dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Flores Timur).

Peter Apollonius Rohi, wartawan yang sempat mengabadikan Desa Waiteba dari ketinggian mempunyai cerita sendiri. Kata dia, saat letusan gunung terjadi, sejumlah penduduk sedang berada di desa tetangga yang letaknya di ketinggian mengikuti Misa. Mereka dikejutkan dengan gemuruh ombak dan gempa dahsyat diikuti bunyi gemuruh seakan langit hendak runtuh.

Inilah Gunung Hobal. Secara geografis terletak pada posisi 08022’26” LS dan 123035’26” BT dan secara administratif berada di wilayah Kecamatan Atedai, Kabupaten Lembata.

“Ya Tuhan,” seru beberapa perempuan yang bergegas pulang. Namun baru saja mereka turun ke desa mereka, air laut sudah menyentuh kaki. Terpaksa mereka berlari pada malam yang makin gelap itu, kembali ke atas bukit. Sementara mereka yang diketahui tewas pada malam itu adalah mereka yang tidak sempat mengikuti Misa.

Peter sendiri pernah ke Waiteba pada tahun 1978, atau setahun sebelum Waiteba hilang. Saat itu Lembata masih dijabat oleh Pembantu Bupati, Drs. Soemarmo. Ia bersama Michael, seorang staf suruhan Soemarmo menuju Waiteba untuk melihat dari dekat pergerakan/perubahan tanah akibat aktivitas gempa gunung Hobal.

Tanda-tanda gunung akan meletus sudah nampak. Hanya saja pemerintah kurang peka terhadap perubahan alam yang terjadi.

Saat itu, Harian Umum Sinar Harapan menurunkan tulisan Peter di halaman utama. Tak lama kemudian Gubernur Ben Mboi datang berkunjung ke Lembata. Ironisnya, Ben Mboi meminta masyarakat tetap tenang, tapi meminta masyarakat jangan percaya laporan wartawan.

“Dia bukan ahli geologi,” kata Ben Mboi yang ditujukan kepada Peter. Bahkan Ketua KNPI NTT yang tak ketinggalan dalam rombongan itu sempat bikin pernyataan, “Kami akan datang pertama sekali untuk membantu bila benar-benar gunung itu meletus.”

“Juli yang naas itu membuat rasa sesak di dada. Saya gagal. Pemerintah tidak percaya berita saya dan tidak mengindahkan anjuran saya untuk merelokasi penduduk Waiteba. Saat musibah itu, Gubernur tidak jelas, KNPI pun hilang janji. Saya menyesal, kurang dapat menyakinkan negara. Padahal, jalan menuju Waiteba begitu sulit melintasi tiga gunung kerucut yang terjal antara 70 – 80 derajat,” kata Peter.

Gunung Hobal sendiri berada di Kecamatan Atadei. Hingga kini, gunung yang berada di bagian selatan Kabupaten Lembata itu telah meletus 4 kali, yakni tahun 1976, 1979, 1983, dan 2013. (Cis)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini