
sergap.id, KUPANG – 27 Juni 2017 nanti akan diadakan pemilihan bupati di 10 kabupaten di NTT dan pemilihan gubernur NTT periode 2018-2023. Rakyat dihadapkan pada pilihan yang sulit, karena setiap kandidat memberikan janji-janji manis.
Karena itu Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNIKA Soegijapranata, Semarang Jawa Tengah, Prof. Dr. Andreas Lako meminta masyarakat untuk mengetahui persis latar belakang dan sepak terjang kandidat yang akan dipilih.
“Pilihlah calon kepala daerah yang berkualitas, kompeten, dan merakyat,” pinta Andreas kepada SERGAP, Minggu (28/1/18).
Lulusan Terbaik S2 dan S3 Akuntansi UGM dengan Predikat Cum Laude ini, menjelaskan, berdasarkan struktur perekonomian Indonesia secara spasial triwulan II tahun 2017, distribusi dan kontribusi terbesar pembangunan Indonesia berasal dari Jawa dan Sumatera. Sementara Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan sangat rendah.
“Apabila Bali di keluarkan, maka porsi kontribusi dari kepulauan Nusa Tenggara (NTT dan NTB) sangat rendah yaitu di bawah 2 %. Meski prosentasenya relatif kecil, namun kita patut bersyukur porsi tersebut sudah jauh lebih besar dibanding 5 tahun lalu,” paparnya.
Karena itu, menurut Andreas, komitmen dan kebijakan pembangunan nasional dari Presiden Jokowi tahun 2014 – 2019 yang memberi porsi dan prioritas pembangunan lebih besar ke Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan dalam upaya memajukan dan mensejahterakan wilyah-wilayah ini adalah sudah sangat tepat.
Sebab, mayoritas kabupaten di wilayah ini masuk dalam kategori Kabupaten Daerah Tertinggal dan Kabupaten Merah (Miskin). Di NTT misalnya, dari 21 Kabupaten yang ada, terdapat 18 Kabupaten yang masuk kategori Kabupaten Daerah Tertinggal, dan 17 Kabupaten lainnya masuk dalam kategori Kabupaten Termiskin atau Kabupaten Merah.
“Propinsi yang ekonominya mengandalkan sektor pertanian, perkebunan dan perikanan serta pengeluaran pemerintah ini juga memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah, yaitu 63,13 (2016),” beber Andreas.
Namun demikian, kemauan dan tekad kuat Presiden Jokowi tersebut tidak akan berarti apa-apa alias mubazir apabila tidak didukung oleh kepemimpinan kepala daerah (gubernur dan bupati) yang berkualitas dan kompeten serta merakyat di wilayah-wilayah tersebut.

“Karena itu, momentum Pilkada 2018 ini hendaknya dimanfaatkan secara sungguh-sungguh oleh rakyat untuk memilih Cagub-Cawagub dan Cabup-Cawabup yang sungguh berkualitas, kapabel dan merakyat,” ujarnya.
Kata Andreas, hal ini sangat penting untuk membantu mewujudkan harapan Presiden Jokowi dan Pemerintah Pusat dalam mengentaskan ketertinggalan daerah, kemiskinan dan kemelaratan rakyat di masing-masing wilayah.
Selain itu, segera tinggalkan semangat memilih calon Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Sebab, fakta empiris di berbagai daerah justru menunjukkan bahwa para kepala daerah yang terpilih karena faktor SARA gagal memimpin daerahnya.
Mereka gagal memajukan daerah, gagal memajukan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat luas. Dana APBD untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat justru lebih banyak dikorupsi dan diperas untuk kepentingan kepala daerah dan para kroninya.
Fakta yang lebih miris lag adalah selama memimpin daerah, para kepala daerah berbasis SARA tersebut justru juga menjadikan daerah yang dipimpin sebagai “sapi perah” untuk memupuk kekayaan dan membangun “kerajaan” bisnisnya.
Mereka juga membangun jaringan kekuasaan pribadi, keluarga, kolega dan kroninya dengan berbagai cara. Itu sebabnya, selama memimpin daerah, daerah tetap tertinggal dan masyarakat tetap miskin dan melarat, sementara kepala daerah dan para kroninya justru semakin kaya-raya.
Kesenjangan sosial – ekonomi antar kelompok masyarakat juga kian melebar dan berpotensi besar menimbulkan radikalisme sosial. Karena itu pilihlah pemimpin yang berkualitas, kompeten dan telah terbukti merakyat. (cs/cs)