Cosmas Jo Oko dengan latar belakang pesawat Sriwijaya Air
Cosmas Jo Oko dengan latar belakang pesawat Sriwijaya Air.

sergap.id, ENDE – Pemberian uang santunan kecelakaan pesawat Sriwijaya Air di Kepulauan Seribu pada tahun 2021 lalu berbuntut panjang. Ini bermula ketika keluarga korban asal Ende mempercayakan Benediktus Beke untuk mengurus semua uang santuan di Sriwijaya Air.

“Proses uang satunan tahap pertama berjalan lancar, dan ada kesepakatan pembagian fee. Karena selama proses Pulang Pergi ke Jakarta dan biaya lain, semuanya ditanggung  oleh klien kami Benediktus Beke”, beber Cosmas Jo Oko, SH, kuasa hukum Benediktus Beke kepada SERGAP, Rabu (13/11/24).

Namun kemudian, menurut Cosmas, uang ansurasi kecelakaan Sriwijaya Air ini dijadikan industri hukum, yakni Benediktus Beke dijadikan korban kriminalisasi dan persekongkolan jahat oknum pejabat kepolisian bersama oknum pejabat kejaksaan dan oknum advokat.

“Maskapai Sriwijaya Air jangan cepat percaya. Kasus penipuan dan penggelapan uang santunan ini adalah kasus titipan mafia berinisial D di Jakarta yang bertujuan untuk menguasai semua uang santunan kematian korban. Perkara ini murni adalah perkara perdata, karena semuanya ada perjanjiannya”, tegasnya.

Cosmas menjelaskan, saat ini kasus pidana dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Benediktus Beke sedang di sidang di Pengadilan Negeri Ende.

“Kami menyesal mendapatkan kuasa untuk kasus ini agak telat, karena sudah sampai pada tahap sidang pemeriksaan saksi. Jika sejak awal di kepolisian pasti sudah kami lakukan perlawanan melalui berbagai upaya hukum. Pada kesempatan ini juga saya mau tegaskan bahwa semua pemberitaan sebelumnya mengenai kasus ini adalah pemberitaan sepihak dan tidak sesuai fakta yang sebenarnya”, paparnya.

Menurut  Cosmas, dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya Air itu ada dua korban pasangan kekasih yang berasal dari Kabupaten Ende, yaitu Sevia Daro dari Desa Numba dan Teofilus Ura Dari dari Desa Waga.

Keluarga korban kemudian meminta Benediktus Beke untuk mengurus uang santunan kematian korban di Kantor Maskapai Sriwijaya Air di Jakarta. Proses pencairan uang tahap pertama berjalan baik dan sesuai kesepakatan antara keluarga korban dengan Benediktus Beke. Tapi belakangan dipersoalkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menguasai semua uang santunan tersebut.

“Kasus ini adalah kasus titipan mafia berinisial D di Jakarta yang bekerjasama dengan oknum pejabat di Kepolisian, oknum pejabat di Kejaksaan, dan oknum Advokat. Saya punya alasan kuat untuk mengatakan ini. Karena ini berdasarkan hasil investigasi kami. Saya berkesimpulan bahwa klien kami Benediktus Beke ini adalah korban kriminalisasi demi uang santunan Maskapai Sriwijaya Air”, ungkapnya.

Cosmas pun mengurai fakfa- fakta yang menguatkan argumentasinya, yakni:

  1. Sejak awal D membiayai polisi untuk membuat Laporan Polisi (LP) dengan korban setingan berinisial VK Cs. VK kaget, karena Polisi datang bawa dengan laptop dan printer ke kediamnya, lalu memintanya untuk tanda tangan LP yang sudah disiapkan. Polisi juga memintanya untuk tidak membaca LP itu. Namun karena ada kesalahan, Polisi akhirnya ketik ulang. Proses pembuatan LP ini dipantau langsung oleh D secara online. Fakta sebenarnya VK Cs tidak pernah merasa jadi korban, karena Benediktus Beke ini sangat baik dan berjasa terhadap mereka. Biasanya korban yang datang ke kantor polisi untuk membuat pengaduan atau LP, tetapi ini anggota polisi yang jemput kasus ke kampung. Kadang-kadang aneh memang Polisi kita, LP yang menumpuk di kantor Polisi tidak dituntaskan, lebih sibuk ciptakan LP yang ada nilai uangnya. Saya jadi kasihan dengan anggota polisi yang pangkatnya kecil, ulah permainan Kepala-kepalanya yang ingin menikmati UANG SANTUNAN KEMATIAN, anggota polisi yang pangkat di bawah malah pikul DOSA, mau tidak ikut salah, perintah atasan jadi SIAP- SIAP saja.
  2. Dikarenakan korban setingan VK cs ini mencabut LP yang telah dibuat oleh anggota Polisi, kelompok mafia D ini tidak hilang akal, mereka membuat LP baru dengan korban berinisial D di Ende, dengan nomor LP: 64 dan kerugian Rp 85 Juta, bukan Rp 1,5 M seperti yang sudah diberitakan oleh Media yang diduga dibiayai oleh D di Jakarta.
  3. Dakwaan yang dibuat Penuntut Umum juga mengada- ada. Dalam Dakwaan itu seolah-olah banyak sekali korban dan uang yang digelapkan. Padahal faktanya, mestinya Fokus kepada LP dengan Nomor 64 yang korbannya berinisial D di Ende. Kerugiannya juga sesuai BAP, yakni Rp 85 juta. Jangan aduk- aduk dengan yang tidak ada hubungannya dengan LP tersebut. Pertanyaannya, yang lain – lain itu LP mana? Jangan hanya karena ingin dapat Uang Santunan Kematian, kita mati-matian buat dakwaan siluman. Kalau Sapi merasa jadi korban, ya laporan Sapi yang diproses dan didakwakan, jangan Anjing, Babi, Kuda yang tidak ada kaitan diikutsertakan dalam kasus ini.
  4. Fakta persidangan sebelumnya, saksi VK dengan TEGAS mengatakan tidak merasa ditipu atau digelapkan uangnya oleh Benediktus Beke. Justru Benediktus Beke sangat baik, dan sudah banyak membantu mereka. Kami juga dapat informasi, JPU frustasi di persidangan, karena keterangan saksi sudah tidak sesuai dengan BAP. Ini artinya, saksi juga tidak tahu isi BAP. Apa hanya tanda tangan saja! Ingat baik- baik keterangan yang dicatat di persidangan adalah keterangan saksi yang terungkap dalam persidangan, bukan keterangan di BAP yang direkayasa demi uang santunan kematian itu.Fakta persidangan hari ini juga Bapak Kandung D sebagai pelapor dengan tegas mengatakan dia tidak pernah melapor Benediktus Beke ke polisi. Menurut dia, Benediktus Beke justru sangat berjasa sudah membantu mereka. Soal uang itu adalah sistem pinjam untuk Bisnis bukan tipu atau Gelapkan.
  5. Fakta yang kami temukan juga bahwa mafia D di Jakarta yang membiayai oknum Polisi ke Jakarta untuk mengawal keluarga penerima uang santunan, sekaligus bertujuan menandatangani pencabutan kuasa yang sebelumnya diberikan kepada Benediktus Beke dan kuasa digantikan dan diberikan kepada D. Ini aneh! Kepolisian koq terlibat persoalan perdata? Yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa pidana yang sedang diproses di Pengadilan Negeri Ende. Karena permasalahannya adalah dugaan penggelapan uang Rp 85 Juta, bukan perubahan kuasa pengurusan pencairan uang santunan kematian tersebut. Apalagi perkara ini sedang berproses dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Semua itu juga adalah perintah atasan demi uang SANTUNAN KEMATIAN. Kasihan anggota Polisi tanggung DOSA lagi, mau tidak ikut, ini perintah ATASAN.
  6. Kami juga mendapatkan data bahwa Mafia D di Jakarta juga yang membiayai agar memuluskan kasus ini, melalui asissten wanitanya berinisial E yang tinggal di Ende untuk memantau dan mengkondisikan keuangannya. Korban yang berinisial D juga tiba-tiba diterbangkan ke Jakarta pada waktu yang sama dengan jadwal persidangan agar supaya absen dalam sidang yang sudah dijadwalkan oleh Majelis Hakim.
  7. Kami juga menemukan fakta bahwa oknum Advokat yang menangani kasus ini sebelumnya juga bersekongkol dengan oknum JPU, untuk memuluskan kasus ini. Katanya “ambil uangnya saja, kita buat dia dihukum lama”. Aada saksi yang mengetahui fakta ini.

“Kami tidak akan lelah dan takut dalam menuntaskan kasus ini. Kami akan lawan semua ketidakadilan. Kami yakin tidak ada Kejahatan yang abadi. Tuhan Maha Tahu. Tuhan juga akan mengutuk semua penjahat yang sesungguhnya dalam kasus ini”, pungkas Cosmas. (sg/sg)