sergap.id, MBAY – Memprihatinkan! Begitulah kondisi warga Desa Renduwawo, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo saat ini. Mereka terpaksa minum air embung yang kotor karena ketiadaan air bersih.

Krisis air ini telah berlangsung lama. Biasanya warga hanya mengandalkan air hujan. Sebab di sekitar desa itu tidak ada sumber mata air.

Mereka sedikit terbantu ketika pada tahun 2004 pemerintah melalui Balai Sungai Provinsi NTT membangun sebuah embung di pinggiran desa. Namun kondisi airnya menjadi keruh dan berbau ketika musim panas tiba.

Apalagi embung itu juga merupakan satu-satunya sumber air minum bagi hewan piaraan milik warga desa seperti Sapi, Kerbau, dan Kambing.

Selasa (10/12/19) kemarin, tampak puluhan warga mengambil air menggunakan jerigen pada embung yang mulai mengering dan airnya telah berubah warna dari bening menjadi coklat kehitam-hitaman itu.

Warga mengaku air tersebut dipakai untuk masak, minum, mandi, cuci dan kebutuhan lain.

Anastasia Bene, salah satu warga RT 04 Dusun 02, Desa Renduwawo, menjelaskan, agar air bisa dipakai untuk masak, maka harus terlebih dahulu diendapkan selama beberapa jam menggunakan media pasir atau kapur sirih. Bahkan ada warga yang memakai semen sebagai media pengendap air.

Caranya air diambil dari embung, dibawa ke rumah dan ditampung di ember bak atau bak penampung berbahan semen, lalu diendapkan.

“Diisi dalam ember bak, terus dituang pasir atau dikasi kapur sirih, sehingga kotoran dan lumpur bisa endap ke bawah. Air bersih di bagian atas dipakai untuk minum atau masak. Tapi itu harus tunggu sampai dua atau tiga jam agar airnya benar – benar jernih,” beber Anastasia kepada SERGAP, Selasa (10/12/19).

“Tapi air endapan itu hanya dipakai untuk masak dan minum. Sementara untuk mandi dan cuci,  biasanya langsung dipakai saat baru diambil dari embung atau langsung pakai di pinggir embung,” kata Anastasia.

Air embung yang dipakai warga Renduwawo untuk minum, mandi dan cuci.

Metode penjernihan air itu dibenarkan juga oleh Martinus Judha (55), warga Desa Renduwawo lainnya.

Dia  mengatakan, kondisi ini sudah terjadi selama lima bulan atau sejak Agustus hingga Desember 2019.

“Saat ini kami hanya mengandalkan air embung. Disini tidak ada pilihan lain selain minum air embung itu,” ujarnya.

Menurut Martinus, setiap tahun, mulai Januari hingga Mei, ia dan warga lainnya hanya mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak penampung.

“Masuk Juni sampai sekarang (Desember) ini, terpaksa kami pakai air embung, walaupun kondisinya seperti ini (kotor dan bau),” ucapnya.

Kata Martinus, hingga pertengahan Desember 2019 ini, wilayah Renduwawo belum turun hujan. Karena itu dia khawatir jika dalam satu atau dua minggu ke depan masih juga tidak juga turun hujan, maka embung yang menjadi satu-satunya sumber air bagi warga itu akan mengering.

“Jika tidak turun hujan bukan tidak mungkin kami di sini akan mati kehausan,” kata Martinus.

Anak-anak mengambil air embung, Selasa (10/12/19).

Krisis air diakui Kepala Desa Renduwawo, Theodurus Aru.

“Krisis air di sini setiap tahun tidak pernah luput,” tegasnya.

Theodorus mengaku, pihaknya sudah meminta bantuan kepada Bupati Nagekeo. Namun sampai sekarang belum ditanggapi.

Embung Renduwawo

Theodorus berharap dalam waktu dekat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo segera menyalurkan bantuan air bersih untuk warganya.

“Harapan saya ada perhatian khusus terhadap masalah ini, sehingga masalah bisa segera teratasi,” tutupnya. (sev/sev)

KOMENTAR ANDA?

Silakan masukkan komentar Anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini