sergap.id, KUPANG – Walau Menteri Pariwisata Arief Yahya menolak rencana penutupan Taman Nasional Komodo (TNK), namun Gubernur NTT Viktor Laiskodat tetap akan menutup Pulau Komodo per tanggal 1 Januari 2020.
“Tadi saya diskusi dengan pak Gubernur. Bapak Gubernur mengatakan bahwa kita tetap pada komitmen mengkonservasi, menjadikan Pulau komodo sebagai pulau yang terkonservasi, terjaga ekosistemnya,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT, Marius Ardu Jelamu kepada wartawan di Kupang, Selasa (24/9/19) siang.
Jelamu menjelaskan, penutupan yang akan dilakukan bukan terhadap TNK, tetapi hanya Pulau Komodo saja. Ini dilakukan untuk mengembalikan ekosistem pada daerah yang menjadi habitat asli dari biawak raksasa Komodo.
“Apakah turisme ke Taman Nasional Komodo akan terganggu? Sama sekali Tidak! Karena yang kita tutup sementara hanya Pulau Komodo. Semantara Pulau Rinca, Pulau Padar, Ping Beach dan lainnya tetap dibuka,” tegasnya.
Menurut dia, pelestarian dan perlindungan terhadap ekosistem Pulau Komodo mesti segera dilakukan. Sebab alam Pulau Komodo telah dirusaki oleh penduduk yang mendiami Pulau Komodo.
Karena itu, walau gelombang protes dari warga Pulau Komodo dan para pelaku wisata di Kabupaten Manggarai Barat terus berdatangan, serta Menteri Pariwisata ikut menolak ide penutupan TNK, namun penutupan Pulau Komodo tetap akan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2020.
“Diarahkan Gubernur dan perintah Presiden untuk menutup sementara waktu, untuk konservasi. Bukan ditutup untuk selama-lamanya. Ibarat rumah ketika rusak, untuk sementara direhab. Seperti itu. Itu cara berpikirnya,” ucapnya.
Kata Jelamu, konservasi Pulau Komodo harus dilakukan. Sebab ide pelestarian dan perlindungan terhadap Pulau Komodo adalah upaya sistematis dan terpadu dari Pemprov NTT untuk melestarikan fungsi lingkungan di pulau itu, sekaligus mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan yang lebih parah.
“Dan, pemerintah berkewajiban menjalankannya. Siapa pemerintah itu? Pemerintah itu bukan hanya pemerintah pusat, tapi juga pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Presiden sudah menyetujui Pulau Komodo dikoservasi. Tugas kita sebagai staf, apakah menteri, dirjen, gubernur, bupati, kadis harus menterjemahkan apa yang dikatakan Presiden,” ungkapnya.
Jelamu mengatakan, selain menutup Pulau Komodo dari kunjungan wisatawan, Pemprov NTT juga akan merelokasi penduduk yang mendiami Pulau Komodo.
“Kita tidak berpikir satu dua tahun kedepan. Kita berpikir untuk 100 tahun, 200 tahun kedepan. Karena itu, sebelum terjadi ledakan penduduk, maka kita relokasi penduduk Pulau Komodo ke Pulau Rinca. Kita akan siapkan perumahan, air bersih, listrik, dan sarana pra sarana lain,” paparnya.
Jelamu berharap warga yang melakukan protes terhadap rencana penutupan sementara Pulau Komodo tidak egois (tidak mementingkan diri sendiri). Sebab penutupan ini demi kelangsungan hidup hewan purba Komodo serta kepentingan ekonomi pariwisata masyarakat NTT, khususnya masyarakat Kabupaten Manggarai Barat.
“Agar keajaiban ini bisa dinikmati sepanjang masa,” tegasnya.
Walau menutup dan membuka kembali TNK menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun Jelamu mengatakan, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur Laiskodat juga berhak mengevaluasi kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak dijalankan secara optimal dan maksimal.
“Apa artinya kewenangan? Jika kewenangan itu tidak berjalan maksimal! Apalagi hasil kajian mereka (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tidak menyinggung soal kerusakan ekosistem dan perbuaruan liar (terhadap Komodo),” tohoknya.
Toh begitu, kata Jelamu, Pemprov NTT akan terus berkomunikasi dengan Pempus agar memperoleh keputusan terbaik tentang penutupan sementara Pulau Komodo.
Dan, apabila sebagian kewenangan konservasi Pulau Komodo diberikan Pempus kepada Pemprov NTT, maka Pemprov NTT via tim teknis dan tim pakar akan mulai menata ekosistem Pulau Komodo berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.
“Jangankan gubernur mengkritisi kewenangan menteri, bupati pun bisa mengkritisi gubernur, misalnya soal jalan raya yang menjadi kewenangan provinsi. Karena kita sama-sama pemerintah,” tegasnya.
29 Januari 2019 lalu, berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pariwisata Arief Yahya membuat pernyataan menolak rencana penutupan TNK.
“Kita menolak rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu. Karena rekomendasi itu hanya berdasarkan selayang pandang kemudian ditulis di atas kertas,” kata Jelamu.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT, Wayan Darmawa, menegaskan, konservasi Pulau Komodo merupakan upaya pemerintah menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi premium.
“Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia harus mendapat penanganan yang baik. Sebab sekarang terjadi perburuan liar dan putusnya mata rantai makanan Komodo. Terjadi pula penurunan jumlah Komodo, salah satunya (bisa dilihat) di Pulau Padar. Dulu (di pulau ini) ada Komodo, (Tapi) sekarang sudah tidak ada lagi,” bebernya.
Menurut dia, alasan utama penduduk Pulau Komodo harus direlokasi adalah tidak adanya kepastian hak atas tanah di Pulau Komodo dan keberadaan Komodo tidak mensejahterakan masyarakat yang tinggal di Pulau Komodo.
“Penduduk akan dipindahkan ke Pulau Rinca. Rumah disiapkan, air bersih, penerangan dan lain sebagainya,” katanya.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden RI, Komjen Pol (Purn) Drs. Gregorius “Gories” Mere, mengatakan, dirinya mendukung 100 persen niat Gubernur Laiskodat menutup sementara Pulau Komodo.
“Tempat itu (Pulau Komodo) hutan bakaunya sudah habis. Sungainya kering. Tidak ada sungai lagi. Karena dirusak oleh penduduk lokal. Kayunya diambil untuk kayu bakar dan sebagainya. (Penduduknya) harus segera direlokasi. Harus dijaga kembali keasliannya. Saya bisa lihat keindahannya 20 tahun lalu ketika saya menjabat Wakapolda NTT. Sekarang semua keindahan itu sudah hilang. Saya siap jadi saksi,” katanya.
“Setahu saya, dulu ada beberapa keluarga saja di Pulau Komodo, tapi sekarang sudah ribuan orang. Itu darimana datangnya? Itu berarti datang dari luar. Relokasi itu betul. Penduduknya dikonsentrasikan di suatu tempat kemudian dilatih menciptakan sesuatu yang kreatif dan bernilai jual tinggi. Agar kawasan itu bisa menjadi sesuatu yang indah dan layak dinikmati, walau mau kesitu harus bayar mahal,” tutupnya. (cis/cis)